Selasa, 16 Desember 2008

Menggagas Dzikir Iqtishadi

Ditulis oleh Ma'ruf Muttaqin
Apa yang dapat dirasakan ketika panen padi pada musim tanam rendeng kali ini mengalami kegagalan?, Begitupula dengan peningkatan NPL bank syari’ah, atupun penyuapan dalam kasus BLBI?. Apakah kita biarkan kesedihan menyelimuti para petani dan praktisi perbankan, lalu biarkan pula mereka bersikap “Nrimo ing pandum”. Kenapa semua itu bisa terjadi?. Apakah karena kesalahan praktek kultur teknis dan penggunaan pupuk? atau justru karena apa yang biasa kita sebut dengan bencana alam dan moral hazard. Lalu apa yang bisa dilakukan ketika realitas sosial dan keadaan alam tidak bisa dikuasai, padahal petani atau para analis telah cukup yakin sebelumnya.

Dalam mainstream ekonomi, apapun yang masuk kategori uncertainty seperti diatas, merupakan sesuatu yang tidak dapat dikalkulasikan secara ekonomi (non-use value). Makanya, para pemuja ekonomi pasar tersebut menyebutnya sebagai eksternalitas. Sebagai upaya untuk meminimalisasi biaya (cost) dan tanggung jawab (obligation). Hanya saja, agar terkesan kepeduliannya tetap ada, maka diadakanlah yang namanya Cost Social Resfonsibility (CSR) dari para korporat, atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari para pemegang kebijakan. Anehnya, apa yang disebut sebagai domestic support atau subsidi tetap saja seret.
Selain dari pandangan para environmentalis dangkal yang menganjurkan resep-resep entrophy kesederhanaan hidup, yang berakibat pada pengurangan subsidi; Listrik, BBM, dan pupuk, tampaknya belum ada tawaran lain untuk mengatasi residu peradaban modern tersebut?
Kalaupun ada, maka itupun belum dapat keluar dari tawaran the third way-nya Anthony Giddens yang bersandar pada keyakinan beyond right and left. Yang mencoba memperhadapkan new social democracy dengan neoliberalisme. Sementara itu, pandangan tentang pentingnya prohibition of riba dalam mainstream ekonomi syari’ah masih menjadi resep yang laris manis bagi para praktisi ekonomi Islam.
Klaim bahwa ekonomi Islam merupakan alternative untuk melawan neoliberalisme untuk sementara dapat dibenarkan, hanya saja dalam kenyataannya, ekonomi Islampun belum bisa keluar dari paradigma behind right and left (Dawam Rahardjo, 2007).
Beberapa penelitian ilmiah yang berkesimpulan tentang persepsi masyarakat tentang bank syari’ah, bahwa masyarakat cenderung menggunakan alasan rasionallitas dibandingkan dengan alasan idiologis dalam memilih bank syari’ah, merupakan contoh konkrit dari ketidakmampuannya untuk keluar dari wacana positive economic.
Kesimpulan tersebut telah mereduksi peranan institusi keuangan Islam dalam pembangunan community intelegent. Padahal, bagi Ibnu Khaldun, ilmuwan Islam yang diklaim sebagai bapak ekonomi Islam, community intelligent merupakan prasyarat utama dalam membangun kekuatan ekonomi, selain khilafah.
Community intelligent menurut Kaplan dan Norton (2004) harus mencakup; modal sumber daya manusia (human capital), modal organisasi (organization capital) dan modal informasi (information capital). Sedang Herry B. Priyono menambahkan; modal intelektual (Intelektual capital), modal ekologi (echological capital) dan modal sipiritual (spiritual capital).
Community intelligent, atau yang diawal tadi disebut sebagai eksternalitas, dalam ekonomi konvensional didefinisikan sebagai “An externality is difined as the case where an action of one economic agent affects the utility or production possibilities of another in a way is not reflected in the marketplace”(Just et.al.1992). Kata kunci dari definisi tersebut adalah is not reflected in the marketplace (sesuatu yang tidak dapat direfleksikan di pasar).
Oleh karena itu sejatinya, lembaga keuangan Islam memiliki ruang aktivitas dan tindakan yang lebih luas dari sekedar sebagai lembaga komersial yang berusaha menumpuk asset dari masyarakat, sementara miskin berbuat untuk kemajuan ummat.
Intsitusi apapun, tidak hanya sebatas lembaga keuangan, seharusnya memiliki tanggung jawab berdakwah. karena hal terpenting dalam proses dakwah adalah li takwienul ummat atau membangun ummat, dalam artian ikut bertanggung jawab membangun community intelligent.
Sayang, dalam realitasnya, tugas tersebut menjadi hak preogratif para Ulama dan Kyai. Sedang Cendekiaawan dan para Civitas Perguruan Tinggi termasuk para Saintis diberi tugas menyiapkan bantuan teori dan teknis, berupa pengetahuan dan teknologi. Dari kenyataan tersebut, kita patut mempertanyakan, kenapa tugas-tugas tersebut terlaksana secara sektoral dan tak pernah terintegrasi?
Dari itulah, upaya internalisasi dan integrasi seluruh sektor tersebut harus menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Proses penyamaan visi dan paradigma yang memandang aktivitas hidup sebagai sebuah kesatuan kosmik (kesadaran kosmik). Dan karena kesadaran kosmik hanya dapat ditemukan dalam istilah religion (religare), maka membangun community intelligent harus dimulai dari peningkatan kualitas nalar agama. Artinya, pembangunan yang merupakan bukti nyata dari proses nalar manusia (akal) tidak bisa terlepas dari ukuran wahyu (agama).
Upaya ini secara lebih analitik disajikan oleh Dr. Murasa Sarkaniputra sebagai Revelation Based Measurment (perpaduan mantik rasa dan mantik akal). Ibnu Arabi menyebutnya sebagai metode kasf (penyingkapan), sedangkan Mulla Sadra lebih senang untuk menyebutnya sebagai Hikmah Muta’aliyah (kearifan puncak), yaitu perpaduan dari filsafat Paripatetiknya Ibnu Sina, Illuminasinya Suhrawardi, Gnosisnya Imam Ghazali dan Revelationnya Ibnu Ararbi.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam atau pun ekonomi Indonesia secara keseluruhan, revelation based measurment merupakan paradigma alternatif yang bisa memberikan resep mujarab dalam kondisi ekonomi dimana petani, peternak, ataupun praktisi lembaga keuangan tidak mampu menghadapi ketidakpastian (uncertainty), disebabkan oleh eksternalitas yang tidak dapat dikuasai (banjir, kekeringan, badai el nina ataupun penyakit sosial).
Begitupun dalam praktek mudharabah, apa yang disebut sebagai resiko yang terlampau tinggi (moral hazard) yang disebabkan oleh adanya asimetric information, kurangnya pengetahuan teknis, rendahnya kualitas, bahkan hingga rendahnya trust (kepercayaan) niscaya akan dapat diatasi (lihat Q.S. al-A’raf (7):96).
Dengan memadukan fuzzy logic dengan mantik rasa atau nalar irfani, maka dalam hasil akhir dari aqad mudharabah antara shohibul mal, mudarib dan intermediary (bank) akan mendapatkan nilai harapan akhir yang maksimal. Hasil ini didapat dari pengukuran nilai total ekonomi dari sebuah sumber daya secara holistik, dengan berusaha mengubah asset yang tadinya tidak dapat dinilai (intangible asset) menjadi sebuah ijtihad yang bisa dinilai (tangible assets).
Dalam kaitan ini, membangun community intelligent; yang bisa menilai sebuah sumber daya sebagai barokah, hidayat dan nikmat dari Allah, hanya bisa dilakukan bilamana para Kyai, Ulama, Ustadz, Cendekiawan, Saintis, maupun praktisi bahu-membahu, secara bersama-sama melakukan Dzikir Iqtishadi. Yaitu program permohonan sekiranya Allah Swt. Menganugerahkan kepada kita melalui naluri, panca indera, akal, dan agama sehamparan hidayat, barokah dan nikmat. Amien!
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=57&catid=2:islam-kontemporer&id=1217:menggagas-dzikir-iqtishadi&option=com_content&view=article

Ekonomi Islam dan “Counter Hegemony” Neoliberalisme

Ditulis oleh Ma'ruf Muttaqien

Mansour Fakih, dalam buku terakhirnya “Bebas dari Neoliberalisme” mengajukan pertanyaan yang cukup menggigit, kenapa kita miskin. Bagi Mansoer Fakih, kemiskinan bukanlah takdir. Kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena kebodohan, kemalasan, atau karena lemahnya sumberdaya manusia. Kita, menurut Mansour, “dimiskinkan” oleh sebuah kebijakan sistematik. Kebijakan yang membuat kita miskin itu adalah “Neoliberalisme”.

Neoliberalisme lebih lanjut merupakan ideologi dibalik munculnya fenomena globalisasi. Dari kacamatanya yang Marxis, Mansour melihat globalisasi sebagai kelanjutan pola dominasi para pemilik modal, orang-orang kaya, terhadap orang lemah.
Pola dominasi yang menindas ini sudah berlangsung lima ratus tahun. Fase pertama adalah fase kolonialisme, yakni satu fase sejarah di mana kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi fisik untuk membuka pasar baru dan mendapatkan bahan baku. Melalui kolonialismelah dominasi manusia atas manusia menjelma dalam bentuk penjajahan dan penindasan hampir di separuh belahan dunia.
Ketika fase ini belum selesai, satu lagi tipe mode of domination baru hadir. Fase yang terjadi sekarang ini ditandai oleh liberalisasi dalam segala bidang yang diterapkan secara terstruktur oleh lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan WTO. Inilah era globalisasi.

Ekonomi Indonesia
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.
Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Liberalisasi modal, pasar keuangan dan privatisasi BUMN merupakan hal yang problematik bagi banyak Negara berkembang terutama Indonesia. Akan tetapi telah banyak Negara yang mapu membuktikan (China, Jepang, Malaysia dan India) bahwa pertumbuhan dan kemakmuran tidak melulu harus tunduk pada neoliberalime.
Sementara Indonesia menurut Stiglizht merupakan Negara pemakai resep dan mitos favorit neoliberalisme sejak sebelum krisis bahkan hingga kini. Sektor keuangan, Indonesia menganut sistem yang amat liberal, seperti rezim devisa bebas, dimana lalu lintas modal keluar masuk tanpa batasan. Uang-uang panas (hot money) yang hanya berjangka pendek bisa dilahirkan pemiliknya masuk untuk mencari imbal hasil yang tinggi, dan bebas keluar lagi jika tidak lagi memberi hasil memadai.
Pihak asing juga bebas membeli saham bank, yang merupakan jantung perekonomian. Sistem nilai tukar bisa berfluktuasi tanpa batas. Dan oleh karena itu menurut stiglithz, argument untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sistem perbankan dan keuangan untuk melindungi regulasi yang berdasarkan kehati-hatian adalah cara terbaik, betulkah?.
Situasi Indonesia memang lebih mirip India dan China, makanya menurut ekonom lain seperti De Soto yang mengatakan bahwa permasalahan terpuruknya ekonomi Indonesia dan terlebih masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran adalah lebih dikarenakan masyarakat Indonesia yang belum secara merata mendapatkan akses hukum dan kesempatan. Dan oleh karena itu argument untuk melakukan pembenahan infrastruktur dan pelayanan publik adalah cara yang tepat.

Solusi Ekonomi Islam
Satu fenomena spektakuler patut dicatat dalam lembaran sejarah perjalanan perekonomian Negara kita, disaat krisis ekonomi dan keuangan menyeruak dan tak terbantahkan; bank-bank dan korporasi yang tak mampu menyelesaikan utang-utangnya terpaksa harus gulung tikar, perekonomian nyaris ambruk, sementara itu lembaga keuangan syari’ah dan usaha-usaha kecil dan menengah yang menampik tawaran semu neoliberalisme malah mampu bertahan dari krisis yang menjangkit.
Betulkah sisi ideal Islam benar-benar mampu menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir dari gempuran neoliberalisme? Beberapa ekonom Muslim baik di luar maupun dalam negri mengatakan iyah, Islam adalah jalan satu-satunya menuju kemakmuran universal. Sekaligus mampu menandingi kekuatan neoliberalisme.
Pertama, secara antropoligis neoliberalisme lahir dari hasil napak tilas patologi sejarah manusia yang telah mengakhiri absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki dan mereduksinya menjadi “determinisme ekonomi” atau apa yang di sebut Adam Smith sebagai Homo Oeconomicus. Sedang ekonomi Islam justru sebaliknya lahir dari sejarah manusia yang memamah biakan absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki. Islam melihat bahwa naluri dasar manusia adalah agama bukan materialisme.
Kedua, secara theologies neoliberalisme merupakan turunan dari keyakinan bahwa tatanan yang tertata secara baik tidaklah selalu memerlukan segala konsepsi tentang metafisik tentang kebaikan. Pandangan ini lebih lanjut menjadi derifasi dari pandangan bahwa spiritualisme, tradisi dan sejarah (the heart of religion) hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi akan mendapat ruang eksistensi di abad modern.
Sedang Islam melihat bahwa, kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban. Kulminasinya, agama tidaklah melulu menjadi penghalang bagi kemajuan zaman.
Ketiga, karena neoliberalisme berpegang pada prinsip eligo ergo sum (saya memilih maka saya ada) maka, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem. Sementara Islam berpegang pada aturan Al-Aslu fil Mu’ammalat al-ibahah, bahwa setiap urusan dalam mu’ammalat adalah boleh selama tidak ada aturan yang menghalanginya. Artinya bahwa selalu ada nilai-nilai yang membatasi perilaku ekonomi, termasuk liberalisasi modal.
Fakta bahwa untuk keluar dari ketergantuangan Utang IMF dan Bank Dunia saja Indonesia susahnya bukan main. Belum lagi sejumlah paket kebijakan yang menurut banyak kalangan salah kaprah; RUU Perseroan Terbatas, RUU PMA yang menguntungkan Asing, RUU BHP, kebijakan EPA, pasar bebas dan masih banyak lagi dengan mudahnya diloloskan DPR.
Dengan demikian jelaslah kenapa ada sebagian lembaga yang mendukung dan menentang globalisasi dalam masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak lepas dari kekuatan ideologi yang melatarbelakanginya. Kalau kekuatan yang dominan sekarang adalah ideologi neoliberal, maka tak aneh kalau banyak lembaga-lembaga dalam masyarakat yang "berpersfektif" neoliberal dan mendukung globalisasi. Namun demikian, tidak berarti kekuatan lain yang lebih lemah tidak punya tempat. Kekuatan tersebut bisa menyusun kekuatan dan pengaruh. Gramsci menyebutnya "counter-hegemony" (hegemoni tandingan atas kekuatan yang dominan).
Hanya saja karena dalam kenyataannya, upaya counter hegemony yang dilakukan lembaga-lembaga yang melakukan gerakan anti neoliberalisme terkadang bukan ditujukan untuk meng-counter atau menahan laju arus deras globalisasi dan neoliberalisme, tapi malah membuatnya semakin termotivasi untuk tumbuh dan kadang bermetamorfosis. Alison Von Rooy menulis dalam buku Civil Society and Global Finance, bahwa Bank Dunia saja, semenjak tahun 1973, telah melibatkan LSM-LSM dalam 752 proyeknya. Lembaga seperti IMF bahkan kini mempunyai jaringan mailing list dengan sekitar 1000 buah LSM diseluruh dunia hanya untuk mengukuhkan kejayaan globalisasi.
Dalam konteks inilah penulis meyakini bahwa “Ekonomi Islam” adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir untuk berlindung dari globalisasi yang telah jauh melenceng dari tujuan awal.
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1200:ekonomi-islam-dan-counter-hegemony-neoliberalisme&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60

Rethinking Bank Syari'ah

Penulis : Ma'ruf Muttaqien

KotaSantri.com : Secara historis, perkembangan lembaga keuangan syari'ah sebetulnya telah dimulai sejak sebelum tahun 1992-an, hal ini terutama disebabkan banyaknya tuntutan terhadap totalitas penegakan tata nilai Islam dari para kaum neo-revivalis yang menuntut pemurnian ajaran-ajaran Islam dari berbagai takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC) yang berkembang hampir dalam seluruh aspek kehidupan ummat Islam sebagai akibat dari westernisme dan globalisasi yang tidak dapat dibendung.

Namun secara legalitas, pendirian dan perkembangan perbankan Syari'ah baru dimulai sejak tahun 1992 dengan ditetapkannya UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syari'ah. Dimulai dari adanya lokakarya yang diadakan oleh MUI, lalu kemudian muncul kesepakatan untuk menuangkannya secara legal dalam sebuah undang-undang.

Sejak penetapan undang-undang ini, perkembangan bank syari'ah berjalan secara perlahan yang kemudian mampu berlari secepat kilat setelah bank syari'ah mampu memperlihatkan ketahanannya tehadap krisis moneter tahun '98, sejak saat itu bank syari'ah bak seorang primadona perekonomian yang banyak digandeng dan dilamar oleh para pengusaha dan investor baik domestik maupun internasional. Selintas, kemajuan yang dialami bank syari'ah saat ini sangat menggembirakan, namun bila kita mau lebih mencermatinya lagi, kemajuan ini bukannya tanpa celah.

Ironis memang di Negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, namun kemajuan bank syari'ahnya hanya mampu mencapai pada dua digit saja. Bayangkan saja dari total aset yang dimiliki perbankan syari'ah saat ini, hanya sekitar 0,8% dari seluruh total asset Perbankan Nasional, dari kenyataan ini berarti masih banyak sekali lahan yang belum tergarap oleh bank syari'ah.

Abdullah Saed dalam bukunya "Menyoal Bank Syari'ah" (Paramadina, 2004) melansir, paling tidak ada tiga persoalan yang sering ditemui menyangkut inkonsistensi bank syari'ah dalam pengoperasiannya di negara-negara muslim. Pertama, Adanya kegagalan implementasi profit and loss sharing (PLS) dari sekian banyak instrumen bank syari'ah yang ada di Indonesia, implementasi PLS oleh bank-bank syari'ah di Indonesia masih jauh panggang dari api, baik secara konseptual, struktural, maupun operasionalnya.

Secara konseptual, praktek profit and loss sharing merupakan produk yang beresiko tinggi, hal ini membuat bank belum mampu menerapkannya, akibatnya nasabah lebih suka melakukan transaksi non-PLS seperti murabahah (debt financing). Secara stuktural, bank Syari'ah pada umumnya bukanlah bank investasi, tapi merupakan bank dagang, karena sumber pembiayaannya berasal dari dana jangka pendek, dan secara operasional, sering terjadinya inefisiensi praktek PLS, moral bangsa yang bobrok, dan budaya konsumerisme yang merebak menghilangkan kemauan untuk berinvestasi, selain itu sulitnya mencari pengusaha yang bersedia untuk melakukan transaksi secara PLS.

Maraknya dominasi pembiayaan debt financing dibandingkan PLS, telah membuat adanya pemfiksian hukum (Hiyal) tentang prinsip-prinsip syari'ah yang diterapkan dalam bank syari'ah. Islam menghalalkan jual beli, namun apakah Islam menghalalkan praktek murabahah dalam bank syari'ah yang lebih membuka ruang transaksi riba ini? Dengan nada apologetik, pihak yang mendukung praktek ini menyatakan, "Islam memberikan ruang yang luas bagi praktek muamalah (Al-Aslu fi Al-Muammalat Al-Ibahah) yang berarti murabahah adalah sesuatu yang legal secara normative." Bila secara normatif Murabahah dilegalkan, lalu apa bedanya dengan transaksi ribawi?

Sikap-sikap seperti inilah yang membuat munculnya distorsi kepercayaan masyarakat terhadap bank syari'ah, MUI wa bil khusushan DSN terlalu bersikap formalistik dan menganggap persoalan bank syari'ah adalah menyangkut halal dan haram, boleh atau tidak boleh.

Kasus Fatwa haram MUI beberapa saat yang lalu hendaknya menjadi autokritik bagi MUI (DSN) ataupun pihak bank syari'ah sendiri yang sampai saat ini masih melihat pada penekanan prinsip-prinsip syari'ah dari perspektif makro, tanpa melihatnya dari perspektif mikro. Artinya, prinsip-prinsip syari'ah yang tercermin dalam bank syari'ah tidak sebatas pada nilai-nilai pelarangan riba ataupun distribusi saja, tapi juga penekanan pada aspek profesionalisme, sikap amanah, serta bagaimana kemudian bank syari'ah melihat permasalahan ummat yang semakin pelik dan mencekik.

Oleh karena itu, bank syari'ah ke depannya harus lebih menyiapkan diri agar lebih matang bila terjadi pengalihan dana pihak ketiga yang relatif besar. Selain melakukan efisiensi internal, pengembangan sistem perbankan syari'ah dapat pula menerapkan strategi ekspansi 'economies of scale' dan atau 'economies of scope'. Penerapan strategi economies of scale dilakukan secara horisontal dengan meningkatkan cakupan pasar melalui aliansi strategis dengan mitra usaha domestik maupun internasional. Penerapan strategi of scope dapat dilakukan dengan menambah kelengkapan instrumen transaksi syari'ah (termasuk dengan memanfaatkan kemajuan dalam bidang teknologi informasi) sehingga lebih dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan jasa keuangan syari'ah bagi masyarakat.

***

Pemberdayaan Ekonomi Kecil

Dilematis memang, bila dunia perbankan syari'ah kita masih terjebak kepada syari'at oriented. Di satu sisi, dunia perbankan dituntut untuk mampu memberikan peranannya dalam usaha mensejahterakan rakyat, namun di sisi lain ia terbatas oleh penegakan prinsip-prinsip syari'at Islam. Namun, itu sebetulnya dapat dihindari bila saja pihak bank syari'ah mau bersikap lebih progressif dan transformatif dalam membaca realitas.
Data statistik menko menyebutkan bahwa 42 unit usaha di Indonesia, 99,9 persennya adalah UMKM. Lalu, 99,2 persen kesempatan kerja, 57 persen kebutuhan barang, dan 19 persen ekspor nasional disediakan UMKM. UMKM juga memberikan kontribusi 2-4 persen terhadap pertumbuhan nasional dan 56 persen pada PDB (Koran ini edisi Rabu, 23 Februari 2005).

Bila saja setiap unit usaha kecil tersebut mampu difasilitasi dan diberdayakan, secara otomatis pula 42 juta lapangan kerja baru akan lahir, dan ini berarti jumlah masyarakat miskin akan berkurang. Tapi yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah mampukah bank syari'ah memberi fasilitas dan memberdayakan saudara lamanya yang pada saat krisis '98 mampu bertahan pula bila seandainya pihak bank syari'ah masih menggunakan pola fikir tradisional dan scriptural?

Di sinilah kemudian signifikasi dari keharusan akan perubahan terhadap pola pikir, paradigma pihak yang memiliki otoritas dalam penafsiran prinsip-prinsip syari'ah dari pola formalistik menuju pola yang lebih transpormatif dan humanis. Yang akhirnya pembacaan kembali terhadap kitab-kitab klasik akan menjadi sebuah keharusan.

Bila paradigma pihak-pihak yang terkait dengan bank syari'ah telah sesuai dengan yang disampaikan tadi, barulah ke depan bank syari'ah dengan optimisme mampu berevolusi dari sebelumnya operasional bank syariah yang ditekankan kepada prinsip share holder value, dengan memaksimumkan keuntungan sepihak menjadi bank syari'ah yang diharapkan mampu memiliki prinsip stake holder value, dimana manfaat yang didapat tidak lagi difokuskan hanya pada pemegang saham ansich, namun semua pihak yang terkait mampu merasakannya.

Akhirul kalam, penulis melihat apabila apa yang disampaikan di awal tadi telah terejawantahkan dalam operasional bank syari'ah ditambah lagi dengan dukungan dari berbagai pihak, niscaya perbankan syari'ah ke depan akan semakin berkembang dan masyarakat lambat laun akan merasa memiliki terhadap bank syari'ah. Wallahu a'lamu bishawab
http://www.kotasantri.com/bilik.php?aksi=Detail&sid=576

Senin, 24 November 2008

Soeharto Pahlawan bagi PKS versi Anis Matta?

SUMBER : DETIK.COM

Jakarta - Iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menempatkan mantan penguasa orde baru Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa mendapat reaksi dari sejumlah kalangan. Partai berbasis agama ini kemudian dituding sudah menjadi antek Soeharto. Akibatnya isu perpecahan pun melanda partai tersebut.

Asumsi ini berlandaskan perbedaan pendapat antara Presiden PKS Tifatul Sembiring dengan Sekjen PKS Anis Matta terkait iklan tersebut.

Tifatul merasa ada yang salah dalam iklan tersebut. Sebab sepengetahuannya, materi iklan yang dipresentasikan Anis Matta di hadapan dirinya, Selasa 4 November 2008, berbeda dengan iklan yang muncul di sejumlah televisi. Lagi pula, Tifatul kurang setuju dengan penempatan Soeharto sebagai pahlawan maupun guru bangsa.


Bagaimana dengan Sekjen PKS Anis Matta? Berikut petikan wawancara detikcom dengan Anis Matta melalui telepon:

Iklan PKS yang menyatakan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa banyak dikecam. Apa anda pendapat soal ini?
Saya kira wajar kalau ada yang mengkritisi iklan tersebut. Alasannya macam-macam. Tapi PKS tidak punya tendensi apa-apa selain ajakan untuk rekonsiliasi.

Tapi Presiden PKS Tifatul Sembiring mengaku ada yang salah dalam iklan tersebut. Mengapa demikian?

Itu masalah teknis saja. Sebab waktu materi iklan ditampilkan pada 4 November, di hadapan Presiden PKS serta dewan syura, suaranya belum ada. Karena memang baru berupa dummy.

Soal isu perpecahan di PKS bagaimana?Itu tidak benar. Karena hanya masalah teknis saja. Bukan gagasannya yang berbeda. Saya juga sudah bicarakan itu dengan Tifatul.

Tapi soal Soeharto yang dikatakan dalam iklan sebagai guru bangsa dan pahlawan apakah sudah disepakati di internal partai?

Tentu saja sudah. Sebelum keputusan menayangkan Soeharto sebagai bapak bangsa kami sudah melakukan survei tentang harapan masyarakat Februari 2008. Setelah dilakukan survei munculan nama Soeharto yang diusulkan sejumlah kader-kader di daerah.

Bagaimana dengan tudingan kalau Bang Anis sebagai antek Soeharto karena iklan tersebut?

Sekali lagi yang menempatkan Soeharto sebagai guru bangsa itu adalah hasil survei di daerah-daerah. Dan dari beberapa survei sebelumnya yang pernah dirilis sebuah lembaga, Soeharto menempati urutan pertama sebagai mantan presiden yang masih dicintai rakyat. Jadi kami menganggap penayangan Soeharto sangat tidak berlebihan.

Dan dari survei yang kami lakukan, sebagaian besar masyarakat menganggap reformasi tidak memberikan apa-apa kepada rakyat. Reformasi diartikan antitesa terhadap Orde Baru.

Jadi reformasi tersebut mirip-mirip orde lama. Misalnya dari banyak partai tapi gagal dalam pembangunan ekonomi. Sedangkan orde baru ekonominya stabil tapi demokrasinya yang gagal.

Dari situlah PKS ingin mengubah pandangan tersebut. Kami ingin mengajak semua komponen bangsa untuk melihat ke depan. Jangan lagi terjebak antara orde lama maupun orde baru. Untuk itu kita akan melakukan upaya rekonsiliasi demi kesejahteraan masyarakat.

Tapi apakah rekonsiliasi tersebut sebagai sebuah solusi untuk kesejahteraan rakyat?Dengan adanya rekonsiliasi kita bisa bahu-membahu membangun bangsa. Tidak lagi melihat dari orde mana atau partai mana. Yang penting masyarakat bisa disejahterakan.

Tapi gagasan rekonsiliasi itu kurang mendapat respon. Bagaimana?

Sejauh ini beberapa anak atau cucu dari tokoh-tokoh bangsa, sudah kami datangi. Mereka umumnya menyambut gagasan kami. Mudah-mudahan pertemuan antara keluarga tokoh bangsa ini bisa terlaksana.

Apa sebetulnya yang ada di benak Anis Matta?

Minggu, 23 November 2008

Realisme Politik PKS;


Tayangan Iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menampilkan sejumlah tokoh Bangsa, mulai dari KH. Ahmad Dahlan, Sudirman, Soekarno, hinggga Soeharto yang dianggap kontroversial mulai menarik perhatian masyarakat dan pengamat politik.
Bukan cuma karena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhak atau tidak untuk menampilkan beberapa tokoh tersebut, tapi juga karena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sadar betul akan nasihat politik yang berbunyi; ”Bila ingin besar, maka partai-partai Islam harus mulai memasuki wilayah tengah percaturan politik Indonesia, menjadi lebih terbuka. Dan sedikit mulai mengikis kesan lama sebagai partai islam yang ekslusif.”
Kenapa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berani mengambil langkah tersebut, padahal kita sama-sama tahu bahwa, meski dengan identitas lama pun sebetulnya PKS masih bisa sefenomenal pada pemilu 2004, dengan lonjakan jumlah suara hingga lima kali lipat, atau malah bisa lebih.
Tampaknya, PKS tidak hanya ingin dikenal sebagai partai yang fenomenal dan nyentrik karena simbol-simbol idiologis. Tapi PKS ingin lebih dikenal sebagai partai islam yang juga tidak dapat diragukan komitmen demokrasi dan kebangsaannya.

Standard Ganda
Seperti kita ketahui dalam sejarah politik islam kontemporer, telah cukup banyak partai-partai islam seperti PKS yang harus berusaha digagalkan kemenangannya secara tidak demokratis, atau malah berakhir dengan tragis. Sebut saja partai FIS di Aljazair, Hammas di Palestina, dan rezim Taliban di Afganistan.
Partai-partai tersebut dianggap; pertama, melahirkan totalitarianisme yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip HAM dan demokrasi ketika suatu saat mereka berhasil merebut kekuasaan. Kedua, keikutsertaan partai-partai islam dalam proses demokrasi dianggap memiliki tujuan ganda. Yang selain untuk merebut kekuasaan, juga untuk memaksakan nilai-nilai kepada warga negara.
Dan ketiga, partai-partai islam dianggap menyimpan bahaya radikalisme dan terorisme. Kekerasan yang terjadi dalam negara-negara islam dianggap sebagai akibat dari adanya pemaksaan nilai-nilai terhadap warga negaranya. Bila semakin banyak negara dikuasai partai-partai islam maka, bahaya terorisme akan semakin mengancam tidak saja hanya dalam negaranya, tapi bagi dunia.
Ketiga faktor tersebutlah yang juga dianggap menjadi penyebab partai-partai islam sulit untuk berkembang, selain juga memang karena ketidakmampuan partai-partai Islam dalam menerjemahkan tradisi politik klasik Islam dalam idiom-idiom politik modern.
Alih-alih menerjemahkan tradisi politik islam kedalam idiom modern yang demokratis, partai politik dan dunia islam malah membangun relasi yang tidak harmonis dengan demokrasi dan tatanan global. Terutama dengan munculnya kekrasan dan terorisme yang meresahkan.

Islam Moderat

Disinilah signifikansi dibalik tayangan iklan yang kontroversial tersebut, Partai keadilan Sejahtera (PKS) lewat tayangan tersebut sebetulnya sedang berusaha menata latar, teknik, enggel dan peranti drama politik yang mengusung tema bergenre islam moderat. Yang diawal tulisan ini disebut sebagai wilayah tengah. Sebuah aliran politik modern yang mencoba keluar dari paradigma ”behind right and left.”
Dalam khazanah pemikiran politik islam, genre ini sebetulnya tidak terlalu asing. Bahkan telah menjadi tema utama, dan rasanya akan sangat sulit menemukan ulama, fuqaha maupun filosof islam yang tidak pernah menyebut idiom-idiom moderatisme ini.
Imam Ghazali yang dikenal sebagai pengecam rasionalisme, dalam nasihah al-mulknya secara lebih gamblang meramu konsep mizan (yang secara harfiah berarti neraca) atau keseimbangan (I’tidal).
Dalam realitas mutakhir, konsep-konsep tersebut kemudian kita kenal dengan tradisi politik yang menekankan etika dan kebijaksanaan plus perhitungan rasional dalam urusan-urusan politik (realisme politik).
Konsep I’tidal meyakini bahwa kebenaran harus diinterpretasikan dan diberlakukan melalui akal. Sedang konsep mizan yang merujuk pada neraca pedagang; adalah metode untuk menghitung neraca keadilan.
Konsep mizan dan I’tidal sangat berhubungan dengan jalan tengah diantara dua kutub, yang dianggap sebagai ciri kebijaksanaan dalam islam. dengan demikian kedua konsep ini merupakan lawan dari liberalisme maupun fundamentalisme.
Moderatisme, demikian kira-kira kita sematkan kepada konsep-konsep tersebut. Genre politik yang mulai dijajaki oleh Partai keadilan sejahtera (PKS) bukan saja sejak ditayangkannya iklan kontroversial tersebut, tapi sudah sejak Mukernas Bali bulan Januari 2008 lalu.
Moderatisme, demikian juga kiranya yang dijadikan landasan ketua Masjlis Syuro PKS ketika berkomentar tentang eksekusi Amrozi. Menurutnya; ”radikalisme bukanlah jalan islam.”
Akhirnya kita hanya bisa berharap, agar lompatan quantum ini tidak hanya dilakukan oleh PKS. Tapi juga dilakukan oleh partai-partai islam, ormas, dan kelompok lainnya. Sehingga kedepan kita dapat melihat sebuah tatatan masyarakat yang tertata secara lebih baik, bangsa yang lebih bermartabat dan pergumulan global yang lebih manusiawi.

Minggu, 17 Agustus 2008

Foto Bugil dan Sindrom Seksualitas Plastis; Fenomena Seksualitas Dalam Masyarakat Modern


Tidak ada yang menyangka, kalau dibalik wajah inocent Ryan yang akhir-akhir ini selalu muncul di layar televisi ternyata tersimpan hasrat-keji yang membuat lebih dari sepuluh nyawa melayang. Hingga saat ini, pembunuhan berantai yang disebut-sebut sebagai pembunuhan tersadis dalam satu dekade terakhir ini belum dapat disimpulkan disebabkan oleh motif hasrat seksualitas, ekonomi atau kesenangan (money and pleasure).
Derasnya arus modernisasi memang terkadang membuat kita larut dalam ingar bingar dan mimpi kemajuan masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Menghadirkan harapan baru dan sejenak menghapus noda “ketertinggalan zaman”. Hanya saja hal tersebut terkadang membutakan mata, mengadopsi apapun dari hasil modernisasi tanpa sebuah kritisisme.
Saking rumitnya dunia baru ini, Fazlur Rahman sampai menjulukinya sebagai jenus faced (wajah ganda). Karena selain membawa keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, juga dengan akibat yang berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-nilai. Keluarga sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling mengkhawatirkan di era ini. Terutama soal seksualitas, reproduksi dan perkawinan.

Revolusi Seksualitas
Meskipun dekade ini hampir bisa dipastikan bukan yang terkotor dalam kehidupan relasi sosial, tapi dapat dipastikan bahwa saat ini merupakan masa yang paling terobsesi oleh revolusi seksual yang memaksa laki-laki ataupun perempuan menegosiasikan kembali keintiman yang mereka inginkan.
Bila diera pra-modern relasi seksual hampir tidak dapat keluar dari relasi heteroseksual, perkawinan dan reproduksi, maka kecenderungan diera modern adalah keinginan dari sebagian orang untuk memutuskan hubungan yang niscaya antara seksualitas, reproduksi dan perkawinan atau apa yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai ”seksualitas plastis.”
Seksualitas Plastis merupakan efek terburuk dalam transformasi keintiman (transformation of intimacy), dimana seksualitas semakin menjadi bagian yang terpisah dari reproduksi. Seiring kemajuan teknologi, saat ini konsepsi itu dapat diproduksi, bukan hanya sekedar kemaluan buatan, tetapi juga seksualitas pada akhirnya benar-benar sudah dapat mengurus kebutuhannya sendiri.
Celakanya, kembali meminjam konsepsinya Giddens, Seksualitas Plastis bukan hanya telah mengubah semua konsepsi masyarakat modern tentang seksualitas, namun juga telah menjadi ciri kepribadian, lebih lanjut menjadi identitas diri yang intrinsik.

Kegagalan Demokrasi
Pembunuhan berantai yang diperkirakan bermotifkan kepuasan seksualitas dan ekonomi yang dilakukan oleh Ryan, mungkin adalah yang terburuk sepanjang sejarah revolusi seksual dalam kehidupan sosial kita. Kasus tersadis ini bukan hanya sekedar membuktikan akan efek terburuk dari transformasi keintiman, tapi juga merupakan bentuk kegagalan demokrasi untuk menghadirkan sikap toleransi kosmopolitan dalam menghadapi fundamentalisme, baik agama maupun pasar (neoliberalisme).
Karena alih-alih laju transformasi keintiman yang selama ini terjadi melahirkan emansipasi dalam ruang publik, nyatanya malah dieksploitasi menjadi trend yang paling menjanjikan dalam industri dan gaya hidup. Trend ini terlihat nyata dalam tayangan televisi yang menghadirkan ikon-ikon artis berlaga kemayu seperti Ryan.
Sementara itu fundamentalisme agama juga tidak mampu menyediakan ruang dialog untuk melewati tahapan ini. Doktrin agama yang kita kenal tentang perilalu menyimpang ini lebih sering dikaitkan secara historis dengan sejarah kaumnya nabi Luth (kaum sodom), dibandingkan alasan lain yang lebih rasional, yang memberikan solusi lain yang lebih mungkin diterima masayarakat modern. Pada akhirnya, kehidupan sosial kita tidak mampu dijinakan, dan malah lepas kendali (run a way).
Fundamentalisme pasar dan agama tampak berkelindan dalam menyikapi fenomena seksualitas plastis, sehingga menimbulkan dilema dan anomali dalam masyarakat yang telah terkena sindrom seksualitas plastis. Melaju tak terkendali akibat industri pasar, sementara rem norma, agama dan hukum tampak belum selesai berkesimpulan.
Dalam masyarakat demokratis yang gagal mengatasi totalitarianisme pasar dan agama; seksualitas, mode, musik dan budaya populer lainnya secara cepat berubah menjadi alat untuk mengamini dan mempertahankan rezim kapitalisme. Sehingga seksualitas plastis dapat dengan mudah tumbuh subur, meski efek terburuknya semakin nyata seperti dalam kasus Ryan dan beberapa kasus pembunuhan baru-baru ini.
Sementara itu efek lain dari seksualitas plastis yang terkait dengan semakin jauhnya relasi keintiman dengan reproduksi, perkawinan dan kenikmatan seksual juga semakin mendapatkan ruang dan waktu terbaiknya. Hal ini bisa terlihat jelas dari produksi alat kontrasepsi, tayangan erotis, kasus perceraian sejumlah artis, dan yang paling mengerikan tentu saja pergaulan bebas dikalangan abg yang semakin marak.
Tak ada cara lain, untuk menghilangkan sindrom seksualitas plastis yang telah berpengaruh sangat luas hingga menjadi perilaku korupsi yang marak dinegri ini selain dari berharap kepada demokrasi. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh para psikolog Jungian, yang membaca kesalahan besar Michael Fouchalt dan Freud ketika menyimpulkan psikopatologi masyarakat modern. Yaitu tidak adanya diskusi lebih lanjut tentang cinta dan romantisme atau apa yang kita kenal dengan Harmony (keseimbangan) dalam masyarakat demokratis. Dibandingkan dengan hasrat seksualitas (passion Amour), Cinta dan romantisme disebut-sebut akan mampu mengatasi penyakit kejiwaan apapun yang menimbulkan kerusakan dalam masyarakat modern, semoga......
Dimuat di Koran jakarta (9 Agustus 2008)

Senin, 04 Agustus 2008

Ekonomi Islam dan “Counter Hegemony” Neoliberalisme

Mansour Fakih, dalam buku terakhirnya “Bebas dari Neoliberalisme” mengajukan pertanyaan yang cukup menggigit, kenapa kita miskin. Bagi Mansoer Fakih, kemiskinan bukanlah takdir. Kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena kebodohan, kemalasan, atau karena lemahnya sumberdaya manusia. Kita, menurut Mansour, “dimiskinkan” oleh sebuah kebijakan sistematik. Kebijakan yang membuat kita miskin itu adalah “Neoliberalisme”.

Neoliberalisme lebih lanjut merupakan ideologi dibalik munculnya fenomena globalisasi. Dari kacamatanya yang Marxis, Mansour melihat globalisasi sebagai kelanjutan pola dominasi para pemilik modal, orang-orang kaya, terhadap orang lemah.
Pola dominasi yang menindas ini sudah berlangsung lima ratus tahun. Fase pertama adalah fase kolonialisme, yakni satu fase sejarah di mana kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi fisik untuk membuka pasar baru dan mendapatkan bahan baku. Melalui kolonialismelah dominasi manusia atas manusia menjelma dalam bentuk penjajahan dan penindasan hampir di separuh belahan dunia.
Ketika fase ini belum selesai, satu lagi tipe mode of domination baru hadir. Fase yang terjadi sekarang ini ditandai oleh liberalisasi dalam segala bidang yang diterapkan secara terstruktur oleh lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan WTO. Inilah era globalisasi.

Ekonomi Indonesia
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.
Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Liberalisasi modal, pasar keuangan dan privatisasi BUMN merupakan hal yang problematik bagi banyak Negara berkembang terutama Indonesia. Akan tetapi telah banyak Negara yang mapu membuktikan (China, Jepang, Malaysia dan India) bahwa pertumbuhan dan kemakmuran tidak melulu harus tunduk pada neoliberalime.
Sementara Indonesia menurut Stiglizht merupakan Negara pemakai resep dan mitos favorit neoliberalisme sejak sebelum krisis bahkan hingga kini. Sektor keuangan, Indonesia menganut sistem yang amat liberal, seperti rezim devisa bebas, dimana lalu lintas modal keluar masuk tanpa batasan. Uang-uang panas (hot money) yang hanya berjangka pendek bisa dilahirkan pemiliknya masuk untuk mencari imbal hasil yang tinggi, dan bebas keluar lagi jika tidak lagi memberi hasil memadai.
Pihak asing juga bebas membeli saham bank, yang merupakan jantung perekonomian. Sistem nilai tukar bisa berfluktuasi tanpa batas. Dan oleh karena itu menurut stiglithz, argument untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sistem perbankan dan keuangan untuk melindungi regulasi yang berdasarkan kehati-hatian adalah cara terbaik, betulkah?.
Situasi Indonesia memang lebih mirip India dan China, makanya menurut ekonom lain seperti De Soto yang mengatakan bahwa permasalahan terpuruknya ekonomi Indonesia dan terlebih masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran adalah lebih dikarenakan masyarakat Indonesia yang belum secara merata mendapatkan akses hukum dan kesempatan. Dan oleh karena itu argument untuk melakukan pembenahan infrastruktur dan pelayanan publik adalah cara yang tepat.

Solusi Ekonomi Islam
Satu fenomena spektakuler patut dicatat dalam lembaran sejarah perjalanan perekonomian Negara kita, disaat krisis ekonomi dan keuangan menyeruak dan tak terbantahkan; bank-bank dan korporasi yang tak mampu menyelesaikan utang-utangnya terpaksa harus gulung tikar, perekonomian nyaris ambruk, sementara itu lembaga keuangan syari’ah dan usaha-usaha kecil dan menengah yang menampik tawaran semu neoliberalisme malah mampu bertahan dari krisis yang menjangkit.
Betulkah sisi ideal Islam benar-benar mampu menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir dari gempuran neoliberalisme? Beberapa ekonom Muslim baik di luar maupun dalam negri mengatakan iyah, Islam adalah jalan satu-satunya menuju kemakmuran universal. Sekaligus mampu menandingi kekuatan neoliberalisme.
Pertama, secara antropoligis neoliberalisme lahir dari hasil napak tilas patologi sejarah manusia yang telah mengakhiri absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki dan mereduksinya menjadi “determinisme ekonomi” atau apa yang di sebut Adam Smith sebagai Homo Oeconomicus. Sedang ekonomi Islam justru sebaliknya lahir dari sejarah manusia yang memamah biakan absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki. Islam melihat bahwa naluri dasar manusia adalah agama bukan materialisme.
Kedua, secara theologies neoliberalisme merupakan turunan dari keyakinan bahwa tatanan yang tertata secara baik tidaklah selalu memerlukan segala konsepsi tentang metafisik tentang kebaikan. Pandangan ini lebih lanjut menjadi derifasi dari pandangan bahwa spiritualisme, tradisi dan sejarah (the heart of religion) hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi akan mendapat ruang eksistensi di abad modern.
Sedang Islam melihat bahwa, kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban. Kulminasinya, agama tidaklah melulu menjadi penghalang bagi kemajuan zaman.
Ketiga, karena neoliberalisme berpegang pada prinsip eligo ergo sum (saya memilih maka saya ada) maka, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem. Sementara Islam berpegang pada aturan Al-Aslu fil Mu’ammalat al-ibahah, bahwa setiap urusan dalam mu’ammalat adalah boleh selama tidak ada aturan yang menghalanginya. Artinya bahwa selalu ada nilai-nilai yang membatasi perilaku ekonomi, termasuk liberalisasi modal.
Fakta bahwa untuk keluar dari ketergantuangan Utang IMF dan Bank Dunia saja Indonesia susahnya bukan main. Belum lagi sejumlah paket kebijakan yang menurut banyak kalangan salah kaprah; RUU Perseroan Terbatas, RUU PMA yang menguntungkan Asing, RUU BHP, kebijakan EPA, pasar bebas dan masih banyak lagi dengan mudahnya diloloskan DPR.
Dengan demikian jelaslah kenapa ada sebagian lembaga yang mendukung dan menentang globalisasi dalam masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak lepas dari kekuatan ideologi yang melatarbelakanginya. Kalau kekuatan yang dominan sekarang adalah ideologi neoliberal, maka tak aneh kalau banyak lembaga-lembaga dalam masyarakat yang "berpersfektif" neoliberal dan mendukung globalisasi. Namun demikian, tidak berarti kekuatan lain yang lebih lemah tidak punya tempat. Kekuatan tersebut bisa menyusun kekuatan dan pengaruh. Gramsci menyebutnya "counter-hegemony" (hegemoni tandingan atas kekuatan yang dominan).
Hanya saja karena dalam kenyataannya, upaya counter hegemony yang dilakukan lembaga-lembaga yang melakukan gerakan anti neoliberalisme terkadang bukan ditujukan untuk meng-counter atau menahan laju arus deras globalisasi dan neoliberalisme, tapi malah membuatnya semakin termotivasi untuk tumbuh dan kadang bermetamorfosis. Alison Von Rooy menulis dalam buku Civil Society and Global Finance, bahwa Bank Dunia saja, semenjak tahun 1973, telah melibatkan LSM-LSM dalam 752 proyeknya. Lembaga seperti IMF bahkan kini mempunyai jaringan mailing list dengan sekitar 1000 buah LSM diseluruh dunia hanya untuk mengukuhkan kejayaan globalisasi.
Dalam konteks inilah penulis meyakini bahwa “Ekonomi Islam” adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir untuk berlindung dari globalisasi yang telah jauh melenceng dari tujuan awal.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Pesantren Virtual.Com

Virtualisasi Ekonomi Islam

Ratusan tahun silam, jauh sebelum Masehi, orang-orang dari India sudah datang ke desa kita, mengajarkan titah Sidarta Gautama, membeli rempah-rempah dan lain sebagainya. Bahkan Alexander Agung pernah menyatukan separuh dunia di dalam rengkuhannya. Jalur Sutra juga sudah menghubungkan orang-orang dari daratan Eropa dan Asia beberapa ratus tahun silam. Sekitar abad 14 atau 15, Haramain (Mekkah dan Medinah), telah menjadi lokus utama tempat para ulama dari seluruh dunia Muslim berinteraksi membangun jaringan “global”. Tapi semua itu dibangun dengan batasan ruang dan waktu yang teramat luas dan lama.
Bayangkan dunia saat ini, dengan jaringan komunikasi dan transportasi global semuanya bisa dipermudah dan dipercepat hanya dalam sepersekian jam, menit bahkan detik. The world is flat, demikian Thomas L. Friedman mengilustrasikan dunia yang semakin tanpa batasan (borderless) ruang dan waktu. Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima akselerasi perubahan dunia dengan mudah. Masih banyak yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan posmodernitas dan globalisasi telah mendehumanisasi kemanusian manusia. Membuat kehidupan menjadi penuh dengan main-main dan bersenda gurau (laiba wa lahwa).
Ernest Gelner, seorang intelektual yang sangat fasih berbicara tentang peradaban bahkan menyebut kedua istilah tersebut sebagai istilah mutakhir dari relativisme kuno. Sedang Akbar S. Ahmed intelektual muslim yang menulis buku fenomenal tentang Islam dan posmodernisme menyebut kedua istilah tersebut sebagai ancaman serius bagi dunia Islam, bahkan lebih berbahaya dari kekuatan militer sekalipun. Berbeda dengan apa yang ditawarkan Sayyed Hussein Nashr dalam menghadapi modernitas ataupun posmodernitas secara lebih realistis, baginya modernisme maupun posmodernisme merupakan realitas dan tidak mungkin kita bisa mengelak. Maka hadapi, hayati dengan kritis dan nikmati dengan batasan. Dan fides quern intellectum (rasionalitas keimanan) adalah jalan satu-satunya untuk menjawab realitas tersebut.
Hanya saja resep-resep tersebut belakangan juga dirasakan kurang cukup mampu memberikan tawaran pertahanan, karena ternyata arus deras globalisai dan efek posmodernitas telah masuk dalam tiap sisi kehidupan ummat Islam. Belakangan, Ernest Gelner dan Akbar S. Ahmed dinilai gagal dalam membaca dan menempatkan posmodernisme; apakah posmodernisme dianggap sebagai counter terhadap modernisme atau malah sebagai high modernisme. Sementara rasionalisasi keimanan yang ditawarkan Nashr atau yang kini dimamah biakan oleh Caknur dan kalangan liberal juga dianggap kurang realistis.
Virtualisasi ekonomi
Salah satu penyebab dari sekian banyak kegagalan yang dialami dunia muslim untuk mengantisipasi serbuan arus deras globalisasi adalah ketidak mampuan para kaum cendekia dan intelektual dalam memahami metamorfosa globalisasi yang tengah semakin menguasai kekuatan ekonomi dunia saat ini. Padahal sebagaimana dilansir Heri B. Proyono bahwa globalisasi telah membawa ekonomi global kepada kecenderungan virtualisasi ekonomi yang meniscayakan integrasi pasar financial internasional. Dalam fakta, visi integrasi pasar financial yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan menjadi homo oecenomicus telah semakin penuh dengan kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi integrasi pasar financial tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)?.
Pasar financial Islam adalah pasar yang tak terkecuali, penetrasi visi global yang telah mengarah kepada neoliberalisme yang embedded liberalism ke dalamnya telah semakin tak terelakan. Mimpi integrasi pasar financial Islam pun telah semakin merasuki para pelaku pasar ekonomi Islam dewasa ini.
Pasalnya, Islamic finance dilihat lebih sebagai peluang daripada ancaman yang serius. fenomena maraknya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya di dunia barat dan negara-negara non-muslim lebih dianggap sebagai kemunculan model kapitalisme—khas Islam—baru yang mungkin dapat berdampingan dengan bentuk bentuk kapitalisme yang selama ini di puja barat (Rodney Wilson,2007).
Pasar financial Islam dalam negri yang perkembangannya dianggap sebagai yang tercepat sepanjang masa pasca fatwa MUI ternyata juga tidak dapat mengelak dari penetrasi dan serangan virus virtualisasi ekononomi yang membuatnya semakin tidak realistis.
Visi neoliberal yang telah semakin menggerogoti benteng terakhir ketahanan bangsa ini sangat terlihat jelas dalam kebijakan Bank Indonesia melalui PBI Nomor 8/3/PBI/2006, yang telah meniscayakan free fight liberalism dalam pasar financial Islam Indonesia.
Persyaratan administratif, kelayakan, kesehatan, kehalalan yang sebelumnya menjadi hal mutlak dalam proses perluasan pasar financial Islam Indonesia kini menjadi semakin diperlonggar.
Bank-bank konvensional yang sebelumnya harus melewati minimal dua tahapan untuk membuka cabang syari’ahnya, kini cukup dengan satu tahapan saja. Asalkan punya unit syari’ah dia sudah bisa membuka cabang-cabang syari’ahnya dimana saja melalu office channeling. Tak perduli ia bank asing atau lokal.
Ekonomi riil
Awalnya, office chanelling merupakan kebijakan yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan perbankan syari’ah dalam negri. Tapi faktanya, Rasio Non performing financial (NPF) bank-bank syari’ah yang pada akhir 2006 sebesar 4,2 % meningkat menjadi 6,4%.
Meski secara formal peraturan office channeling tidak terlihat bertentangan secara syar’I, tapi secara substantif kebijakan yang telah mengalami revisi ini sangat berpotensi melahirkan free fight liberalisme yang meniscayakan persaingan tidak sehat dalam pasar financial Islam Indonesia ke depan.
Kulminasinya, yang mendapat keuntungan dari kebiijakan office channeling ini adalah bank-bank umum besar yang telah memmiliki jaringan perbankan yang sangat luas. Padahal lebih dari 65 % saham bank-bank umum konvensional saat ini telah dikuasai asing.
Sementara itu lembaga-lembaga keuangan mikro yang benar-benar berjuang membangun sektor riil harus bernafas senen-kemis untuk mempertahankan diri dari serbuan bank-bank besar. Dan mereka sama sekali minim perlindungan dari pemegang kebijakan negri ini.
Sebelum resesi dan stagflasi melanda negri ini, sebelum ekonomi virtual menggelumbungkan pasar financial negri ini, sebelum neoliberalisme menyapu bersih sisa-sisa pertahanan negri ini, fondasi ekonomi Islam harus diperkuat. lembaga-lembaga keuangan mikro yang fokus terhadap sektor riil layaknya grameen bank harus direflikasi.
Karena hanya dengan kekuatan seperti inilah kita akan mampu menahan libido dan hasrat manusia-manusia ekonomi (homo oeconomicus) untuk mengeruk semua energi potensial alam raya ini hanya untuk kepuasan dirinya, sementara yang lain menjerit dan menangis tanpa suara tangisan (voice of the voiceless).Wallahu a’lamu bishawab

MEMBANGKITKAN NASIONALISME BARU:


Judul Buku : Bangsa Gagal; Mencari Identitas Kebangsaan
Penulis : HM. Nasruddin Anshory, Ch
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Terbit : Mei 2008
Tebal : 196 halaman
Harga : Rp.34.500

Studi sejarah merupakan penawar terbaik untuk penyakit-penyakit pikiran. Karena dalam sejarah akan didapatkan beragam catatan tak terhingga mengenai pengalaman manusia yang diperkenalkan secara sederhana untuk dilihat, dalam catatan itu akan terlihat siapa kita dan negri kita. Baik sebagai tamsil maupun peringatan, mencari sesuatu yang baik dan mencampakan semua yang buruk.
Jas merah tegas bung Karno; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan kenangan indah, tapi juga menyuguhkan kearifan dan kebenaran yang bisa dijadikan ibrah bagi keberlangsuangan selanjutnya.
Dengan menghargai sejarah, sebuah bangsa bisa menjadi besar, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bangsa yang tidak pernah menoleh ke belakang adalah bangsa yang tidak akan pernah mencapai tujuannya.
Ini berarti pula bahwa, keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuan sangat tergantung pada sikap dan pandangannya terhadap perjalanan sejarah. Lihatlah bangsa Amerika yang digambarkan Ronald Reagen sebagai super hero seperti ”Rambo” yang memiliki semangat the pursuit of happines, atau lihat juga bagaimana China, Jepang, India dan bahkan Iran mampu sedikit semi sedikit menjadi bangsa yang besar.

Bangsa yang gagal
Sejarah mencatat, kemajuan yang dicapai oleh negara-negara non-barat itu berakar pada empat landasan atau sumber. Pertama, adalah kebudayan-kebudayaan induk (mother culture) yang unggul, misalnya Hindu-Budha di India dan Konfusianisme, Taoisme di China dan Sinthoisme di Jepang serta Islam-Syi’ah di Iran.
Kedua, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan—meminjam istilah Habermas—tekno-ekonomi yang mula-mula dirintis oleh barat. Ketiga, adalah majunya system dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Keempat yang tidak kalah penting, telah berkembangnya system politik dan kenegaraan.
Berdasar atas keempat landasan tersebut, maka alasan pencapaian kebesaran sebuah bangsa paling tidak karena mereka mampu menjaga, menghargai dan memaknai sejarah panjang bangsanya sendiri. Baik secara arkeologis, sosiolgis maupun antropologis.
Lalu bagaimana dengan bangsa kita? HM. Nasruddin Anshory Ch dalam bukunya yang merupakan seri satu abad kebangkitan nasional terbitan LKIS Yogyakarta ini, menyebut bangsa ini sebagai “bangsa yang gagal” dalam mencari identitas kebangsaanya. Pasalnya, sejak satu abad yang lalu, sejak kita mengumandangkan kebangkitan bangsa hingga sekarang, bangsa ini tak kunjung menjadi bangsa yang benar-benar dicita-citakan.
Lebih lanjut penulis buku ini mengaku telah mampu medeteksi adanya penyakit psychopatologi yang disebabkan oleh adanya sindrom ‘nasionalisme petasan.’ Dalam hal ini Nasruddin berada pada gugus yang sama dengan Amin Rais yang menyebut bangsa ini tengah terkena sindrom ‘nasionalisme dangkal,’ yang lebih mengutamakan window show; yang terbuai dengan isu-isu pinggiran yang bersifat emosional dan reaktif ansich. Bentuk nasionalisme simbolik yang lebih senang merawat dan mempercantik halaman rumahnya, sementara ia tidak peduli dan sadar kalau isi rumahnya telah mulai pudar dan kropos.
Selengkapnya, bangsa kita bisa dikatakan telah mengalami apa yang disebut dalam buku ini sebagai bangsa yang gagal dalam menentukan skema baru identitas kebangsaannya, terutama setelah sepuluh tahun lebih orde reformasi berjalan. Alih-alih menemukan skema identitas baru, bangsa ini malah terpencar dan identitas diri tak terselesaikan, kulminasinya mengarah pada semacam fragmentasi yang sangat berbeda, menggerogoti dan menyebabkan identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan berupa spirit primordialisme, parokial, xenocentrisme atau bahkan etnocentrisme. Tak ada satupun alasan untuk dapat menyatukan identitas kebangsaan tersebut selain apa yang diawal tadi disebut sebagai nasionalisme petasan ataupun nasionalisme dangkal.

Melepas Amnesia
Oleh karena itu, buku ini semakin menemukan signifikansinya, terutama mengingat pentingnya memobilisasi masa silam Indonesia untuk meluruskan upaya doktriner apa pun yang akan ditempuh untuk meletakan identitas kebangsaan pada pijakan fondasional yang aman. Entah religius, sekuler, atau tidak kedua-duanya, atau pancasila yang sering kita amini bersama sebagai identitas yang paling aman.
Dalam kehidupan berbangsa dimanapun, tidak ada satupun yang tidak pernah melewati kekerasan rasionalitas-dialektis, dan bahwa sebuah komunitas akan dapat dipersatukan dengan identitas yang paling kuat dan efektif oleh apa yang sama-sama mereka yakini (common ideas), dan sebaliknya oleh apa yang sama-sama mereka benci dan musuhi (common enemy). Dengan begitulah kecintaan (nasionalisme baru) akan terwujud dengan sendirinya.
Meminjam tesis Sigmund Freud bahwa, setiap bagian yang kembali dari alam lupa (yang dikekang) mendesakan diri dengan kekuatan yang sangat istimewa. Memberikan pengaruh yang nyata kuatnya pada diri orang dalam suatu massa dan menjunjung tinggi klaim tak tertahankan. Dimana keberatan-keberatan logis tinggal tak berdaya.
Berbeda dari buku-buku sejarah yang biasa ada di rak-rak buku anda, yang penyajiannya cenderung linier, kaku dan sangat tergantung pada model klasik periodesasi penulisan sejarah. Buku ini hadir dengan logika penulisnya sendiri, dengan maksud keluar dari tradisi penulisan sejarah yang terbukti malah membuat beberapa generasi penerus bangsa ini terjebak dalam alienasi sejarah yang cukup lama.
Buku ini juga mampu memerinci karakteristik masing-masing periode dalam proses perjalanan bangsa ini. Karakteristik yang semestinya mampu memberikan inspirasi patriotisme, anti-kolonialisme, semangat juang dan tentu saja nasionalisme sepenuhnya.

Sabtu, 26 Juli 2008

Ahmadinejad Al-Fakir



Ya Allah Jadikanlah pemimpin hamba seperti halnya Ahmadinejad, yang tidak pernah hanya menebar pesona dan kata...........Lebih baik dipimpin pemimpin Kapir, dari pada dipimpin oleh pemimpin yang melempem............

Menggagas Dzikir Iqtishadi

Oleh: Ma'ruf Muttaqin
Apa yang dapat dirasakan ketika panen padi pada musim tanam rendeng kali ini mengalami kegagalan?, Begitupula dengan peningkatan NPL bank syari’ah, atupun penyuapan dalam kasus BLBI?. Apakah kita biarkan kesedihan menyelimuti para petani dan praktisi perbankan, lalu biarkan pula mereka bersikap “Nrimo ing pandum”. Kenapa semua itu bisa terjadi?. Apakah karena kesalahan praktek kultur teknis dan penggunaan pupuk? atau justru karena apa yang biasa kita sebut dengan bencana alam dan moral hazard. Lalu apa yang bisa dilakukan ketika realitas sosial dan keadaan alam tidak bisa dikuasai, padahal petani atau para analis telah cukup yakin sebelumnya.

Dalam mainstream ekonomi, apapun yang masuk kategori uncertainty seperti diatas, merupakan sesuatu yang tidak dapat dikalkulasikan secara ekonomi (non-use value). Makanya, para pemuja ekonomi pasar tersebut menyebutnya sebagai eksternalitas. Sebagai upaya untuk meminimalisasi biaya (cost) dan tanggung jawab (obligation). Hanya saja, agar terkesan kepeduliannya tetap ada, maka diadakanlah yang namanya Cost Social Resfonsibility (CSR) dari para korporat, atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari para pemegang kebijakan. Anehnya, apa yang disebut sebagai domestic support atau subsidi tetap saja seret.
Selain dari pandangan para environmentalis dangkal yang menganjurkan resep-resep entrophy kesederhanaan hidup, yang berakibat pada pengurangan subsidi; Listrik, BBM, dan pupuk, tampaknya belum ada tawaran lain untuk mengatasi residu peradaban modern tersebut?
Kalaupun ada, maka itupun belum dapat keluar dari tawaran the third way-nya Anthony Giddens yang bersandar pada keyakinan beyond right and left. Yang mencoba memperhadapkan new social democracy dengan neoliberalisme. Sementara itu, pandangan tentang pentingnya prohibition of riba dalam mainstream ekonomi syari’ah masih menjadi resep yang laris manis bagi para praktisi ekonomi Islam.
Klaim bahwa ekonomi Islam merupakan alternative untuk melawan neoliberalisme untuk sementara dapat dibenarkan, hanya saja dalam kenyataannya, ekonomi Islampun belum bisa keluar dari paradigma behind right and left (Dawam Rahardjo, 2007).
Beberapa penelitian ilmiah yang berkesimpulan tentang persepsi masyarakat tentang bank syari’ah, bahwa masyarakat cenderung menggunakan alasan rasionallitas dibandingkan dengan alasan idiologis dalam memilih bank syari’ah, merupakan contoh konkrit dari ketidakmampuannya untuk keluar dari wacana positive economic.
Kesimpulan tersebut telah mereduksi peranan institusi keuangan Islam dalam pembangunan community intelegent. Padahal, bagi Ibnu Khaldun, ilmuwan Islam yang diklaim sebagai bapak ekonomi Islam, community intelligent merupakan prasyarat utama dalam membangun kekuatan ekonomi, selain khilafah.
Community intelligent menurut Kaplan dan Norton (2004) harus mencakup; modal sumber daya manusia (human capital), modal organisasi (organization capital) dan modal informasi (information capital). Sedang Herry B. Priyono menambahkan; modal intelektual (Intelektual capital), modal ekologi (echological capital) dan modal sipiritual (spiritual capital).
Community intelligent, atau yang diawal tadi disebut sebagai eksternalitas, dalam ekonomi konvensional didefinisikan sebagai “An externality is difined as the case where an action of one economic agent affects the utility or production possibilities of another in a way is not reflected in the marketplace”(Just et.al.1992). Kata kunci dari definisi tersebut adalah is not reflected in the marketplace (sesuatu yang tidak dapat direfleksikan di pasar).
Oleh karena itu sejatinya, lembaga keuangan Islam memiliki ruang aktivitas dan tindakan yang lebih luas dari sekedar sebagai lembaga komersial yang berusaha menumpuk asset dari masyarakat, sementara miskin berbuat untuk kemajuan ummat.
Intsitusi apapun, tidak hanya sebatas lembaga keuangan, seharusnya memiliki tanggung jawab berdakwah. karena hal terpenting dalam proses dakwah adalah li takwienul ummat atau membangun ummat, dalam artian ikut bertanggung jawab membangun community intelligent.
Sayang, dalam realitasnya, tugas tersebut menjadi hak preogratif para Ulama dan Kyai. Sedang Cendekiaawan dan para Civitas Perguruan Tinggi termasuk para Saintis diberi tugas menyiapkan bantuan teori dan teknis, berupa pengetahuan dan teknologi. Dari kenyataan tersebut, kita patut mempertanyakan, kenapa tugas-tugas tersebut terlaksana secara sektoral dan tak pernah terintegrasi?
Dari itulah, upaya internalisasi dan integrasi seluruh sektor tersebut harus menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Proses penyamaan visi dan paradigma yang memandang aktivitas hidup sebagai sebuah kesatuan kosmik (kesadaran kosmik). Dan karena kesadaran kosmik hanya dapat ditemukan dalam istilah religion (religare), maka membangun community intelligent harus dimulai dari peningkatan kualitas nalar agama. Artinya, pembangunan yang merupakan bukti nyata dari proses nalar manusia (akal) tidak bisa terlepas dari ukuran wahyu (agama).
Upaya ini secara lebih analitik disajikan oleh Dr. Murasa Sarkaniputra sebagai Revelation Based Measurment (perpaduan mantik rasa dan mantik akal). Ibnu Arabi menyebutnya sebagai metode kasf (penyingkapan), sedangkan Mulla Sadra lebih senang untuk menyebutnya sebagai Hikmah Muta’aliyah (kearifan puncak), yaitu perpaduan dari filsafat Paripatetiknya Ibnu Sina, Illuminasinya Suhrawardi, Gnosisnya Imam Ghazali dan Revelationnya Ibnu Ararbi.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam atau pun ekonomi Indonesia secara keseluruhan, revelation based measurment merupakan paradigma alternatif yang bisa memberikan resep mujarab dalam kondisi ekonomi dimana petani, peternak, ataupun praktisi lembaga keuangan tidak mampu menghadapi ketidakpastian (uncertainty), disebabkan oleh eksternalitas yang tidak dapat dikuasai (banjir, kekeringan, badai el nina ataupun penyakit sosial).
Begitupun dalam praktek mudharabah, apa yang disebut sebagai resiko yang terlampau tinggi (moral hazard) yang disebabkan oleh adanya asimetric information, kurangnya pengetahuan teknis, rendahnya kualitas, bahkan hingga rendahnya trust (kepercayaan) niscaya akan dapat diatasi (lihat Q.S. al-A’raf (7):96).
Dengan memadukan fuzzy logic dengan mantik rasa atau nalar irfani, maka dalam hasil akhir dari aqad mudharabah antara shohibul mal, mudarib dan intermediary (bank) akan mendapatkan nilai harapan akhir yang maksimal. Hasil ini didapat dari pengukuran nilai total ekonomi dari sebuah sumber daya secara holistik, dengan berusaha mengubah asset yang tadinya tidak dapat dinilai (intangible asset) menjadi sebuah ijtihad yang bisa dinilai (tangible assets).
Dalam kaitan ini, membangun community intelligent; yang bisa menilai sebuah sumber daya sebagai barokah, hidayat dan nikmat dari Allah, hanya bisa dilakukan bilamana para Kyai, Ulama, Ustadz, Cendekiawan, Saintis, maupun praktisi bahu-membahu, secara bersama-sama melakukan Dzikir Iqtishadi. Yaitu program permohonan sekiranya Allah Swt. Menganugerahkan kepada kita melalui naluri, panca indera, akal, dan agama sehamparan hidayat, barokah dan nikmat. Amien!

Oleh Ma'ruf Muttaqin
Alumnus PP. Mu'allimien Bogor

Salut buat Aris Idol.......................


Ini baru spektakuler................
Januarisman, pemuda 20 th asal jakarta bener-bener dahsyat. mulai ngamen sejak dia putus sekolah smp. dan kini Aris selangkah lagi akan mampu menuju impian terbesarnya.......

Jumat, 25 Juli 2008

Kamis, 24 Juli 2008

Ketika Cinta Merokok.........

Kehadiran zaskiya mecha dalam beberapa sinetron religi sempat menggemparkan dunia perfilman nasional. pasalnya zaskiya dikenal sebagai seorang remaja gaul, senang nongkrong dan sempat terlihat berfoto nakal bersama BCL.
Kini terlihat sudah... siapa sebetulnya Zaskiya, foto terbarunya yang dirilis beberapa media yang memperlihatkan zaskiya sedang merokok menjadi bukti yang nyata. siapa sebenarnya Zaskiya.
Kalo saya sih nggak heran, wong tempat kuliahnya Zaskya di Paramadina itu memang begitu kok. Saya dan beberapa teman memang biasa ke sana dengan maksud mengikuti seminar pemikiran islam. alhasil kami malah asyik sekaligus sebel melihat mahasiswi Paramadina (termasuk beberapa artis) mengeluarkan asap dari mulut-nya.....sambil melantunkan kidung Maia Ahmad: Emangnya Gue Pikirin (EGP),,,,,,,,,,....na ujubillah min dzalik..........

Jumat, 27 Juni 2008

Korporasi dan Mitos Kemakmuran Universal

Di akhir dekade yang lalu. Ribuan muda-mudi berumur 15-28 tahun yang bekerja di pabrik-pabrik subkontraktor Nike Incorporation di Vietnam, di mana mereka tiga kali makan nasi, sedikit sayur dan mungkin juga sedikit tofu (dadih kacang), semuanya itu bernilai sama dengan $2,10, sewa kamar sekurang-kurangnya $6,00 sebulan. Namun para buruh yang membuat sepatu nike itu–yang mungkin di jual lebih dari $100,00 sepasang—harus menanggung semua biaya-biaya tersebut hanya dengan bayaran $1,60 sehari.
Begitulah kira-kira yang dilakukan Nike Incorporation terhadap ribuan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik di Tangerang-Indonesia selama ini. Para buruh juga tak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya, akses kesehatan yang tidak memadai dan bahkan pelecehan seksualpun tak dapat dihindari (Global Alliance, 1999).
Puncak dari semua dehumanisasi yang diperbuat Nike Incorporation, perusahaan yang pernah melambungkan Philip Knight menjadi salah seorang dengan predikat terkaya dunia dengan asset kurang lebih $ 5,4 Milyar ini adalah pemutusan kontrak pemesanan terhadap dua perusahaan subkontraktornya di Indonesia. Sedikitnya empat belas ribu buruh terancam di-PHK dan tak lama lagi akan menganggur.
Namun sayang, lagi-lagi apa yang dilakukan Nike Inc. tidak dianggkap istimewa, bahkan Nike berkilah bahwa kasus-kasus tersebut hanyalah urusan bisnis, dimana perusahan-perusahan rekanannya di dunia ketiga dianggap tidak mampu menjaga mutu produksi dan memenuhi target pesanan.
Nike pun dengan seenaknya lari tunggang langgang bebas menentukan arah kemana kemudian ia harus berlabuh, sementara di sini ribuan buruh berteriak dan menjerit menuntut hak-haknya. Perusahaan lokal tak berdaya, kebijakan pemerintahpun tak kunjung ada. Belakangan, China dan Thailand terdengar menjadi target produksi selanjutnya.
Eksploitasi Kehidupan
Eksploitasi ekonomi memang telah dahulu ada sebelum kapitalisme yang di kemudian hari menjelma menjadi korporasi global, namun kapitalisme dan lembaga-lembaga korporasinya memang sangat ideal untuk mempercepat proses itu. Korporasi bahkan telah membuat kapitalisme kian hari kian mengganas, hingga hampir tak ada yang mampu untuk menghentikannya.
Mimpi kemakmuran universal korporasi Ibarat ‘Mitos kutukan Raja Midas’, yang mengikis sisi kehidupan dan kemanusian setiap objek yang terkena hasratnya (desire). Membuatnya semakin lambat terkontrol oleh pikiran publik dan pemerintah. Mengutip perkataan David Korten dalam bukunya The Post Corporate World (1999) bahwa, “Semakin terpusatnya kekuasaan yang hebat di tangan korporasi global telah semakin melucuti pemerintah baik yang demokratis ataupun tidak.”
Dibawah kapitalisme, kita memang tidak memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaga kita dan hanya memperkaya orang lain. Berapa jam para buruh harus memeras keringatnya untuk memenuhi tuntutan produksi? Sedang berapa pula insentif materiil yang didapat para buruh, sesuaikah dengan keringat yang dikeluarkannya? Belum lagi berapa biaya sosial yang harus dibayarkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah dibuat korporasi setelah mereka puas menguras sumber daya yang ada.
Kapitalisme telah memungkiri hukum Entrophy dan menapikan pandangan limit to growth, dan lebih bersandar pada paradigma dissipative structures dari Ilva Prigogeni yang menganggap bahwa pertumbuhan tidak terbatas (no limit to growth). Sistem ekonomi yang banyak terpengaruh oleh hukum fisika-mekanika ala Newton dapat dipastikan memahami pertumbuhan seperti yang diyakini Ilva Prigogeni yang dapat disetarakan dengan pemikiran Adam Smith yang masih mengacu kepada hukum alam (natural Law) sebagaimana hukum Newton menjelaskan tentang alam.
Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan ekonomi mutakhir yang selalu menekankan pertumbuhan (growth) dalam bentuk kemajuan ekonomi yang bisa dikalkulasikan dalam bobot-bobot moneter dan statistik. Sedang aspek lain yang terkait dengan psikologi, sosial-historis, ekologi, moral dan agama dianggap sebagai ekternalitas yang suatu saat bisa diabaikan.
Simbol Korporasi
Dalam negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi, korporasi pengusaha dan penguasa biasanya lebih didahulukan dibandingkan dengan tuntutan buruh, penguasa bahkan terkadang berpandangan bahwa untuk sementara waktu buruh sebaiknya mengalah dan berkorban secara ekonomis, hal ini lebih baik dibandingkan dengan pengorbanan penguasa dan pengusaha secara politis. Karena pengorbanan mereka tidak seberapa dibandingkan dengan konsekuensi logis bila pihak pengusaha yang dikorbankan.
Mimpi buruk devisit anggaran yang hingga kini masih membayangi, membuat pemerintah harus mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih ramah bagi para korporat yang hendak menginvestasikan modalnya. Semua tata kelola dan aturan perdagangan harus sebebas dan senyaman mungkin bagi para penanam modal.
Memang teramat klasik, namun selama di dunia ini masih ada yang namanya buruh, penguasa dan pengusaha yang terjebak dalam kungkungan kapitalisme-liberal yang memberhalakan hasrat dan libido kehidupan (Hobbesian), maka persoalannya akan terus berkutat di sekitar keyakinan bahwa kerja adalah sumber dari segala kekayaan dan ukuran dari semua nilai. Lalu karena dalam posisi yang sulit (baca: dalam logika kapitalis) tiada ongkos produksi yang mampu ditekan untuk menghasilkan nilai lebih (surplus nilai), selain tenaga kerja atau buruh. Maka sekali lagi buruh akan menjadi korban, atau dalam bahasa lain adalah buruh dalam hal ini harus bermurah hati untuk bersedia dieksploitasi dan menyumbangkan setiap tetes keringatnya demi kesejahteraan bersama dan kemajuan demokrasi.
Pakar ekonomi kapitalis meyakinkan kita bahwa, kenyataan yang tidak menyenangkan tersebut merupakan pengorbanan sementara dalam rangka menuju kemakmuran universal. Sementara itu para penguasa dan pengusaha dua nama tapi serupa akan menerima surplus nilai dan memapankan kekuasan, karena buruh tidak lagi menjadi penghalang kemajuan produksi dan laju demokratisasi.
Garansi politik tak pernah nyata, kesejahteraanpun tiada. Hingga tatkala para buruh Nike yang menuntuk hak-haknya, petani menolak impor beras, masyarakat miskin menuntut kompensasi BLT dan korban lumpur panas Lapindo Brantas meminta konpensasi lewat jalur aksi dan demonstrasi, bukan simpati yang mereka raih, alih-alih pukulan aparat dan lemparan tanggung jawab pemerintah.
Nike Incorporation hanyalah Simbol dari banyak korporasi yang telah mengeruk keuntungan dengan memeras para buruh di dunia ketiga. Sementara itu sebetulnya masih banyak korporsi-korporasi yang bergaya serupa dengannya, dan berlindung dengan menghabiskan jutaan dolar untuk berkampanye menampilkan sosok-sosok yang berperan dalam menjaga lingkungan sosialnya.
Telah terlalu banyak dan sangat melelahkan kita mendengar kampanye penataan untuk kaidah-kaidah korporasi, dan berdebat tentang lapangan korporasi. Kita melobi dewan legislative untuk membuat rambu-rambu lewat undang-undang Perseroan Terbatas (PT), kita meminta korporasi untuk bertanggung jawab secara sosial seperti yang kita tuntut atas Lapindo, Freeport, Antam, Reebok dan Nike. berapa banyak lagikah tenaga, waktu dan harapan yang akan kita habiskan untuk labirin tak berujung tersebut.?

Senin, 07 April 2008

Nasionalisme dan Problem Identitas PKS

Salah satu agenda Mukernas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa saat lalu yang menarik untuk didiskusikan adalah ide tentang nasionalisme dan keterbukaan. Sebuah ijtihad politik yang lahir dari hasil pemaknaan dan penafsiran bahasa zaman yang dinamis.

Betulkah nasionalisme dan keterbukaan bagi PKS sudah selesai diperdebatkan?, sedangkan nasionalisme dan keterbukaan bagi Islam politik dimanapun tidak pernah benar-benar selesai dan bahkan selalu menjadi akar perdebatan.

Kemenangan Partai FIS di Aljazair, Partai Hamas di Palestina, Partai AKP di Turki yang membuat perdebatan Islam dan sekulerisme kembali menyeruak kepermukaan. Ataupun PKS sendiri yang selalu menjadi bulan-bulanan partai nasionalis-sekuler, dikeroyok dan bila meraih kemenangan akan berusaha digugat dan digagalkan meski dengan cara-cara yang tidak demokratis sekalipun.

Semangat reformasi dan kebebasan ternyata memang tidak cukup kuat membuat ummat Islam menerima begitu saja nasionalisme dan keterbukaan, yang muncul justru ummat mengalami trauma untuk menggerakan kebebasan dan keterbukaan pada orang lain. Tuntutan reformasi dan kebebasan secara sporadis telah mengeskavasi arkeologi identitas kebangsaan dan keimanan.

Sementara itu ketika mereka belum juga siap dan memiliki skema baru identitas untuk menghadapi tuntutan tersebut, ummat terpencar dan identitas diri tak terselesaikan, alih-alih mengarah pada sejenis fragmentasi yang sangat berbeda (menggerogoti) dan menyebabkan identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan Iman; Islamisme, fundamentalisme, liberalisme atau malah radikalisme.

Nasionalisme yang dipuja dan dimamah biak di barat, ternyata bagi banyak kalangan ummat Islam justru dianggap berpotensi memecah belah ummat dan menjadi penghalang universalisme Islam. Kalangan fundamentalis-radikal bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa nasionalisme merupakan produk jahiliyah (kebodohan pra-Islam: Qutub), setan rasis dan fanatisme nasional (al-Maududi dalam Choueri, 1997).

Lalu bila kenyataannya demikian, bisakah perdebatan tentang nasionalisme dan keterbukaan dikatakan selesai dan tutup buku. Tampaknya hal tersebut merupakan kesimpulan yang amat terburu-buru.

* * * * *

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) tahun 2007 yang lalu menyimpulkan bahwa hampir 25% rakyat Indonesia masih menginginkan tegaknya syariat dan negara Islam. Begitupun dengan LSI dan beberapa lembaga survei di Indonesia menyimpulkan hal yang kurang lebih sama.

Makanya salah besar bila bicara Indonesia tapi meniadakan bahasan tentang masyarakat Islam. Kesalahan Itulah yang pernah dilakukan Almarhum Mantan Presiden Soeharto. Meskipun diakhir kekuasaannya beliau sempat mengakomodasi kekuatan politik Islam, namun akhirnya tumbang juga.

Bahkan secara historis, Islam merupakan faksi pertama yang mengalami kejayaan dan kemajuan secara politik. Gagasan Islam seperti dilansir Anthony Black, merupakan dobrakan yang menentukan dalam sejarah pemikiran manusia tentang politik dan masyarakat. Yaitu ketika Muhammad dan pengikutnya melahirkan sebuah konsep tentang ummah (masyarakat, bangsa) baru, yang memunculkan rasa kebangsaan dan satu bentuk komunitas internasional baru (Globalisme Islam: transnasionalisme).

Padahal, saat itu agama Yahudi telah mengkhotbahkan suatu tatanan hukum dan meliputi semua (etnis), sementara Kristen mendakwahkan persaudaraan spiritual (universal). Hanya saja, tak ada yang serius melirik kekuatan militer dan politik, keduanya tunduk dibawah paganisme. Sehingga datanglah Muhammad untuk mendakwahkan persaudaraan spiritual plus hukum yang merangkul semua suku-bangsa dan menyatakan bahwa kendali politik global harus diraih ummat Islam (Anthony Black, 2001).

Sayang, kondisi tersebut tak mampu dipertahankan para penerusnya dikemudian hari. Konflik internal dan perebutan otoritas semakin mengaburkan segalanya, memperumit, menggelapkan mata dan membawa ummat menuju tepian sejarah.

Menumpulkan ketajaman dan kepiawaian para saintis, pakar politik dan ketatanegaraan dalam melahirkan teori-teori politik (As-Siyasah) yang mampu menjelaskan dan menghadirkan kegemilangan masa lalu dalam realitas politik kekinian.

Sementara itu, keberhasilan Islam politik modern dimanapun; baik itu revolusi Iran maupun kemenangan fenomenal partai AKP di Turki merupakan ijtihad politik yang ditunjang oleh faktor kepiawaian para saintis, politisi, pakar politik dan ketatanegaraan dalam menerjemahkan filsafat politik klasik Islam kedalam idiom-idiom politik modern dengan tidak menyisihkan nilai-nilai keislamannya.

* * * * * * *

Sebagai partai Islam yang paling fenomenal dengan lonjakan jumlah suara hingga lima kali lipat pada pemilu 2004, PKS merupakan partai Islam pertama yang berhasil menerjemahkan tradisi politik klasik Islam dalam idiom-idiom politik modern.

Berangkat dari keberhasilan ini maka usulan keterbukaan bagi format masa depan PKS patut dipertimbangkan kembali, mengingat upaya ini justru malah akan mengingkari khittah perjuangan plus melupakan besarnya potensi ummat Islam.

Apalagi kalau hanya sebatas untuk merubah image partai. PKS sebetulnya sudah cukup berhasil dalam membangun citra baik partai hanya saja, supaya tersebut tinggal diperluas kesemua kalangan ummat dan tidak hanya sebatas kader partai. Artinya bahwa kedepan PKS perlu menjadi partai yang terbuka bagi ummat Islam, sedang untuk terbuka bagi selain ummat Islam perlu dipertimbangkan.

Sebagai partai dakwah, PKS tentunya tidak lupa dengan transformasi dakwah nabi Muhammad (tauhidul risalah) yang secara bertahap dan penuh kesabaran berusaha terlebih dahulu menyatukan potensi ummat. Sebelum akhirnya mendirikan negara Madinah (marhalah tamkin) yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keterbukaan bagi semua golongan (tauhidul uswah).

Dalam tradisi dan sejarah perjuangan Islam, Madinah merupakan simbol dari puncak pencapaian spiritual-dakwah (at-tauhid) masyarakat Islam yang memuat seluruh esensi ajaran Islam. Yaitu pandangan hidup (world view) yang meyakini kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusian (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of quidance), kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life), yang secara keseluruhan merupakan derivasi dari kesatuan ke-Tuhanan (Unity Of Godhead).

Demikianlah proses penataan masyarakat Islam (takwinul ummat), bertransformasi secara bertahap hingga akhirnya terbentuk sebuah tatanan masyarakat yang tertata secara baik (khairu ummat) dengan penuh kedamaian, kesejahteraan (as-salaam), kesetaraan sosial (al-Musawa), keadilan (al-adalah) dan kasih sayang (iysq).

Kamis, 28 Februari 2008

Agama dalam Masyarakat Pascasekuler

Ma'ruf Muttaqien
Hidup manusia seperti seseorang yang berdiri di atas pagar sumur. Tanah di bawahnya telah rebah, sedangkan di dalam sumur itu ada seekor ular yang sangat besar. Orang yang berdiri di pagar sumur itu tidak mengetahui ia dalam keadaan yang demikian. Ia berpegang pada tali timba di atas sumur yang hampir putus karena digerogoti tikus. Jika akhirnya tali itu putus, sudah pasti ia akan jatuh ke sumur dan menjadi mangsa ular.

Tapi, anehnya wajah orang tersebut menengadah ke atas, lidahnya menjilati madu, dan ia hanya tertarik merasakan manisnya madu. Ia lengah tali itu akan putus dan lupa ia di atas sumur yang di dalamnya terdapat seekor ular yang sangat besar.

Begitulah perumpamaan hidup bangsa Indonesia di negeri 1001 impian yang selalu bermimpi jadi bangsa yang besar, tapi tak pernah berusaha sungguh-sungguh untuk benar-benar bangkit dari keterpurukan.

Antroposofi

Manusia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan diciptakan dalam bentuk, rasio, roh, psikis, dan fisiologis yang sebaik-baiknya. Dalam hubungannya dengan alam, Maulana Syeikh Jalaluddin Ar-Rumi mengatakan sekalipun manusia itu muncul dari alam, tetapi sebenarnya alam itu muncul demi manusia. Ia berkata, "Dalam bentuk engkau yang mikrokosmos, namun pada hakikatnya engkau adalah mikrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah. Padahal ranting itu tumbuh justru demi buah." (Matsnawi, 1977).

Manusia sempurna bukanlah 'manusia super' yang berusaha 'membunuh Tuhan' seperti yang diklaim Frederick Nietzsche dalam bukunya Zarathustra. Manusia sempurna juga bukan manusia yang bebas tanpa batas, seperti digambarkan Jean Paul Sartre. Manusia sempurna, kata Rumi, adalah manusia yang dapat menyingkapkan asma-asma Allah secara total. Manusia sempurna (insan kamil), kata Iqbal dalam bukunya Asrar al-Khudi, adalah manusia bebas, merdeka, dan otonom dalam mengoptimalkan ego-kreatifnya berdasarkan bimbingan sang ego mutlak, yakni Tuhan (QS Al-Imran :104).

Betapa agungnya potensi yang dimiliki manusia. Oleh karena itu, amat ironis kalau ada praktik keagamaan yang berusaha mengerdilkan potensi kemanusiaan. Padahal Allah telah menitipkan amanat-Nya kepada manusia untuk dikembangkan. Menggelikan bahwa klaim pemuja filsafat eksistensialis (Sartre, Hidegger, Kiergegard) dan kelompok sekuler yang merasa diri pembela nilai-nilai kemanusiaan (HAM, humanisme, dan demokrasi) mencabut manusia dari pusat eksistensinya sendiri, yaitu Tuhan (Sofyani el-hadi, 2007). Nilai-nilai luhur dan martabat kemanusiaan yang hakiki hanya dapat memiliki landasan ontologis jika dikaitkan dengan agama (Tuhan).

Desekulerisasi

Realitas faktual sepertinya memaksa kita untuk kembali menapaktilasi patologi sejarah dunia Eropa tentang agama yang mengakhiri absolutisme agama kira-kira setengah abad yang lalu (patologi sekularisasi). Karena celakanya, sekularisasi di Turki, Prancis, atau di manapun telah terlalu banyak menimbulkan polemik. Konsep tersebut telah digunakan sebagai kritik ideologi dan terkadang juga untuk masifikasi kultur dan masyarakat umum. Hal tersebut juga sebagai ideologi antireligius yang menyamar menjadi Marxisme, eksistensialisme, atau materialisme (Martin, 1969).

Padahal sekularisasi, sejatinya dipandang sebagai transformasi dari kendali eklesiastik menuju administrasi publik dalam segala aspek kehidupan sosial. Ia dikaitkan dengan munculnya negara sekuler dan pengambilalihan secara bertahap atas sebagian besar aktivitas yang sesekali waktu dilaksanakan institusi-institusi religius. Tidak seperti sekularisme, yaitu didasarkan penolakan atas nilai religius dalam masyarakat. Aspek sekularisasi itu berasal dari sebuah keinginan untuk melepaskan aspek-aspek kunci kehidupan sosial dan untuk membebaskan mereka dari pengawasan religius.

Dengan mengutip Habermas dan Ratzinger, penulis ingin menegaskan dalam perkembangan mutakhir telah terjadi yang disebut dengan dialektika sekularisasi. Pemisahan agama dan negara yang menyukseskan emansipasi dari absolutisme agama hingga mengambil konsekuensi radikalnya dalam bentuk sekularisme, yaitu doktrin yang sama sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan segala iman religius dan alasan religius dalam kehidupan bersama secara politis. Karena, agama dianggap tidak rasional maka tidak berhak untuk bersuara dalam ruang publik.

Di sinilah sekularisasi ingin membangun ruang publik yang propluralisme dalam sekularisme malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan religius. Fatalnya, sekularisme segera menghancurkan kemajemukan dan kemanusiaan manusia.

Penting untuk mengingatkan dan meninjau ulang apa yang dimaksud Habermas ketika ia mengatakan masyarakat di awal abad ke-21 ini sedang memasuki era pascasekuler (post sekuler) yang melihat sekularisasi sebagai proses belajar dan dialogis antara pemikiran sekuler dan religius. Dengan memberi peluang dialog publik bagi aspirasi-aspirasi religius, masyarakat pascasekuler tidak sedang membangunkan singa yang tertidur (jika agama dianggap seperti itu), tetapi bersikap adil terhadap kelompok-kelompok agama dalam demokrasi.

Oleh karena itu, kita pun yakin alasan-alasan religius dan motivasi iman dapat memberikan kontribusi dalam diskusi bebas. Maka itu, masyarakat dan warga negara yang beriman harus menerjemahkan 'bahasa rumah' dari agama mereka ke dalam 'bahasa publik'. Dengan kata lain, era pascasekuler adalah era ketika --sebagaimana diungkapkan Peter L Berger-- agama bisa memberikan kontribusi produktif bagi negara. Karena 'the world today is as furiously religious as it ever was and in some places more than so ever', agama akan tetap diterima masyarakat modern yang pascasekuler. Agama di masa depan akhirnya ada pada model agama publik (public religion).

Akhirulkalam, penulis sepakat dengan kecenderungan dunia modern yang tengah melakukan mainstreaming desekularisasi. Sebagai ucapan belasungkawa, penulis ingin mengucapkan selamat tinggal sekularisme dan beristirahatlah dengan damai. (Dimuat Di Media Indonesia November 2007) November 2007)

Religiusitas Kosmik; Membangkitkan kesadaran Ekologis

BEBERAPA tahun yang lalu tepatnya setelah SBY-Kalla terpilih dalam pemilihan umum yang paling demokratis sepanjang sejarah, banyak orang berdecak kagum dan mulai tumbuh mimpi dan harapan baru tentang masa depan. Namun tak lama setelah itu, tiba-tiba muncul berbagai macam bencana dan malapetaka yang melanda. Mulai dari banjir bandang, badai la nina, tanah longsor, gunung meletus hingga yang terdahsyat tsunami yang merenggut ribuan nyawa manusia.
Sontak, orangpun balik berpikir dan malah langsung memvonis; bahwa bangsa ini dipimpin oleh sebuah rezim yang penuh dengan aura kesialan. Berbagai mithos dan ramalan mistikpun ditujukan untuk menggambarkan masa depan kepemimpinan tersebut. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki wewenang ilmiah untuk menjatuhkan vonis tersebut.
Hingga akhirnya kini muncul beberapa alasan ilmiah untuk menjelaskan dinamika yang mendasari problem-problem utama zaman kita. Salah satunya adalah laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang mengungkapkan bukti paling ilmiah soal pemanasan dan perubahan iklim global sebagai akibat dari meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Selain dari ulah tangan dan hasrat manusia yang tidak pernah puas secara lebih luas, semua itu merupakan residu peradaban yang tidak mampu direduksi oleh sistem yang kita kenal dengan industrialisasi dan modernisme.
Dan kini, telah sampailah kita pada sebuah puncak peradaban yang paling dramatis dan penuh resiko, saat-saat yang membawa kita pada kekacauan (chaos) dan kebuasan (wildness) peradaban umat manusia pada satu sisi.
Sisi lain merupakan sebuah titik balik yang telah melahirkan apa yang kita kenal dewasa ini sebagai kesadaran ekologis. Kesadaran yang menekankan arti penting sebuah keharmonisan kehidupan umat manusia dan alam semesta (tata kosmos).
Kesadaran Ekologis
Kesadaran ekologis tentang keharmonisan kehidupan mikro dan makrokosmis paling tidak telah memunculkan berbagai macam upaya untuk menanggulangi berbagai macam fenomena dan problem yang lahir sebagai akibat dari tidak adanya keharmonisan bukan saja anatara ummat manusia dengan bumi yang dipijaknya tapi juga termasuk visi ekologis ke tingkat planet beserta galaksinya.
Tahun 1970-an para peneliti Stamdford Research Institute memperkirakan bahwa empat hingga lima juta manusia di Amerika telah melakukan pengurangan penghasilan dan meninggalkan konsumerisme demi sebuah prinsip kesederhanaan hidup. Dan sejak saat itu muncul gerakan-gerakan lain dalam bidang kesehatan, manajemen perusahan, industri dan teknologi telah mulai menerapkan nasihat entropy kesederhanaan hidup.
Termasuk yang baru-baru ini diselenggarakan; Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua Bali, merupakan upaya untuk melahirkan kesepakatan global untuk menggerakan nasihat entropy kesederhanaan hidup tersebut.
Hanya saja berbagai upaya tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama tenyata tidak mampu mengalahkan meminjam istilah Carl Gustav Junghasrat dan libido ummat manusia yang semakin hari semakin membuas.
Bagi Jung yang lebih berpikir sistemikberbeda dengan freud yang mekanik Libido merupakan energi psikis umum yang dilihatnya sebagai manifestasi dari dinamika kehidupan dasar.
Artinya bahwa minimnya kesadaran ekologis ummat manusia yang berakibat pada apa yang lebih ramai dan dimamah biak dalam publik intelektual global sebagai ketidakseimbangan ekologis, perubahan iklim ataupun pemanasan global global warming, memiliki faktor determinan lain yang tidak hanya sekedar membutuhkan kesepakatan-kesepakan kerangka kerja mekanis dan politis (environmentalisme dangkal) an sich. Alih-alih upaya tersebut malah menghasilkan kesepakatan berupa efisiensi manajemen lingkungan dan memperdagangkan cost eksternalitas yang hanya ditujukan demi kepentingan manusia. Lebih dari itu, semua permasalahan justru ada dalam alam bawah sadar manusia sebagaimana diungkapkan Jung.
Fritjof Capra lebik lebih konkret soal faktor fundamental kesadaran ekologis, baginya keseimbangan ekologis pada dasarnya memerlukan perubahan-perubahan besar dalam persepsi kita tentang peran manusia di dalam ekosistem planet. Singkatnya, kesadaran ekologis memerlukan suatu kerangka dasar filosofis dan religius yang baru.
Rasionalitas Kosmik
Kesadaran ekologis dengan demikian memerlukan sokongan ilmu yang lebih modern, terutama pendekatan sistem yang baru, tetapi berakar pada persepsi realitas yang melampaui kerangka ilmiah hingga mencapai suatu kesadaran intuitif tentang kesatuan semua kehidupan (jiwa kosmis).
Dan kesadaran intuitif tentang kesatuan semua aspek kehidupan hanya mungkin ditemukan dalam sebuah modus kesadaran di mana individu merasa terkait dengan kosmos secara keseluruhan. Maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis itu merupakan kesadaran yang bersifat spiritual.
Bukti dari keterkaitan kesadaran itu ternyata ada pada bentuk akar kata dari agama dalam bahasa latin \'religare\' yang bermakna mengikat kuat, atau agama dalam bahasa sansakerta Yoga yang berarti penyatuan.
Bahkan bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kerangka filosofis dan spiritual ekologi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, tetapi telah terumuskan secara berulang-ulang sepanjang sejarah perjalanan hidup umat manusia.
Tradisi klasik Islam misalnya, menawarkan ungkapan-ungkapan yang bermakna karifan ekologis yang begitu indah. Salah satunya dalam matsnawi-nya Jalaluddin ar-Rumi Dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, namun pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu justru tumbuh demi buah.
Taoisme pun demikian, menawarkan ungkapan kearifan ekologis yang cukup menawan yang menekankan kesatuan fundamental maupun hakikat fenomena alam dan sosial secara dinamis. Barangsiapa mengikuti tatanan alam mengalir di dalam arus Tao. Saint Francis, seorang mistikus kristen bahkan sempat menyatakan pandangan dan etika yang benar-benar ekologis dan menyajikan tantangan yang revolusioner terhadap pandangan yahudi-kristen tentang manusia dan alam.
Begitu juga seterusnya, berbagai karya filsafat Spinoza, Heideger, Ikhwanal-Shafa Ibnu Sina, penyair Walth Whitman hingga Dante yang menulis Divene Comedy telah menghasilkan karya-karya yang tersusun menurut prinsip-prinsip ekologis. Bahkan masyarakat primitif seperti Dayak di pedalaman kalimantan ataupun Badui di pedalaman Banten sana saja memiliki religiusitas kosmik tersebut. Kesadaran psikis yang bila dipegang secara holistik akan meniscayakan peralihan dari konsumsi materi ke kesederhanaan secara sukarela, dari pertumbuhan ekonomi dan teknologi ke pertumbuhan dan perkembangan bathini.
Demikianlah sebetulnya kerangka filosofis dan spiritual ekologi tersusun secara berulang-ulang. Namun akhirnya semua memang berada di tangan setiap individu manusia untuk menghidupkan kembali kesadaran spiritul ekologi dalam heritage budaya masing-masing atau justru membiarkan libido dan hasrat manusia memangsa habis sumber daya planet ini. (Dimuat Di Koran Pelita, 04/01/2008)