Selasa, 16 Desember 2008

Menggagas Dzikir Iqtishadi

Ditulis oleh Ma'ruf Muttaqin
Apa yang dapat dirasakan ketika panen padi pada musim tanam rendeng kali ini mengalami kegagalan?, Begitupula dengan peningkatan NPL bank syari’ah, atupun penyuapan dalam kasus BLBI?. Apakah kita biarkan kesedihan menyelimuti para petani dan praktisi perbankan, lalu biarkan pula mereka bersikap “Nrimo ing pandum”. Kenapa semua itu bisa terjadi?. Apakah karena kesalahan praktek kultur teknis dan penggunaan pupuk? atau justru karena apa yang biasa kita sebut dengan bencana alam dan moral hazard. Lalu apa yang bisa dilakukan ketika realitas sosial dan keadaan alam tidak bisa dikuasai, padahal petani atau para analis telah cukup yakin sebelumnya.

Dalam mainstream ekonomi, apapun yang masuk kategori uncertainty seperti diatas, merupakan sesuatu yang tidak dapat dikalkulasikan secara ekonomi (non-use value). Makanya, para pemuja ekonomi pasar tersebut menyebutnya sebagai eksternalitas. Sebagai upaya untuk meminimalisasi biaya (cost) dan tanggung jawab (obligation). Hanya saja, agar terkesan kepeduliannya tetap ada, maka diadakanlah yang namanya Cost Social Resfonsibility (CSR) dari para korporat, atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari para pemegang kebijakan. Anehnya, apa yang disebut sebagai domestic support atau subsidi tetap saja seret.
Selain dari pandangan para environmentalis dangkal yang menganjurkan resep-resep entrophy kesederhanaan hidup, yang berakibat pada pengurangan subsidi; Listrik, BBM, dan pupuk, tampaknya belum ada tawaran lain untuk mengatasi residu peradaban modern tersebut?
Kalaupun ada, maka itupun belum dapat keluar dari tawaran the third way-nya Anthony Giddens yang bersandar pada keyakinan beyond right and left. Yang mencoba memperhadapkan new social democracy dengan neoliberalisme. Sementara itu, pandangan tentang pentingnya prohibition of riba dalam mainstream ekonomi syari’ah masih menjadi resep yang laris manis bagi para praktisi ekonomi Islam.
Klaim bahwa ekonomi Islam merupakan alternative untuk melawan neoliberalisme untuk sementara dapat dibenarkan, hanya saja dalam kenyataannya, ekonomi Islampun belum bisa keluar dari paradigma behind right and left (Dawam Rahardjo, 2007).
Beberapa penelitian ilmiah yang berkesimpulan tentang persepsi masyarakat tentang bank syari’ah, bahwa masyarakat cenderung menggunakan alasan rasionallitas dibandingkan dengan alasan idiologis dalam memilih bank syari’ah, merupakan contoh konkrit dari ketidakmampuannya untuk keluar dari wacana positive economic.
Kesimpulan tersebut telah mereduksi peranan institusi keuangan Islam dalam pembangunan community intelegent. Padahal, bagi Ibnu Khaldun, ilmuwan Islam yang diklaim sebagai bapak ekonomi Islam, community intelligent merupakan prasyarat utama dalam membangun kekuatan ekonomi, selain khilafah.
Community intelligent menurut Kaplan dan Norton (2004) harus mencakup; modal sumber daya manusia (human capital), modal organisasi (organization capital) dan modal informasi (information capital). Sedang Herry B. Priyono menambahkan; modal intelektual (Intelektual capital), modal ekologi (echological capital) dan modal sipiritual (spiritual capital).
Community intelligent, atau yang diawal tadi disebut sebagai eksternalitas, dalam ekonomi konvensional didefinisikan sebagai “An externality is difined as the case where an action of one economic agent affects the utility or production possibilities of another in a way is not reflected in the marketplace”(Just et.al.1992). Kata kunci dari definisi tersebut adalah is not reflected in the marketplace (sesuatu yang tidak dapat direfleksikan di pasar).
Oleh karena itu sejatinya, lembaga keuangan Islam memiliki ruang aktivitas dan tindakan yang lebih luas dari sekedar sebagai lembaga komersial yang berusaha menumpuk asset dari masyarakat, sementara miskin berbuat untuk kemajuan ummat.
Intsitusi apapun, tidak hanya sebatas lembaga keuangan, seharusnya memiliki tanggung jawab berdakwah. karena hal terpenting dalam proses dakwah adalah li takwienul ummat atau membangun ummat, dalam artian ikut bertanggung jawab membangun community intelligent.
Sayang, dalam realitasnya, tugas tersebut menjadi hak preogratif para Ulama dan Kyai. Sedang Cendekiaawan dan para Civitas Perguruan Tinggi termasuk para Saintis diberi tugas menyiapkan bantuan teori dan teknis, berupa pengetahuan dan teknologi. Dari kenyataan tersebut, kita patut mempertanyakan, kenapa tugas-tugas tersebut terlaksana secara sektoral dan tak pernah terintegrasi?
Dari itulah, upaya internalisasi dan integrasi seluruh sektor tersebut harus menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Proses penyamaan visi dan paradigma yang memandang aktivitas hidup sebagai sebuah kesatuan kosmik (kesadaran kosmik). Dan karena kesadaran kosmik hanya dapat ditemukan dalam istilah religion (religare), maka membangun community intelligent harus dimulai dari peningkatan kualitas nalar agama. Artinya, pembangunan yang merupakan bukti nyata dari proses nalar manusia (akal) tidak bisa terlepas dari ukuran wahyu (agama).
Upaya ini secara lebih analitik disajikan oleh Dr. Murasa Sarkaniputra sebagai Revelation Based Measurment (perpaduan mantik rasa dan mantik akal). Ibnu Arabi menyebutnya sebagai metode kasf (penyingkapan), sedangkan Mulla Sadra lebih senang untuk menyebutnya sebagai Hikmah Muta’aliyah (kearifan puncak), yaitu perpaduan dari filsafat Paripatetiknya Ibnu Sina, Illuminasinya Suhrawardi, Gnosisnya Imam Ghazali dan Revelationnya Ibnu Ararbi.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam atau pun ekonomi Indonesia secara keseluruhan, revelation based measurment merupakan paradigma alternatif yang bisa memberikan resep mujarab dalam kondisi ekonomi dimana petani, peternak, ataupun praktisi lembaga keuangan tidak mampu menghadapi ketidakpastian (uncertainty), disebabkan oleh eksternalitas yang tidak dapat dikuasai (banjir, kekeringan, badai el nina ataupun penyakit sosial).
Begitupun dalam praktek mudharabah, apa yang disebut sebagai resiko yang terlampau tinggi (moral hazard) yang disebabkan oleh adanya asimetric information, kurangnya pengetahuan teknis, rendahnya kualitas, bahkan hingga rendahnya trust (kepercayaan) niscaya akan dapat diatasi (lihat Q.S. al-A’raf (7):96).
Dengan memadukan fuzzy logic dengan mantik rasa atau nalar irfani, maka dalam hasil akhir dari aqad mudharabah antara shohibul mal, mudarib dan intermediary (bank) akan mendapatkan nilai harapan akhir yang maksimal. Hasil ini didapat dari pengukuran nilai total ekonomi dari sebuah sumber daya secara holistik, dengan berusaha mengubah asset yang tadinya tidak dapat dinilai (intangible asset) menjadi sebuah ijtihad yang bisa dinilai (tangible assets).
Dalam kaitan ini, membangun community intelligent; yang bisa menilai sebuah sumber daya sebagai barokah, hidayat dan nikmat dari Allah, hanya bisa dilakukan bilamana para Kyai, Ulama, Ustadz, Cendekiawan, Saintis, maupun praktisi bahu-membahu, secara bersama-sama melakukan Dzikir Iqtishadi. Yaitu program permohonan sekiranya Allah Swt. Menganugerahkan kepada kita melalui naluri, panca indera, akal, dan agama sehamparan hidayat, barokah dan nikmat. Amien!
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=57&catid=2:islam-kontemporer&id=1217:menggagas-dzikir-iqtishadi&option=com_content&view=article

Ekonomi Islam dan “Counter Hegemony” Neoliberalisme

Ditulis oleh Ma'ruf Muttaqien

Mansour Fakih, dalam buku terakhirnya “Bebas dari Neoliberalisme” mengajukan pertanyaan yang cukup menggigit, kenapa kita miskin. Bagi Mansoer Fakih, kemiskinan bukanlah takdir. Kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena kebodohan, kemalasan, atau karena lemahnya sumberdaya manusia. Kita, menurut Mansour, “dimiskinkan” oleh sebuah kebijakan sistematik. Kebijakan yang membuat kita miskin itu adalah “Neoliberalisme”.

Neoliberalisme lebih lanjut merupakan ideologi dibalik munculnya fenomena globalisasi. Dari kacamatanya yang Marxis, Mansour melihat globalisasi sebagai kelanjutan pola dominasi para pemilik modal, orang-orang kaya, terhadap orang lemah.
Pola dominasi yang menindas ini sudah berlangsung lima ratus tahun. Fase pertama adalah fase kolonialisme, yakni satu fase sejarah di mana kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi fisik untuk membuka pasar baru dan mendapatkan bahan baku. Melalui kolonialismelah dominasi manusia atas manusia menjelma dalam bentuk penjajahan dan penindasan hampir di separuh belahan dunia.
Ketika fase ini belum selesai, satu lagi tipe mode of domination baru hadir. Fase yang terjadi sekarang ini ditandai oleh liberalisasi dalam segala bidang yang diterapkan secara terstruktur oleh lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan WTO. Inilah era globalisasi.

Ekonomi Indonesia
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.
Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Liberalisasi modal, pasar keuangan dan privatisasi BUMN merupakan hal yang problematik bagi banyak Negara berkembang terutama Indonesia. Akan tetapi telah banyak Negara yang mapu membuktikan (China, Jepang, Malaysia dan India) bahwa pertumbuhan dan kemakmuran tidak melulu harus tunduk pada neoliberalime.
Sementara Indonesia menurut Stiglizht merupakan Negara pemakai resep dan mitos favorit neoliberalisme sejak sebelum krisis bahkan hingga kini. Sektor keuangan, Indonesia menganut sistem yang amat liberal, seperti rezim devisa bebas, dimana lalu lintas modal keluar masuk tanpa batasan. Uang-uang panas (hot money) yang hanya berjangka pendek bisa dilahirkan pemiliknya masuk untuk mencari imbal hasil yang tinggi, dan bebas keluar lagi jika tidak lagi memberi hasil memadai.
Pihak asing juga bebas membeli saham bank, yang merupakan jantung perekonomian. Sistem nilai tukar bisa berfluktuasi tanpa batas. Dan oleh karena itu menurut stiglithz, argument untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sistem perbankan dan keuangan untuk melindungi regulasi yang berdasarkan kehati-hatian adalah cara terbaik, betulkah?.
Situasi Indonesia memang lebih mirip India dan China, makanya menurut ekonom lain seperti De Soto yang mengatakan bahwa permasalahan terpuruknya ekonomi Indonesia dan terlebih masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran adalah lebih dikarenakan masyarakat Indonesia yang belum secara merata mendapatkan akses hukum dan kesempatan. Dan oleh karena itu argument untuk melakukan pembenahan infrastruktur dan pelayanan publik adalah cara yang tepat.

Solusi Ekonomi Islam
Satu fenomena spektakuler patut dicatat dalam lembaran sejarah perjalanan perekonomian Negara kita, disaat krisis ekonomi dan keuangan menyeruak dan tak terbantahkan; bank-bank dan korporasi yang tak mampu menyelesaikan utang-utangnya terpaksa harus gulung tikar, perekonomian nyaris ambruk, sementara itu lembaga keuangan syari’ah dan usaha-usaha kecil dan menengah yang menampik tawaran semu neoliberalisme malah mampu bertahan dari krisis yang menjangkit.
Betulkah sisi ideal Islam benar-benar mampu menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir dari gempuran neoliberalisme? Beberapa ekonom Muslim baik di luar maupun dalam negri mengatakan iyah, Islam adalah jalan satu-satunya menuju kemakmuran universal. Sekaligus mampu menandingi kekuatan neoliberalisme.
Pertama, secara antropoligis neoliberalisme lahir dari hasil napak tilas patologi sejarah manusia yang telah mengakhiri absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki dan mereduksinya menjadi “determinisme ekonomi” atau apa yang di sebut Adam Smith sebagai Homo Oeconomicus. Sedang ekonomi Islam justru sebaliknya lahir dari sejarah manusia yang memamah biakan absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki. Islam melihat bahwa naluri dasar manusia adalah agama bukan materialisme.
Kedua, secara theologies neoliberalisme merupakan turunan dari keyakinan bahwa tatanan yang tertata secara baik tidaklah selalu memerlukan segala konsepsi tentang metafisik tentang kebaikan. Pandangan ini lebih lanjut menjadi derifasi dari pandangan bahwa spiritualisme, tradisi dan sejarah (the heart of religion) hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi akan mendapat ruang eksistensi di abad modern.
Sedang Islam melihat bahwa, kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban. Kulminasinya, agama tidaklah melulu menjadi penghalang bagi kemajuan zaman.
Ketiga, karena neoliberalisme berpegang pada prinsip eligo ergo sum (saya memilih maka saya ada) maka, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem. Sementara Islam berpegang pada aturan Al-Aslu fil Mu’ammalat al-ibahah, bahwa setiap urusan dalam mu’ammalat adalah boleh selama tidak ada aturan yang menghalanginya. Artinya bahwa selalu ada nilai-nilai yang membatasi perilaku ekonomi, termasuk liberalisasi modal.
Fakta bahwa untuk keluar dari ketergantuangan Utang IMF dan Bank Dunia saja Indonesia susahnya bukan main. Belum lagi sejumlah paket kebijakan yang menurut banyak kalangan salah kaprah; RUU Perseroan Terbatas, RUU PMA yang menguntungkan Asing, RUU BHP, kebijakan EPA, pasar bebas dan masih banyak lagi dengan mudahnya diloloskan DPR.
Dengan demikian jelaslah kenapa ada sebagian lembaga yang mendukung dan menentang globalisasi dalam masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak lepas dari kekuatan ideologi yang melatarbelakanginya. Kalau kekuatan yang dominan sekarang adalah ideologi neoliberal, maka tak aneh kalau banyak lembaga-lembaga dalam masyarakat yang "berpersfektif" neoliberal dan mendukung globalisasi. Namun demikian, tidak berarti kekuatan lain yang lebih lemah tidak punya tempat. Kekuatan tersebut bisa menyusun kekuatan dan pengaruh. Gramsci menyebutnya "counter-hegemony" (hegemoni tandingan atas kekuatan yang dominan).
Hanya saja karena dalam kenyataannya, upaya counter hegemony yang dilakukan lembaga-lembaga yang melakukan gerakan anti neoliberalisme terkadang bukan ditujukan untuk meng-counter atau menahan laju arus deras globalisasi dan neoliberalisme, tapi malah membuatnya semakin termotivasi untuk tumbuh dan kadang bermetamorfosis. Alison Von Rooy menulis dalam buku Civil Society and Global Finance, bahwa Bank Dunia saja, semenjak tahun 1973, telah melibatkan LSM-LSM dalam 752 proyeknya. Lembaga seperti IMF bahkan kini mempunyai jaringan mailing list dengan sekitar 1000 buah LSM diseluruh dunia hanya untuk mengukuhkan kejayaan globalisasi.
Dalam konteks inilah penulis meyakini bahwa “Ekonomi Islam” adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir untuk berlindung dari globalisasi yang telah jauh melenceng dari tujuan awal.
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1200:ekonomi-islam-dan-counter-hegemony-neoliberalisme&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60

Rethinking Bank Syari'ah

Penulis : Ma'ruf Muttaqien

KotaSantri.com : Secara historis, perkembangan lembaga keuangan syari'ah sebetulnya telah dimulai sejak sebelum tahun 1992-an, hal ini terutama disebabkan banyaknya tuntutan terhadap totalitas penegakan tata nilai Islam dari para kaum neo-revivalis yang menuntut pemurnian ajaran-ajaran Islam dari berbagai takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC) yang berkembang hampir dalam seluruh aspek kehidupan ummat Islam sebagai akibat dari westernisme dan globalisasi yang tidak dapat dibendung.

Namun secara legalitas, pendirian dan perkembangan perbankan Syari'ah baru dimulai sejak tahun 1992 dengan ditetapkannya UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syari'ah. Dimulai dari adanya lokakarya yang diadakan oleh MUI, lalu kemudian muncul kesepakatan untuk menuangkannya secara legal dalam sebuah undang-undang.

Sejak penetapan undang-undang ini, perkembangan bank syari'ah berjalan secara perlahan yang kemudian mampu berlari secepat kilat setelah bank syari'ah mampu memperlihatkan ketahanannya tehadap krisis moneter tahun '98, sejak saat itu bank syari'ah bak seorang primadona perekonomian yang banyak digandeng dan dilamar oleh para pengusaha dan investor baik domestik maupun internasional. Selintas, kemajuan yang dialami bank syari'ah saat ini sangat menggembirakan, namun bila kita mau lebih mencermatinya lagi, kemajuan ini bukannya tanpa celah.

Ironis memang di Negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, namun kemajuan bank syari'ahnya hanya mampu mencapai pada dua digit saja. Bayangkan saja dari total aset yang dimiliki perbankan syari'ah saat ini, hanya sekitar 0,8% dari seluruh total asset Perbankan Nasional, dari kenyataan ini berarti masih banyak sekali lahan yang belum tergarap oleh bank syari'ah.

Abdullah Saed dalam bukunya "Menyoal Bank Syari'ah" (Paramadina, 2004) melansir, paling tidak ada tiga persoalan yang sering ditemui menyangkut inkonsistensi bank syari'ah dalam pengoperasiannya di negara-negara muslim. Pertama, Adanya kegagalan implementasi profit and loss sharing (PLS) dari sekian banyak instrumen bank syari'ah yang ada di Indonesia, implementasi PLS oleh bank-bank syari'ah di Indonesia masih jauh panggang dari api, baik secara konseptual, struktural, maupun operasionalnya.

Secara konseptual, praktek profit and loss sharing merupakan produk yang beresiko tinggi, hal ini membuat bank belum mampu menerapkannya, akibatnya nasabah lebih suka melakukan transaksi non-PLS seperti murabahah (debt financing). Secara stuktural, bank Syari'ah pada umumnya bukanlah bank investasi, tapi merupakan bank dagang, karena sumber pembiayaannya berasal dari dana jangka pendek, dan secara operasional, sering terjadinya inefisiensi praktek PLS, moral bangsa yang bobrok, dan budaya konsumerisme yang merebak menghilangkan kemauan untuk berinvestasi, selain itu sulitnya mencari pengusaha yang bersedia untuk melakukan transaksi secara PLS.

Maraknya dominasi pembiayaan debt financing dibandingkan PLS, telah membuat adanya pemfiksian hukum (Hiyal) tentang prinsip-prinsip syari'ah yang diterapkan dalam bank syari'ah. Islam menghalalkan jual beli, namun apakah Islam menghalalkan praktek murabahah dalam bank syari'ah yang lebih membuka ruang transaksi riba ini? Dengan nada apologetik, pihak yang mendukung praktek ini menyatakan, "Islam memberikan ruang yang luas bagi praktek muamalah (Al-Aslu fi Al-Muammalat Al-Ibahah) yang berarti murabahah adalah sesuatu yang legal secara normative." Bila secara normatif Murabahah dilegalkan, lalu apa bedanya dengan transaksi ribawi?

Sikap-sikap seperti inilah yang membuat munculnya distorsi kepercayaan masyarakat terhadap bank syari'ah, MUI wa bil khusushan DSN terlalu bersikap formalistik dan menganggap persoalan bank syari'ah adalah menyangkut halal dan haram, boleh atau tidak boleh.

Kasus Fatwa haram MUI beberapa saat yang lalu hendaknya menjadi autokritik bagi MUI (DSN) ataupun pihak bank syari'ah sendiri yang sampai saat ini masih melihat pada penekanan prinsip-prinsip syari'ah dari perspektif makro, tanpa melihatnya dari perspektif mikro. Artinya, prinsip-prinsip syari'ah yang tercermin dalam bank syari'ah tidak sebatas pada nilai-nilai pelarangan riba ataupun distribusi saja, tapi juga penekanan pada aspek profesionalisme, sikap amanah, serta bagaimana kemudian bank syari'ah melihat permasalahan ummat yang semakin pelik dan mencekik.

Oleh karena itu, bank syari'ah ke depannya harus lebih menyiapkan diri agar lebih matang bila terjadi pengalihan dana pihak ketiga yang relatif besar. Selain melakukan efisiensi internal, pengembangan sistem perbankan syari'ah dapat pula menerapkan strategi ekspansi 'economies of scale' dan atau 'economies of scope'. Penerapan strategi economies of scale dilakukan secara horisontal dengan meningkatkan cakupan pasar melalui aliansi strategis dengan mitra usaha domestik maupun internasional. Penerapan strategi of scope dapat dilakukan dengan menambah kelengkapan instrumen transaksi syari'ah (termasuk dengan memanfaatkan kemajuan dalam bidang teknologi informasi) sehingga lebih dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan jasa keuangan syari'ah bagi masyarakat.

***

Pemberdayaan Ekonomi Kecil

Dilematis memang, bila dunia perbankan syari'ah kita masih terjebak kepada syari'at oriented. Di satu sisi, dunia perbankan dituntut untuk mampu memberikan peranannya dalam usaha mensejahterakan rakyat, namun di sisi lain ia terbatas oleh penegakan prinsip-prinsip syari'at Islam. Namun, itu sebetulnya dapat dihindari bila saja pihak bank syari'ah mau bersikap lebih progressif dan transformatif dalam membaca realitas.
Data statistik menko menyebutkan bahwa 42 unit usaha di Indonesia, 99,9 persennya adalah UMKM. Lalu, 99,2 persen kesempatan kerja, 57 persen kebutuhan barang, dan 19 persen ekspor nasional disediakan UMKM. UMKM juga memberikan kontribusi 2-4 persen terhadap pertumbuhan nasional dan 56 persen pada PDB (Koran ini edisi Rabu, 23 Februari 2005).

Bila saja setiap unit usaha kecil tersebut mampu difasilitasi dan diberdayakan, secara otomatis pula 42 juta lapangan kerja baru akan lahir, dan ini berarti jumlah masyarakat miskin akan berkurang. Tapi yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah mampukah bank syari'ah memberi fasilitas dan memberdayakan saudara lamanya yang pada saat krisis '98 mampu bertahan pula bila seandainya pihak bank syari'ah masih menggunakan pola fikir tradisional dan scriptural?

Di sinilah kemudian signifikasi dari keharusan akan perubahan terhadap pola pikir, paradigma pihak yang memiliki otoritas dalam penafsiran prinsip-prinsip syari'ah dari pola formalistik menuju pola yang lebih transpormatif dan humanis. Yang akhirnya pembacaan kembali terhadap kitab-kitab klasik akan menjadi sebuah keharusan.

Bila paradigma pihak-pihak yang terkait dengan bank syari'ah telah sesuai dengan yang disampaikan tadi, barulah ke depan bank syari'ah dengan optimisme mampu berevolusi dari sebelumnya operasional bank syariah yang ditekankan kepada prinsip share holder value, dengan memaksimumkan keuntungan sepihak menjadi bank syari'ah yang diharapkan mampu memiliki prinsip stake holder value, dimana manfaat yang didapat tidak lagi difokuskan hanya pada pemegang saham ansich, namun semua pihak yang terkait mampu merasakannya.

Akhirul kalam, penulis melihat apabila apa yang disampaikan di awal tadi telah terejawantahkan dalam operasional bank syari'ah ditambah lagi dengan dukungan dari berbagai pihak, niscaya perbankan syari'ah ke depan akan semakin berkembang dan masyarakat lambat laun akan merasa memiliki terhadap bank syari'ah. Wallahu a'lamu bishawab
http://www.kotasantri.com/bilik.php?aksi=Detail&sid=576