Senin, 07 April 2008

Nasionalisme dan Problem Identitas PKS

Salah satu agenda Mukernas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa saat lalu yang menarik untuk didiskusikan adalah ide tentang nasionalisme dan keterbukaan. Sebuah ijtihad politik yang lahir dari hasil pemaknaan dan penafsiran bahasa zaman yang dinamis.

Betulkah nasionalisme dan keterbukaan bagi PKS sudah selesai diperdebatkan?, sedangkan nasionalisme dan keterbukaan bagi Islam politik dimanapun tidak pernah benar-benar selesai dan bahkan selalu menjadi akar perdebatan.

Kemenangan Partai FIS di Aljazair, Partai Hamas di Palestina, Partai AKP di Turki yang membuat perdebatan Islam dan sekulerisme kembali menyeruak kepermukaan. Ataupun PKS sendiri yang selalu menjadi bulan-bulanan partai nasionalis-sekuler, dikeroyok dan bila meraih kemenangan akan berusaha digugat dan digagalkan meski dengan cara-cara yang tidak demokratis sekalipun.

Semangat reformasi dan kebebasan ternyata memang tidak cukup kuat membuat ummat Islam menerima begitu saja nasionalisme dan keterbukaan, yang muncul justru ummat mengalami trauma untuk menggerakan kebebasan dan keterbukaan pada orang lain. Tuntutan reformasi dan kebebasan secara sporadis telah mengeskavasi arkeologi identitas kebangsaan dan keimanan.

Sementara itu ketika mereka belum juga siap dan memiliki skema baru identitas untuk menghadapi tuntutan tersebut, ummat terpencar dan identitas diri tak terselesaikan, alih-alih mengarah pada sejenis fragmentasi yang sangat berbeda (menggerogoti) dan menyebabkan identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan Iman; Islamisme, fundamentalisme, liberalisme atau malah radikalisme.

Nasionalisme yang dipuja dan dimamah biak di barat, ternyata bagi banyak kalangan ummat Islam justru dianggap berpotensi memecah belah ummat dan menjadi penghalang universalisme Islam. Kalangan fundamentalis-radikal bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa nasionalisme merupakan produk jahiliyah (kebodohan pra-Islam: Qutub), setan rasis dan fanatisme nasional (al-Maududi dalam Choueri, 1997).

Lalu bila kenyataannya demikian, bisakah perdebatan tentang nasionalisme dan keterbukaan dikatakan selesai dan tutup buku. Tampaknya hal tersebut merupakan kesimpulan yang amat terburu-buru.

* * * * *

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) tahun 2007 yang lalu menyimpulkan bahwa hampir 25% rakyat Indonesia masih menginginkan tegaknya syariat dan negara Islam. Begitupun dengan LSI dan beberapa lembaga survei di Indonesia menyimpulkan hal yang kurang lebih sama.

Makanya salah besar bila bicara Indonesia tapi meniadakan bahasan tentang masyarakat Islam. Kesalahan Itulah yang pernah dilakukan Almarhum Mantan Presiden Soeharto. Meskipun diakhir kekuasaannya beliau sempat mengakomodasi kekuatan politik Islam, namun akhirnya tumbang juga.

Bahkan secara historis, Islam merupakan faksi pertama yang mengalami kejayaan dan kemajuan secara politik. Gagasan Islam seperti dilansir Anthony Black, merupakan dobrakan yang menentukan dalam sejarah pemikiran manusia tentang politik dan masyarakat. Yaitu ketika Muhammad dan pengikutnya melahirkan sebuah konsep tentang ummah (masyarakat, bangsa) baru, yang memunculkan rasa kebangsaan dan satu bentuk komunitas internasional baru (Globalisme Islam: transnasionalisme).

Padahal, saat itu agama Yahudi telah mengkhotbahkan suatu tatanan hukum dan meliputi semua (etnis), sementara Kristen mendakwahkan persaudaraan spiritual (universal). Hanya saja, tak ada yang serius melirik kekuatan militer dan politik, keduanya tunduk dibawah paganisme. Sehingga datanglah Muhammad untuk mendakwahkan persaudaraan spiritual plus hukum yang merangkul semua suku-bangsa dan menyatakan bahwa kendali politik global harus diraih ummat Islam (Anthony Black, 2001).

Sayang, kondisi tersebut tak mampu dipertahankan para penerusnya dikemudian hari. Konflik internal dan perebutan otoritas semakin mengaburkan segalanya, memperumit, menggelapkan mata dan membawa ummat menuju tepian sejarah.

Menumpulkan ketajaman dan kepiawaian para saintis, pakar politik dan ketatanegaraan dalam melahirkan teori-teori politik (As-Siyasah) yang mampu menjelaskan dan menghadirkan kegemilangan masa lalu dalam realitas politik kekinian.

Sementara itu, keberhasilan Islam politik modern dimanapun; baik itu revolusi Iran maupun kemenangan fenomenal partai AKP di Turki merupakan ijtihad politik yang ditunjang oleh faktor kepiawaian para saintis, politisi, pakar politik dan ketatanegaraan dalam menerjemahkan filsafat politik klasik Islam kedalam idiom-idiom politik modern dengan tidak menyisihkan nilai-nilai keislamannya.

* * * * * * *

Sebagai partai Islam yang paling fenomenal dengan lonjakan jumlah suara hingga lima kali lipat pada pemilu 2004, PKS merupakan partai Islam pertama yang berhasil menerjemahkan tradisi politik klasik Islam dalam idiom-idiom politik modern.

Berangkat dari keberhasilan ini maka usulan keterbukaan bagi format masa depan PKS patut dipertimbangkan kembali, mengingat upaya ini justru malah akan mengingkari khittah perjuangan plus melupakan besarnya potensi ummat Islam.

Apalagi kalau hanya sebatas untuk merubah image partai. PKS sebetulnya sudah cukup berhasil dalam membangun citra baik partai hanya saja, supaya tersebut tinggal diperluas kesemua kalangan ummat dan tidak hanya sebatas kader partai. Artinya bahwa kedepan PKS perlu menjadi partai yang terbuka bagi ummat Islam, sedang untuk terbuka bagi selain ummat Islam perlu dipertimbangkan.

Sebagai partai dakwah, PKS tentunya tidak lupa dengan transformasi dakwah nabi Muhammad (tauhidul risalah) yang secara bertahap dan penuh kesabaran berusaha terlebih dahulu menyatukan potensi ummat. Sebelum akhirnya mendirikan negara Madinah (marhalah tamkin) yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keterbukaan bagi semua golongan (tauhidul uswah).

Dalam tradisi dan sejarah perjuangan Islam, Madinah merupakan simbol dari puncak pencapaian spiritual-dakwah (at-tauhid) masyarakat Islam yang memuat seluruh esensi ajaran Islam. Yaitu pandangan hidup (world view) yang meyakini kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusian (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of quidance), kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life), yang secara keseluruhan merupakan derivasi dari kesatuan ke-Tuhanan (Unity Of Godhead).

Demikianlah proses penataan masyarakat Islam (takwinul ummat), bertransformasi secara bertahap hingga akhirnya terbentuk sebuah tatanan masyarakat yang tertata secara baik (khairu ummat) dengan penuh kedamaian, kesejahteraan (as-salaam), kesetaraan sosial (al-Musawa), keadilan (al-adalah) dan kasih sayang (iysq).