Jumat, 27 Juni 2008

Korporasi dan Mitos Kemakmuran Universal

Di akhir dekade yang lalu. Ribuan muda-mudi berumur 15-28 tahun yang bekerja di pabrik-pabrik subkontraktor Nike Incorporation di Vietnam, di mana mereka tiga kali makan nasi, sedikit sayur dan mungkin juga sedikit tofu (dadih kacang), semuanya itu bernilai sama dengan $2,10, sewa kamar sekurang-kurangnya $6,00 sebulan. Namun para buruh yang membuat sepatu nike itu–yang mungkin di jual lebih dari $100,00 sepasang—harus menanggung semua biaya-biaya tersebut hanya dengan bayaran $1,60 sehari.
Begitulah kira-kira yang dilakukan Nike Incorporation terhadap ribuan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik di Tangerang-Indonesia selama ini. Para buruh juga tak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya, akses kesehatan yang tidak memadai dan bahkan pelecehan seksualpun tak dapat dihindari (Global Alliance, 1999).
Puncak dari semua dehumanisasi yang diperbuat Nike Incorporation, perusahaan yang pernah melambungkan Philip Knight menjadi salah seorang dengan predikat terkaya dunia dengan asset kurang lebih $ 5,4 Milyar ini adalah pemutusan kontrak pemesanan terhadap dua perusahaan subkontraktornya di Indonesia. Sedikitnya empat belas ribu buruh terancam di-PHK dan tak lama lagi akan menganggur.
Namun sayang, lagi-lagi apa yang dilakukan Nike Inc. tidak dianggkap istimewa, bahkan Nike berkilah bahwa kasus-kasus tersebut hanyalah urusan bisnis, dimana perusahan-perusahan rekanannya di dunia ketiga dianggap tidak mampu menjaga mutu produksi dan memenuhi target pesanan.
Nike pun dengan seenaknya lari tunggang langgang bebas menentukan arah kemana kemudian ia harus berlabuh, sementara di sini ribuan buruh berteriak dan menjerit menuntut hak-haknya. Perusahaan lokal tak berdaya, kebijakan pemerintahpun tak kunjung ada. Belakangan, China dan Thailand terdengar menjadi target produksi selanjutnya.
Eksploitasi Kehidupan
Eksploitasi ekonomi memang telah dahulu ada sebelum kapitalisme yang di kemudian hari menjelma menjadi korporasi global, namun kapitalisme dan lembaga-lembaga korporasinya memang sangat ideal untuk mempercepat proses itu. Korporasi bahkan telah membuat kapitalisme kian hari kian mengganas, hingga hampir tak ada yang mampu untuk menghentikannya.
Mimpi kemakmuran universal korporasi Ibarat ‘Mitos kutukan Raja Midas’, yang mengikis sisi kehidupan dan kemanusian setiap objek yang terkena hasratnya (desire). Membuatnya semakin lambat terkontrol oleh pikiran publik dan pemerintah. Mengutip perkataan David Korten dalam bukunya The Post Corporate World (1999) bahwa, “Semakin terpusatnya kekuasaan yang hebat di tangan korporasi global telah semakin melucuti pemerintah baik yang demokratis ataupun tidak.”
Dibawah kapitalisme, kita memang tidak memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaga kita dan hanya memperkaya orang lain. Berapa jam para buruh harus memeras keringatnya untuk memenuhi tuntutan produksi? Sedang berapa pula insentif materiil yang didapat para buruh, sesuaikah dengan keringat yang dikeluarkannya? Belum lagi berapa biaya sosial yang harus dibayarkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah dibuat korporasi setelah mereka puas menguras sumber daya yang ada.
Kapitalisme telah memungkiri hukum Entrophy dan menapikan pandangan limit to growth, dan lebih bersandar pada paradigma dissipative structures dari Ilva Prigogeni yang menganggap bahwa pertumbuhan tidak terbatas (no limit to growth). Sistem ekonomi yang banyak terpengaruh oleh hukum fisika-mekanika ala Newton dapat dipastikan memahami pertumbuhan seperti yang diyakini Ilva Prigogeni yang dapat disetarakan dengan pemikiran Adam Smith yang masih mengacu kepada hukum alam (natural Law) sebagaimana hukum Newton menjelaskan tentang alam.
Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan ekonomi mutakhir yang selalu menekankan pertumbuhan (growth) dalam bentuk kemajuan ekonomi yang bisa dikalkulasikan dalam bobot-bobot moneter dan statistik. Sedang aspek lain yang terkait dengan psikologi, sosial-historis, ekologi, moral dan agama dianggap sebagai ekternalitas yang suatu saat bisa diabaikan.
Simbol Korporasi
Dalam negara yang sedang mengalami masa transisi demokrasi, korporasi pengusaha dan penguasa biasanya lebih didahulukan dibandingkan dengan tuntutan buruh, penguasa bahkan terkadang berpandangan bahwa untuk sementara waktu buruh sebaiknya mengalah dan berkorban secara ekonomis, hal ini lebih baik dibandingkan dengan pengorbanan penguasa dan pengusaha secara politis. Karena pengorbanan mereka tidak seberapa dibandingkan dengan konsekuensi logis bila pihak pengusaha yang dikorbankan.
Mimpi buruk devisit anggaran yang hingga kini masih membayangi, membuat pemerintah harus mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih ramah bagi para korporat yang hendak menginvestasikan modalnya. Semua tata kelola dan aturan perdagangan harus sebebas dan senyaman mungkin bagi para penanam modal.
Memang teramat klasik, namun selama di dunia ini masih ada yang namanya buruh, penguasa dan pengusaha yang terjebak dalam kungkungan kapitalisme-liberal yang memberhalakan hasrat dan libido kehidupan (Hobbesian), maka persoalannya akan terus berkutat di sekitar keyakinan bahwa kerja adalah sumber dari segala kekayaan dan ukuran dari semua nilai. Lalu karena dalam posisi yang sulit (baca: dalam logika kapitalis) tiada ongkos produksi yang mampu ditekan untuk menghasilkan nilai lebih (surplus nilai), selain tenaga kerja atau buruh. Maka sekali lagi buruh akan menjadi korban, atau dalam bahasa lain adalah buruh dalam hal ini harus bermurah hati untuk bersedia dieksploitasi dan menyumbangkan setiap tetes keringatnya demi kesejahteraan bersama dan kemajuan demokrasi.
Pakar ekonomi kapitalis meyakinkan kita bahwa, kenyataan yang tidak menyenangkan tersebut merupakan pengorbanan sementara dalam rangka menuju kemakmuran universal. Sementara itu para penguasa dan pengusaha dua nama tapi serupa akan menerima surplus nilai dan memapankan kekuasan, karena buruh tidak lagi menjadi penghalang kemajuan produksi dan laju demokratisasi.
Garansi politik tak pernah nyata, kesejahteraanpun tiada. Hingga tatkala para buruh Nike yang menuntuk hak-haknya, petani menolak impor beras, masyarakat miskin menuntut kompensasi BLT dan korban lumpur panas Lapindo Brantas meminta konpensasi lewat jalur aksi dan demonstrasi, bukan simpati yang mereka raih, alih-alih pukulan aparat dan lemparan tanggung jawab pemerintah.
Nike Incorporation hanyalah Simbol dari banyak korporasi yang telah mengeruk keuntungan dengan memeras para buruh di dunia ketiga. Sementara itu sebetulnya masih banyak korporsi-korporasi yang bergaya serupa dengannya, dan berlindung dengan menghabiskan jutaan dolar untuk berkampanye menampilkan sosok-sosok yang berperan dalam menjaga lingkungan sosialnya.
Telah terlalu banyak dan sangat melelahkan kita mendengar kampanye penataan untuk kaidah-kaidah korporasi, dan berdebat tentang lapangan korporasi. Kita melobi dewan legislative untuk membuat rambu-rambu lewat undang-undang Perseroan Terbatas (PT), kita meminta korporasi untuk bertanggung jawab secara sosial seperti yang kita tuntut atas Lapindo, Freeport, Antam, Reebok dan Nike. berapa banyak lagikah tenaga, waktu dan harapan yang akan kita habiskan untuk labirin tak berujung tersebut.?