Minggu, 17 Agustus 2008

Foto Bugil dan Sindrom Seksualitas Plastis; Fenomena Seksualitas Dalam Masyarakat Modern


Tidak ada yang menyangka, kalau dibalik wajah inocent Ryan yang akhir-akhir ini selalu muncul di layar televisi ternyata tersimpan hasrat-keji yang membuat lebih dari sepuluh nyawa melayang. Hingga saat ini, pembunuhan berantai yang disebut-sebut sebagai pembunuhan tersadis dalam satu dekade terakhir ini belum dapat disimpulkan disebabkan oleh motif hasrat seksualitas, ekonomi atau kesenangan (money and pleasure).
Derasnya arus modernisasi memang terkadang membuat kita larut dalam ingar bingar dan mimpi kemajuan masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Menghadirkan harapan baru dan sejenak menghapus noda “ketertinggalan zaman”. Hanya saja hal tersebut terkadang membutakan mata, mengadopsi apapun dari hasil modernisasi tanpa sebuah kritisisme.
Saking rumitnya dunia baru ini, Fazlur Rahman sampai menjulukinya sebagai jenus faced (wajah ganda). Karena selain membawa keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, juga dengan akibat yang berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-nilai. Keluarga sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling mengkhawatirkan di era ini. Terutama soal seksualitas, reproduksi dan perkawinan.

Revolusi Seksualitas
Meskipun dekade ini hampir bisa dipastikan bukan yang terkotor dalam kehidupan relasi sosial, tapi dapat dipastikan bahwa saat ini merupakan masa yang paling terobsesi oleh revolusi seksual yang memaksa laki-laki ataupun perempuan menegosiasikan kembali keintiman yang mereka inginkan.
Bila diera pra-modern relasi seksual hampir tidak dapat keluar dari relasi heteroseksual, perkawinan dan reproduksi, maka kecenderungan diera modern adalah keinginan dari sebagian orang untuk memutuskan hubungan yang niscaya antara seksualitas, reproduksi dan perkawinan atau apa yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai ”seksualitas plastis.”
Seksualitas Plastis merupakan efek terburuk dalam transformasi keintiman (transformation of intimacy), dimana seksualitas semakin menjadi bagian yang terpisah dari reproduksi. Seiring kemajuan teknologi, saat ini konsepsi itu dapat diproduksi, bukan hanya sekedar kemaluan buatan, tetapi juga seksualitas pada akhirnya benar-benar sudah dapat mengurus kebutuhannya sendiri.
Celakanya, kembali meminjam konsepsinya Giddens, Seksualitas Plastis bukan hanya telah mengubah semua konsepsi masyarakat modern tentang seksualitas, namun juga telah menjadi ciri kepribadian, lebih lanjut menjadi identitas diri yang intrinsik.

Kegagalan Demokrasi
Pembunuhan berantai yang diperkirakan bermotifkan kepuasan seksualitas dan ekonomi yang dilakukan oleh Ryan, mungkin adalah yang terburuk sepanjang sejarah revolusi seksual dalam kehidupan sosial kita. Kasus tersadis ini bukan hanya sekedar membuktikan akan efek terburuk dari transformasi keintiman, tapi juga merupakan bentuk kegagalan demokrasi untuk menghadirkan sikap toleransi kosmopolitan dalam menghadapi fundamentalisme, baik agama maupun pasar (neoliberalisme).
Karena alih-alih laju transformasi keintiman yang selama ini terjadi melahirkan emansipasi dalam ruang publik, nyatanya malah dieksploitasi menjadi trend yang paling menjanjikan dalam industri dan gaya hidup. Trend ini terlihat nyata dalam tayangan televisi yang menghadirkan ikon-ikon artis berlaga kemayu seperti Ryan.
Sementara itu fundamentalisme agama juga tidak mampu menyediakan ruang dialog untuk melewati tahapan ini. Doktrin agama yang kita kenal tentang perilalu menyimpang ini lebih sering dikaitkan secara historis dengan sejarah kaumnya nabi Luth (kaum sodom), dibandingkan alasan lain yang lebih rasional, yang memberikan solusi lain yang lebih mungkin diterima masayarakat modern. Pada akhirnya, kehidupan sosial kita tidak mampu dijinakan, dan malah lepas kendali (run a way).
Fundamentalisme pasar dan agama tampak berkelindan dalam menyikapi fenomena seksualitas plastis, sehingga menimbulkan dilema dan anomali dalam masyarakat yang telah terkena sindrom seksualitas plastis. Melaju tak terkendali akibat industri pasar, sementara rem norma, agama dan hukum tampak belum selesai berkesimpulan.
Dalam masyarakat demokratis yang gagal mengatasi totalitarianisme pasar dan agama; seksualitas, mode, musik dan budaya populer lainnya secara cepat berubah menjadi alat untuk mengamini dan mempertahankan rezim kapitalisme. Sehingga seksualitas plastis dapat dengan mudah tumbuh subur, meski efek terburuknya semakin nyata seperti dalam kasus Ryan dan beberapa kasus pembunuhan baru-baru ini.
Sementara itu efek lain dari seksualitas plastis yang terkait dengan semakin jauhnya relasi keintiman dengan reproduksi, perkawinan dan kenikmatan seksual juga semakin mendapatkan ruang dan waktu terbaiknya. Hal ini bisa terlihat jelas dari produksi alat kontrasepsi, tayangan erotis, kasus perceraian sejumlah artis, dan yang paling mengerikan tentu saja pergaulan bebas dikalangan abg yang semakin marak.
Tak ada cara lain, untuk menghilangkan sindrom seksualitas plastis yang telah berpengaruh sangat luas hingga menjadi perilaku korupsi yang marak dinegri ini selain dari berharap kepada demokrasi. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh para psikolog Jungian, yang membaca kesalahan besar Michael Fouchalt dan Freud ketika menyimpulkan psikopatologi masyarakat modern. Yaitu tidak adanya diskusi lebih lanjut tentang cinta dan romantisme atau apa yang kita kenal dengan Harmony (keseimbangan) dalam masyarakat demokratis. Dibandingkan dengan hasrat seksualitas (passion Amour), Cinta dan romantisme disebut-sebut akan mampu mengatasi penyakit kejiwaan apapun yang menimbulkan kerusakan dalam masyarakat modern, semoga......
Dimuat di Koran jakarta (9 Agustus 2008)

Senin, 04 Agustus 2008

Ekonomi Islam dan “Counter Hegemony” Neoliberalisme

Mansour Fakih, dalam buku terakhirnya “Bebas dari Neoliberalisme” mengajukan pertanyaan yang cukup menggigit, kenapa kita miskin. Bagi Mansoer Fakih, kemiskinan bukanlah takdir. Kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena kebodohan, kemalasan, atau karena lemahnya sumberdaya manusia. Kita, menurut Mansour, “dimiskinkan” oleh sebuah kebijakan sistematik. Kebijakan yang membuat kita miskin itu adalah “Neoliberalisme”.

Neoliberalisme lebih lanjut merupakan ideologi dibalik munculnya fenomena globalisasi. Dari kacamatanya yang Marxis, Mansour melihat globalisasi sebagai kelanjutan pola dominasi para pemilik modal, orang-orang kaya, terhadap orang lemah.
Pola dominasi yang menindas ini sudah berlangsung lima ratus tahun. Fase pertama adalah fase kolonialisme, yakni satu fase sejarah di mana kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi fisik untuk membuka pasar baru dan mendapatkan bahan baku. Melalui kolonialismelah dominasi manusia atas manusia menjelma dalam bentuk penjajahan dan penindasan hampir di separuh belahan dunia.
Ketika fase ini belum selesai, satu lagi tipe mode of domination baru hadir. Fase yang terjadi sekarang ini ditandai oleh liberalisasi dalam segala bidang yang diterapkan secara terstruktur oleh lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan WTO. Inilah era globalisasi.

Ekonomi Indonesia
Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997.
Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang.
Liberalisasi modal, pasar keuangan dan privatisasi BUMN merupakan hal yang problematik bagi banyak Negara berkembang terutama Indonesia. Akan tetapi telah banyak Negara yang mapu membuktikan (China, Jepang, Malaysia dan India) bahwa pertumbuhan dan kemakmuran tidak melulu harus tunduk pada neoliberalime.
Sementara Indonesia menurut Stiglizht merupakan Negara pemakai resep dan mitos favorit neoliberalisme sejak sebelum krisis bahkan hingga kini. Sektor keuangan, Indonesia menganut sistem yang amat liberal, seperti rezim devisa bebas, dimana lalu lintas modal keluar masuk tanpa batasan. Uang-uang panas (hot money) yang hanya berjangka pendek bisa dilahirkan pemiliknya masuk untuk mencari imbal hasil yang tinggi, dan bebas keluar lagi jika tidak lagi memberi hasil memadai.
Pihak asing juga bebas membeli saham bank, yang merupakan jantung perekonomian. Sistem nilai tukar bisa berfluktuasi tanpa batas. Dan oleh karena itu menurut stiglithz, argument untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sistem perbankan dan keuangan untuk melindungi regulasi yang berdasarkan kehati-hatian adalah cara terbaik, betulkah?.
Situasi Indonesia memang lebih mirip India dan China, makanya menurut ekonom lain seperti De Soto yang mengatakan bahwa permasalahan terpuruknya ekonomi Indonesia dan terlebih masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran adalah lebih dikarenakan masyarakat Indonesia yang belum secara merata mendapatkan akses hukum dan kesempatan. Dan oleh karena itu argument untuk melakukan pembenahan infrastruktur dan pelayanan publik adalah cara yang tepat.

Solusi Ekonomi Islam
Satu fenomena spektakuler patut dicatat dalam lembaran sejarah perjalanan perekonomian Negara kita, disaat krisis ekonomi dan keuangan menyeruak dan tak terbantahkan; bank-bank dan korporasi yang tak mampu menyelesaikan utang-utangnya terpaksa harus gulung tikar, perekonomian nyaris ambruk, sementara itu lembaga keuangan syari’ah dan usaha-usaha kecil dan menengah yang menampik tawaran semu neoliberalisme malah mampu bertahan dari krisis yang menjangkit.
Betulkah sisi ideal Islam benar-benar mampu menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir dari gempuran neoliberalisme? Beberapa ekonom Muslim baik di luar maupun dalam negri mengatakan iyah, Islam adalah jalan satu-satunya menuju kemakmuran universal. Sekaligus mampu menandingi kekuatan neoliberalisme.
Pertama, secara antropoligis neoliberalisme lahir dari hasil napak tilas patologi sejarah manusia yang telah mengakhiri absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki dan mereduksinya menjadi “determinisme ekonomi” atau apa yang di sebut Adam Smith sebagai Homo Oeconomicus. Sedang ekonomi Islam justru sebaliknya lahir dari sejarah manusia yang memamah biakan absolutisme nilai-nilai dan martabat kemanusian yang hakiki. Islam melihat bahwa naluri dasar manusia adalah agama bukan materialisme.
Kedua, secara theologies neoliberalisme merupakan turunan dari keyakinan bahwa tatanan yang tertata secara baik tidaklah selalu memerlukan segala konsepsi tentang metafisik tentang kebaikan. Pandangan ini lebih lanjut menjadi derifasi dari pandangan bahwa spiritualisme, tradisi dan sejarah (the heart of religion) hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi akan mendapat ruang eksistensi di abad modern.
Sedang Islam melihat bahwa, kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban. Kulminasinya, agama tidaklah melulu menjadi penghalang bagi kemajuan zaman.
Ketiga, karena neoliberalisme berpegang pada prinsip eligo ergo sum (saya memilih maka saya ada) maka, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem. Sementara Islam berpegang pada aturan Al-Aslu fil Mu’ammalat al-ibahah, bahwa setiap urusan dalam mu’ammalat adalah boleh selama tidak ada aturan yang menghalanginya. Artinya bahwa selalu ada nilai-nilai yang membatasi perilaku ekonomi, termasuk liberalisasi modal.
Fakta bahwa untuk keluar dari ketergantuangan Utang IMF dan Bank Dunia saja Indonesia susahnya bukan main. Belum lagi sejumlah paket kebijakan yang menurut banyak kalangan salah kaprah; RUU Perseroan Terbatas, RUU PMA yang menguntungkan Asing, RUU BHP, kebijakan EPA, pasar bebas dan masih banyak lagi dengan mudahnya diloloskan DPR.
Dengan demikian jelaslah kenapa ada sebagian lembaga yang mendukung dan menentang globalisasi dalam masyarakat. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak lepas dari kekuatan ideologi yang melatarbelakanginya. Kalau kekuatan yang dominan sekarang adalah ideologi neoliberal, maka tak aneh kalau banyak lembaga-lembaga dalam masyarakat yang "berpersfektif" neoliberal dan mendukung globalisasi. Namun demikian, tidak berarti kekuatan lain yang lebih lemah tidak punya tempat. Kekuatan tersebut bisa menyusun kekuatan dan pengaruh. Gramsci menyebutnya "counter-hegemony" (hegemoni tandingan atas kekuatan yang dominan).
Hanya saja karena dalam kenyataannya, upaya counter hegemony yang dilakukan lembaga-lembaga yang melakukan gerakan anti neoliberalisme terkadang bukan ditujukan untuk meng-counter atau menahan laju arus deras globalisasi dan neoliberalisme, tapi malah membuatnya semakin termotivasi untuk tumbuh dan kadang bermetamorfosis. Alison Von Rooy menulis dalam buku Civil Society and Global Finance, bahwa Bank Dunia saja, semenjak tahun 1973, telah melibatkan LSM-LSM dalam 752 proyeknya. Lembaga seperti IMF bahkan kini mempunyai jaringan mailing list dengan sekitar 1000 buah LSM diseluruh dunia hanya untuk mengukuhkan kejayaan globalisasi.
Dalam konteks inilah penulis meyakini bahwa “Ekonomi Islam” adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menjadi pecut sekaligus benteng pertahanan terakhir untuk berlindung dari globalisasi yang telah jauh melenceng dari tujuan awal.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Pesantren Virtual.Com

Virtualisasi Ekonomi Islam

Ratusan tahun silam, jauh sebelum Masehi, orang-orang dari India sudah datang ke desa kita, mengajarkan titah Sidarta Gautama, membeli rempah-rempah dan lain sebagainya. Bahkan Alexander Agung pernah menyatukan separuh dunia di dalam rengkuhannya. Jalur Sutra juga sudah menghubungkan orang-orang dari daratan Eropa dan Asia beberapa ratus tahun silam. Sekitar abad 14 atau 15, Haramain (Mekkah dan Medinah), telah menjadi lokus utama tempat para ulama dari seluruh dunia Muslim berinteraksi membangun jaringan “global”. Tapi semua itu dibangun dengan batasan ruang dan waktu yang teramat luas dan lama.
Bayangkan dunia saat ini, dengan jaringan komunikasi dan transportasi global semuanya bisa dipermudah dan dipercepat hanya dalam sepersekian jam, menit bahkan detik. The world is flat, demikian Thomas L. Friedman mengilustrasikan dunia yang semakin tanpa batasan (borderless) ruang dan waktu. Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima akselerasi perubahan dunia dengan mudah. Masih banyak yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan posmodernitas dan globalisasi telah mendehumanisasi kemanusian manusia. Membuat kehidupan menjadi penuh dengan main-main dan bersenda gurau (laiba wa lahwa).
Ernest Gelner, seorang intelektual yang sangat fasih berbicara tentang peradaban bahkan menyebut kedua istilah tersebut sebagai istilah mutakhir dari relativisme kuno. Sedang Akbar S. Ahmed intelektual muslim yang menulis buku fenomenal tentang Islam dan posmodernisme menyebut kedua istilah tersebut sebagai ancaman serius bagi dunia Islam, bahkan lebih berbahaya dari kekuatan militer sekalipun. Berbeda dengan apa yang ditawarkan Sayyed Hussein Nashr dalam menghadapi modernitas ataupun posmodernitas secara lebih realistis, baginya modernisme maupun posmodernisme merupakan realitas dan tidak mungkin kita bisa mengelak. Maka hadapi, hayati dengan kritis dan nikmati dengan batasan. Dan fides quern intellectum (rasionalitas keimanan) adalah jalan satu-satunya untuk menjawab realitas tersebut.
Hanya saja resep-resep tersebut belakangan juga dirasakan kurang cukup mampu memberikan tawaran pertahanan, karena ternyata arus deras globalisai dan efek posmodernitas telah masuk dalam tiap sisi kehidupan ummat Islam. Belakangan, Ernest Gelner dan Akbar S. Ahmed dinilai gagal dalam membaca dan menempatkan posmodernisme; apakah posmodernisme dianggap sebagai counter terhadap modernisme atau malah sebagai high modernisme. Sementara rasionalisasi keimanan yang ditawarkan Nashr atau yang kini dimamah biakan oleh Caknur dan kalangan liberal juga dianggap kurang realistis.
Virtualisasi ekonomi
Salah satu penyebab dari sekian banyak kegagalan yang dialami dunia muslim untuk mengantisipasi serbuan arus deras globalisasi adalah ketidak mampuan para kaum cendekia dan intelektual dalam memahami metamorfosa globalisasi yang tengah semakin menguasai kekuatan ekonomi dunia saat ini. Padahal sebagaimana dilansir Heri B. Proyono bahwa globalisasi telah membawa ekonomi global kepada kecenderungan virtualisasi ekonomi yang meniscayakan integrasi pasar financial internasional. Dalam fakta, visi integrasi pasar financial yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan menjadi homo oecenomicus telah semakin penuh dengan kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi integrasi pasar financial tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)?.
Pasar financial Islam adalah pasar yang tak terkecuali, penetrasi visi global yang telah mengarah kepada neoliberalisme yang embedded liberalism ke dalamnya telah semakin tak terelakan. Mimpi integrasi pasar financial Islam pun telah semakin merasuki para pelaku pasar ekonomi Islam dewasa ini.
Pasalnya, Islamic finance dilihat lebih sebagai peluang daripada ancaman yang serius. fenomena maraknya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya di dunia barat dan negara-negara non-muslim lebih dianggap sebagai kemunculan model kapitalisme—khas Islam—baru yang mungkin dapat berdampingan dengan bentuk bentuk kapitalisme yang selama ini di puja barat (Rodney Wilson,2007).
Pasar financial Islam dalam negri yang perkembangannya dianggap sebagai yang tercepat sepanjang masa pasca fatwa MUI ternyata juga tidak dapat mengelak dari penetrasi dan serangan virus virtualisasi ekononomi yang membuatnya semakin tidak realistis.
Visi neoliberal yang telah semakin menggerogoti benteng terakhir ketahanan bangsa ini sangat terlihat jelas dalam kebijakan Bank Indonesia melalui PBI Nomor 8/3/PBI/2006, yang telah meniscayakan free fight liberalism dalam pasar financial Islam Indonesia.
Persyaratan administratif, kelayakan, kesehatan, kehalalan yang sebelumnya menjadi hal mutlak dalam proses perluasan pasar financial Islam Indonesia kini menjadi semakin diperlonggar.
Bank-bank konvensional yang sebelumnya harus melewati minimal dua tahapan untuk membuka cabang syari’ahnya, kini cukup dengan satu tahapan saja. Asalkan punya unit syari’ah dia sudah bisa membuka cabang-cabang syari’ahnya dimana saja melalu office channeling. Tak perduli ia bank asing atau lokal.
Ekonomi riil
Awalnya, office chanelling merupakan kebijakan yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan perbankan syari’ah dalam negri. Tapi faktanya, Rasio Non performing financial (NPF) bank-bank syari’ah yang pada akhir 2006 sebesar 4,2 % meningkat menjadi 6,4%.
Meski secara formal peraturan office channeling tidak terlihat bertentangan secara syar’I, tapi secara substantif kebijakan yang telah mengalami revisi ini sangat berpotensi melahirkan free fight liberalisme yang meniscayakan persaingan tidak sehat dalam pasar financial Islam Indonesia ke depan.
Kulminasinya, yang mendapat keuntungan dari kebiijakan office channeling ini adalah bank-bank umum besar yang telah memmiliki jaringan perbankan yang sangat luas. Padahal lebih dari 65 % saham bank-bank umum konvensional saat ini telah dikuasai asing.
Sementara itu lembaga-lembaga keuangan mikro yang benar-benar berjuang membangun sektor riil harus bernafas senen-kemis untuk mempertahankan diri dari serbuan bank-bank besar. Dan mereka sama sekali minim perlindungan dari pemegang kebijakan negri ini.
Sebelum resesi dan stagflasi melanda negri ini, sebelum ekonomi virtual menggelumbungkan pasar financial negri ini, sebelum neoliberalisme menyapu bersih sisa-sisa pertahanan negri ini, fondasi ekonomi Islam harus diperkuat. lembaga-lembaga keuangan mikro yang fokus terhadap sektor riil layaknya grameen bank harus direflikasi.
Karena hanya dengan kekuatan seperti inilah kita akan mampu menahan libido dan hasrat manusia-manusia ekonomi (homo oeconomicus) untuk mengeruk semua energi potensial alam raya ini hanya untuk kepuasan dirinya, sementara yang lain menjerit dan menangis tanpa suara tangisan (voice of the voiceless).Wallahu a’lamu bishawab

MEMBANGKITKAN NASIONALISME BARU:


Judul Buku : Bangsa Gagal; Mencari Identitas Kebangsaan
Penulis : HM. Nasruddin Anshory, Ch
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Terbit : Mei 2008
Tebal : 196 halaman
Harga : Rp.34.500

Studi sejarah merupakan penawar terbaik untuk penyakit-penyakit pikiran. Karena dalam sejarah akan didapatkan beragam catatan tak terhingga mengenai pengalaman manusia yang diperkenalkan secara sederhana untuk dilihat, dalam catatan itu akan terlihat siapa kita dan negri kita. Baik sebagai tamsil maupun peringatan, mencari sesuatu yang baik dan mencampakan semua yang buruk.
Jas merah tegas bung Karno; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan kenangan indah, tapi juga menyuguhkan kearifan dan kebenaran yang bisa dijadikan ibrah bagi keberlangsuangan selanjutnya.
Dengan menghargai sejarah, sebuah bangsa bisa menjadi besar, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bangsa yang tidak pernah menoleh ke belakang adalah bangsa yang tidak akan pernah mencapai tujuannya.
Ini berarti pula bahwa, keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuan sangat tergantung pada sikap dan pandangannya terhadap perjalanan sejarah. Lihatlah bangsa Amerika yang digambarkan Ronald Reagen sebagai super hero seperti ”Rambo” yang memiliki semangat the pursuit of happines, atau lihat juga bagaimana China, Jepang, India dan bahkan Iran mampu sedikit semi sedikit menjadi bangsa yang besar.

Bangsa yang gagal
Sejarah mencatat, kemajuan yang dicapai oleh negara-negara non-barat itu berakar pada empat landasan atau sumber. Pertama, adalah kebudayan-kebudayaan induk (mother culture) yang unggul, misalnya Hindu-Budha di India dan Konfusianisme, Taoisme di China dan Sinthoisme di Jepang serta Islam-Syi’ah di Iran.
Kedua, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan—meminjam istilah Habermas—tekno-ekonomi yang mula-mula dirintis oleh barat. Ketiga, adalah majunya system dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Keempat yang tidak kalah penting, telah berkembangnya system politik dan kenegaraan.
Berdasar atas keempat landasan tersebut, maka alasan pencapaian kebesaran sebuah bangsa paling tidak karena mereka mampu menjaga, menghargai dan memaknai sejarah panjang bangsanya sendiri. Baik secara arkeologis, sosiolgis maupun antropologis.
Lalu bagaimana dengan bangsa kita? HM. Nasruddin Anshory Ch dalam bukunya yang merupakan seri satu abad kebangkitan nasional terbitan LKIS Yogyakarta ini, menyebut bangsa ini sebagai “bangsa yang gagal” dalam mencari identitas kebangsaanya. Pasalnya, sejak satu abad yang lalu, sejak kita mengumandangkan kebangkitan bangsa hingga sekarang, bangsa ini tak kunjung menjadi bangsa yang benar-benar dicita-citakan.
Lebih lanjut penulis buku ini mengaku telah mampu medeteksi adanya penyakit psychopatologi yang disebabkan oleh adanya sindrom ‘nasionalisme petasan.’ Dalam hal ini Nasruddin berada pada gugus yang sama dengan Amin Rais yang menyebut bangsa ini tengah terkena sindrom ‘nasionalisme dangkal,’ yang lebih mengutamakan window show; yang terbuai dengan isu-isu pinggiran yang bersifat emosional dan reaktif ansich. Bentuk nasionalisme simbolik yang lebih senang merawat dan mempercantik halaman rumahnya, sementara ia tidak peduli dan sadar kalau isi rumahnya telah mulai pudar dan kropos.
Selengkapnya, bangsa kita bisa dikatakan telah mengalami apa yang disebut dalam buku ini sebagai bangsa yang gagal dalam menentukan skema baru identitas kebangsaannya, terutama setelah sepuluh tahun lebih orde reformasi berjalan. Alih-alih menemukan skema identitas baru, bangsa ini malah terpencar dan identitas diri tak terselesaikan, kulminasinya mengarah pada semacam fragmentasi yang sangat berbeda, menggerogoti dan menyebabkan identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan berupa spirit primordialisme, parokial, xenocentrisme atau bahkan etnocentrisme. Tak ada satupun alasan untuk dapat menyatukan identitas kebangsaan tersebut selain apa yang diawal tadi disebut sebagai nasionalisme petasan ataupun nasionalisme dangkal.

Melepas Amnesia
Oleh karena itu, buku ini semakin menemukan signifikansinya, terutama mengingat pentingnya memobilisasi masa silam Indonesia untuk meluruskan upaya doktriner apa pun yang akan ditempuh untuk meletakan identitas kebangsaan pada pijakan fondasional yang aman. Entah religius, sekuler, atau tidak kedua-duanya, atau pancasila yang sering kita amini bersama sebagai identitas yang paling aman.
Dalam kehidupan berbangsa dimanapun, tidak ada satupun yang tidak pernah melewati kekerasan rasionalitas-dialektis, dan bahwa sebuah komunitas akan dapat dipersatukan dengan identitas yang paling kuat dan efektif oleh apa yang sama-sama mereka yakini (common ideas), dan sebaliknya oleh apa yang sama-sama mereka benci dan musuhi (common enemy). Dengan begitulah kecintaan (nasionalisme baru) akan terwujud dengan sendirinya.
Meminjam tesis Sigmund Freud bahwa, setiap bagian yang kembali dari alam lupa (yang dikekang) mendesakan diri dengan kekuatan yang sangat istimewa. Memberikan pengaruh yang nyata kuatnya pada diri orang dalam suatu massa dan menjunjung tinggi klaim tak tertahankan. Dimana keberatan-keberatan logis tinggal tak berdaya.
Berbeda dari buku-buku sejarah yang biasa ada di rak-rak buku anda, yang penyajiannya cenderung linier, kaku dan sangat tergantung pada model klasik periodesasi penulisan sejarah. Buku ini hadir dengan logika penulisnya sendiri, dengan maksud keluar dari tradisi penulisan sejarah yang terbukti malah membuat beberapa generasi penerus bangsa ini terjebak dalam alienasi sejarah yang cukup lama.
Buku ini juga mampu memerinci karakteristik masing-masing periode dalam proses perjalanan bangsa ini. Karakteristik yang semestinya mampu memberikan inspirasi patriotisme, anti-kolonialisme, semangat juang dan tentu saja nasionalisme sepenuhnya.