Kamis, 28 Februari 2008

Agama dalam Masyarakat Pascasekuler

Ma'ruf Muttaqien
Hidup manusia seperti seseorang yang berdiri di atas pagar sumur. Tanah di bawahnya telah rebah, sedangkan di dalam sumur itu ada seekor ular yang sangat besar. Orang yang berdiri di pagar sumur itu tidak mengetahui ia dalam keadaan yang demikian. Ia berpegang pada tali timba di atas sumur yang hampir putus karena digerogoti tikus. Jika akhirnya tali itu putus, sudah pasti ia akan jatuh ke sumur dan menjadi mangsa ular.

Tapi, anehnya wajah orang tersebut menengadah ke atas, lidahnya menjilati madu, dan ia hanya tertarik merasakan manisnya madu. Ia lengah tali itu akan putus dan lupa ia di atas sumur yang di dalamnya terdapat seekor ular yang sangat besar.

Begitulah perumpamaan hidup bangsa Indonesia di negeri 1001 impian yang selalu bermimpi jadi bangsa yang besar, tapi tak pernah berusaha sungguh-sungguh untuk benar-benar bangkit dari keterpurukan.

Antroposofi

Manusia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan diciptakan dalam bentuk, rasio, roh, psikis, dan fisiologis yang sebaik-baiknya. Dalam hubungannya dengan alam, Maulana Syeikh Jalaluddin Ar-Rumi mengatakan sekalipun manusia itu muncul dari alam, tetapi sebenarnya alam itu muncul demi manusia. Ia berkata, "Dalam bentuk engkau yang mikrokosmos, namun pada hakikatnya engkau adalah mikrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah. Padahal ranting itu tumbuh justru demi buah." (Matsnawi, 1977).

Manusia sempurna bukanlah 'manusia super' yang berusaha 'membunuh Tuhan' seperti yang diklaim Frederick Nietzsche dalam bukunya Zarathustra. Manusia sempurna juga bukan manusia yang bebas tanpa batas, seperti digambarkan Jean Paul Sartre. Manusia sempurna, kata Rumi, adalah manusia yang dapat menyingkapkan asma-asma Allah secara total. Manusia sempurna (insan kamil), kata Iqbal dalam bukunya Asrar al-Khudi, adalah manusia bebas, merdeka, dan otonom dalam mengoptimalkan ego-kreatifnya berdasarkan bimbingan sang ego mutlak, yakni Tuhan (QS Al-Imran :104).

Betapa agungnya potensi yang dimiliki manusia. Oleh karena itu, amat ironis kalau ada praktik keagamaan yang berusaha mengerdilkan potensi kemanusiaan. Padahal Allah telah menitipkan amanat-Nya kepada manusia untuk dikembangkan. Menggelikan bahwa klaim pemuja filsafat eksistensialis (Sartre, Hidegger, Kiergegard) dan kelompok sekuler yang merasa diri pembela nilai-nilai kemanusiaan (HAM, humanisme, dan demokrasi) mencabut manusia dari pusat eksistensinya sendiri, yaitu Tuhan (Sofyani el-hadi, 2007). Nilai-nilai luhur dan martabat kemanusiaan yang hakiki hanya dapat memiliki landasan ontologis jika dikaitkan dengan agama (Tuhan).

Desekulerisasi

Realitas faktual sepertinya memaksa kita untuk kembali menapaktilasi patologi sejarah dunia Eropa tentang agama yang mengakhiri absolutisme agama kira-kira setengah abad yang lalu (patologi sekularisasi). Karena celakanya, sekularisasi di Turki, Prancis, atau di manapun telah terlalu banyak menimbulkan polemik. Konsep tersebut telah digunakan sebagai kritik ideologi dan terkadang juga untuk masifikasi kultur dan masyarakat umum. Hal tersebut juga sebagai ideologi antireligius yang menyamar menjadi Marxisme, eksistensialisme, atau materialisme (Martin, 1969).

Padahal sekularisasi, sejatinya dipandang sebagai transformasi dari kendali eklesiastik menuju administrasi publik dalam segala aspek kehidupan sosial. Ia dikaitkan dengan munculnya negara sekuler dan pengambilalihan secara bertahap atas sebagian besar aktivitas yang sesekali waktu dilaksanakan institusi-institusi religius. Tidak seperti sekularisme, yaitu didasarkan penolakan atas nilai religius dalam masyarakat. Aspek sekularisasi itu berasal dari sebuah keinginan untuk melepaskan aspek-aspek kunci kehidupan sosial dan untuk membebaskan mereka dari pengawasan religius.

Dengan mengutip Habermas dan Ratzinger, penulis ingin menegaskan dalam perkembangan mutakhir telah terjadi yang disebut dengan dialektika sekularisasi. Pemisahan agama dan negara yang menyukseskan emansipasi dari absolutisme agama hingga mengambil konsekuensi radikalnya dalam bentuk sekularisme, yaitu doktrin yang sama sekali menolak dan dengan sengit menyingkirkan segala iman religius dan alasan religius dalam kehidupan bersama secara politis. Karena, agama dianggap tidak rasional maka tidak berhak untuk bersuara dalam ruang publik.

Di sinilah sekularisasi ingin membangun ruang publik yang propluralisme dalam sekularisme malah berbalik menjadi intoleransi terhadap alasan-alasan religius. Fatalnya, sekularisme segera menghancurkan kemajemukan dan kemanusiaan manusia.

Penting untuk mengingatkan dan meninjau ulang apa yang dimaksud Habermas ketika ia mengatakan masyarakat di awal abad ke-21 ini sedang memasuki era pascasekuler (post sekuler) yang melihat sekularisasi sebagai proses belajar dan dialogis antara pemikiran sekuler dan religius. Dengan memberi peluang dialog publik bagi aspirasi-aspirasi religius, masyarakat pascasekuler tidak sedang membangunkan singa yang tertidur (jika agama dianggap seperti itu), tetapi bersikap adil terhadap kelompok-kelompok agama dalam demokrasi.

Oleh karena itu, kita pun yakin alasan-alasan religius dan motivasi iman dapat memberikan kontribusi dalam diskusi bebas. Maka itu, masyarakat dan warga negara yang beriman harus menerjemahkan 'bahasa rumah' dari agama mereka ke dalam 'bahasa publik'. Dengan kata lain, era pascasekuler adalah era ketika --sebagaimana diungkapkan Peter L Berger-- agama bisa memberikan kontribusi produktif bagi negara. Karena 'the world today is as furiously religious as it ever was and in some places more than so ever', agama akan tetap diterima masyarakat modern yang pascasekuler. Agama di masa depan akhirnya ada pada model agama publik (public religion).

Akhirulkalam, penulis sepakat dengan kecenderungan dunia modern yang tengah melakukan mainstreaming desekularisasi. Sebagai ucapan belasungkawa, penulis ingin mengucapkan selamat tinggal sekularisme dan beristirahatlah dengan damai. (Dimuat Di Media Indonesia November 2007) November 2007)

Religiusitas Kosmik; Membangkitkan kesadaran Ekologis

BEBERAPA tahun yang lalu tepatnya setelah SBY-Kalla terpilih dalam pemilihan umum yang paling demokratis sepanjang sejarah, banyak orang berdecak kagum dan mulai tumbuh mimpi dan harapan baru tentang masa depan. Namun tak lama setelah itu, tiba-tiba muncul berbagai macam bencana dan malapetaka yang melanda. Mulai dari banjir bandang, badai la nina, tanah longsor, gunung meletus hingga yang terdahsyat tsunami yang merenggut ribuan nyawa manusia.
Sontak, orangpun balik berpikir dan malah langsung memvonis; bahwa bangsa ini dipimpin oleh sebuah rezim yang penuh dengan aura kesialan. Berbagai mithos dan ramalan mistikpun ditujukan untuk menggambarkan masa depan kepemimpinan tersebut. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki wewenang ilmiah untuk menjatuhkan vonis tersebut.
Hingga akhirnya kini muncul beberapa alasan ilmiah untuk menjelaskan dinamika yang mendasari problem-problem utama zaman kita. Salah satunya adalah laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang mengungkapkan bukti paling ilmiah soal pemanasan dan perubahan iklim global sebagai akibat dari meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Selain dari ulah tangan dan hasrat manusia yang tidak pernah puas secara lebih luas, semua itu merupakan residu peradaban yang tidak mampu direduksi oleh sistem yang kita kenal dengan industrialisasi dan modernisme.
Dan kini, telah sampailah kita pada sebuah puncak peradaban yang paling dramatis dan penuh resiko, saat-saat yang membawa kita pada kekacauan (chaos) dan kebuasan (wildness) peradaban umat manusia pada satu sisi.
Sisi lain merupakan sebuah titik balik yang telah melahirkan apa yang kita kenal dewasa ini sebagai kesadaran ekologis. Kesadaran yang menekankan arti penting sebuah keharmonisan kehidupan umat manusia dan alam semesta (tata kosmos).
Kesadaran Ekologis
Kesadaran ekologis tentang keharmonisan kehidupan mikro dan makrokosmis paling tidak telah memunculkan berbagai macam upaya untuk menanggulangi berbagai macam fenomena dan problem yang lahir sebagai akibat dari tidak adanya keharmonisan bukan saja anatara ummat manusia dengan bumi yang dipijaknya tapi juga termasuk visi ekologis ke tingkat planet beserta galaksinya.
Tahun 1970-an para peneliti Stamdford Research Institute memperkirakan bahwa empat hingga lima juta manusia di Amerika telah melakukan pengurangan penghasilan dan meninggalkan konsumerisme demi sebuah prinsip kesederhanaan hidup. Dan sejak saat itu muncul gerakan-gerakan lain dalam bidang kesehatan, manajemen perusahan, industri dan teknologi telah mulai menerapkan nasihat entropy kesederhanaan hidup.
Termasuk yang baru-baru ini diselenggarakan; Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua Bali, merupakan upaya untuk melahirkan kesepakatan global untuk menggerakan nasihat entropy kesederhanaan hidup tersebut.
Hanya saja berbagai upaya tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama tenyata tidak mampu mengalahkan meminjam istilah Carl Gustav Junghasrat dan libido ummat manusia yang semakin hari semakin membuas.
Bagi Jung yang lebih berpikir sistemikberbeda dengan freud yang mekanik Libido merupakan energi psikis umum yang dilihatnya sebagai manifestasi dari dinamika kehidupan dasar.
Artinya bahwa minimnya kesadaran ekologis ummat manusia yang berakibat pada apa yang lebih ramai dan dimamah biak dalam publik intelektual global sebagai ketidakseimbangan ekologis, perubahan iklim ataupun pemanasan global global warming, memiliki faktor determinan lain yang tidak hanya sekedar membutuhkan kesepakatan-kesepakan kerangka kerja mekanis dan politis (environmentalisme dangkal) an sich. Alih-alih upaya tersebut malah menghasilkan kesepakatan berupa efisiensi manajemen lingkungan dan memperdagangkan cost eksternalitas yang hanya ditujukan demi kepentingan manusia. Lebih dari itu, semua permasalahan justru ada dalam alam bawah sadar manusia sebagaimana diungkapkan Jung.
Fritjof Capra lebik lebih konkret soal faktor fundamental kesadaran ekologis, baginya keseimbangan ekologis pada dasarnya memerlukan perubahan-perubahan besar dalam persepsi kita tentang peran manusia di dalam ekosistem planet. Singkatnya, kesadaran ekologis memerlukan suatu kerangka dasar filosofis dan religius yang baru.
Rasionalitas Kosmik
Kesadaran ekologis dengan demikian memerlukan sokongan ilmu yang lebih modern, terutama pendekatan sistem yang baru, tetapi berakar pada persepsi realitas yang melampaui kerangka ilmiah hingga mencapai suatu kesadaran intuitif tentang kesatuan semua kehidupan (jiwa kosmis).
Dan kesadaran intuitif tentang kesatuan semua aspek kehidupan hanya mungkin ditemukan dalam sebuah modus kesadaran di mana individu merasa terkait dengan kosmos secara keseluruhan. Maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis itu merupakan kesadaran yang bersifat spiritual.
Bukti dari keterkaitan kesadaran itu ternyata ada pada bentuk akar kata dari agama dalam bahasa latin \'religare\' yang bermakna mengikat kuat, atau agama dalam bahasa sansakerta Yoga yang berarti penyatuan.
Bahkan bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kerangka filosofis dan spiritual ekologi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, tetapi telah terumuskan secara berulang-ulang sepanjang sejarah perjalanan hidup umat manusia.
Tradisi klasik Islam misalnya, menawarkan ungkapan-ungkapan yang bermakna karifan ekologis yang begitu indah. Salah satunya dalam matsnawi-nya Jalaluddin ar-Rumi Dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, namun pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu justru tumbuh demi buah.
Taoisme pun demikian, menawarkan ungkapan kearifan ekologis yang cukup menawan yang menekankan kesatuan fundamental maupun hakikat fenomena alam dan sosial secara dinamis. Barangsiapa mengikuti tatanan alam mengalir di dalam arus Tao. Saint Francis, seorang mistikus kristen bahkan sempat menyatakan pandangan dan etika yang benar-benar ekologis dan menyajikan tantangan yang revolusioner terhadap pandangan yahudi-kristen tentang manusia dan alam.
Begitu juga seterusnya, berbagai karya filsafat Spinoza, Heideger, Ikhwanal-Shafa Ibnu Sina, penyair Walth Whitman hingga Dante yang menulis Divene Comedy telah menghasilkan karya-karya yang tersusun menurut prinsip-prinsip ekologis. Bahkan masyarakat primitif seperti Dayak di pedalaman kalimantan ataupun Badui di pedalaman Banten sana saja memiliki religiusitas kosmik tersebut. Kesadaran psikis yang bila dipegang secara holistik akan meniscayakan peralihan dari konsumsi materi ke kesederhanaan secara sukarela, dari pertumbuhan ekonomi dan teknologi ke pertumbuhan dan perkembangan bathini.
Demikianlah sebetulnya kerangka filosofis dan spiritual ekologi tersusun secara berulang-ulang. Namun akhirnya semua memang berada di tangan setiap individu manusia untuk menghidupkan kembali kesadaran spiritul ekologi dalam heritage budaya masing-masing atau justru membiarkan libido dan hasrat manusia memangsa habis sumber daya planet ini. (Dimuat Di Koran Pelita, 04/01/2008)