Selasa, 23 Juni 2009

Antara Ronaldo, Mesi dan Torres

OLEH A.A. ARIWIBOWO
"Kita adalah angkatan yang tak bisa mereka didik, karena kita memahami lebih baik" (We are the class, they couldn`t teach, `cause we know better!). Nukilan ini dicopot dari tembang berjudul "Born in the 50`s" yang dilantunkan oleh grup band The Police.

Lagu itu menyasar kepada perjuangan unjuk gigi bagi proklamasi bahwa jangan pernah tampil sebagai generasi yang sok menindas, apalagi memainkan gaya kepemimpinan bisik-bisik di kegelapan, kemudian merebut mikropon untuk berkoar sebagai jagoan yang mendadak turun dari langit.

Kalau ada kisah bidadari dari kahyangan, maka ini bukan kisah pangeran dari jagat entah berantah.

Ini bukan pula adu terampil main pat-gulipat bahwa sepiring uang datang begitu saja tanpa menunjukkan prestasi. Karena, murid kritis mengajukan pertanyaan menyelidik serba menggelitik nalar, "Ketrampilan Anda apa? Jualan utama Anda apa kepada publik?"

Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Fernando Torres tampil ke jagat sepakbola sebagai tiga sekawan yang menyingkirkan kebekuan dari segala apa yang bernuansa serba normal, serba biasa-biasa saja.

Ketiganya mengepalkan tinju ke udara seraya berucap kata, "Ini tinju kami, mana tinjumu."

Mengapa? Karena ketiganya memiliki nyali untuk mencungkil mentalitas "nonsense" yang berkomplot demi kejayaan kelompok sendiri. Langkah awalnya: libas ideologi empat L (Lu lagi, Lu Lagi).

Bukan lantaran pemain Machester United, Cristiano Ronaldo, menyabet penghargaan pemain terbaik dunia FIFA 2008, maka pemain asal Portugal itu mencekoki Messi dan Torres dengan ideologi pembebasan dari mentalitas pasif, cepat puas diri dan tidak kritis.

Ketiganya tampil sebagai sosok yang aktif, tidak berpuas diri dan kritis.

Baik Ronaldo, Messi dan Torres sama-sama mendemonstrasikan kepada dunia bahwa mengobarkan revolusi terhadap masyarakat berdimensi satu (one dimensional society) bukan sebatas slogan "berubah dan berubah". Apalagi, kalau ada embel-embel ambisi akan guyuran uang (pecuniary culture).

Filsuf John Dewey menulis, "Kita sedang hidup dalam kultur uang. Kultur dan ritusnya menentukan pertumbuhan dan keruntuhan suatu lembaga dan ia menguasai nasib setiap individu."

Dan Karl Marx menulis, "Karena uang, kesetiaan dapat diubah menjadi khianat, cinta menjadi benci, benci dapat menjadi cinta; budak dijadikan tuan, tuan menjadi budak; kebodohan menjadi kepandaian, kepandaian menjadi kebodohan."

Keterasingan karena iming-iming uang tidak membawa manusia kepada kemanusiaan yang paripurna. Meski Ronaldo, Messi dan Torres perlu uang, tetapi ketiganya ingin melakoni kemanusiaan sebagai pribadi yang membumikan keutamaan-keutamaan aristokrat sejati.

Pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson punya jurusnya. "Kami semua bangga dia menerima penghargaan tertinggi itu. Kami pikir, dia banyak berutang kepada MU karena kesuksesannya tersebut," kata Ferguson.

Ronaldo mengamini bahwa dia banyak berutang kepada MU, termasuk kepada Ferguson, dalam kemajuan kariernya.

"Benar, Ferguson punya peran penting dalam karierku. Ini musim yang indah bagiku dan bagi klubku. Sang pelatih sangat penting bagiku, karena aku belajar banyak darinya," kata Ronaldo.

Selain lihai menggiring bola, menggocek pemain belakang lawan, melepaskan tembakan ke gawang, publik cukup merasakan getar sihirnya akan aksi teatrikal, utamanya di daerah pertahanan lawan.

Pemain sayap berjuluk CR7 ini dianugerahi kecepatan, kekuatan dan kemampuan luar biasa dalam menerobos lini pertahanan lawan. Inilah daya pembebasan dari CR7 bagi generasi jaman ini.

Kalau Beckham punya kejelian mengumpan bola, maka Ronaldo lebih mengandalkan kemampuan untuk merobek konsentrasi lawan dengan segudang aksi warna-warni di lapangan. Beckham punya energi, sementara Ronaldo beraksi sebagai pemain sirkus. Begitu ibaratnya bagi CR7.

Meski Ronaldo dijuluki punya kepribadian eksibisionis, tetapi ia merayu publik Old Trafford agar bersedia bertepuk tangan atas aksi lapangan yang aduhai.

Ronaldo membuktikan dirinya sebagai salah satu mesin gol klub "Setan Merah". Pemain kelahiran Madeira ini kini tengah dibidik oleh Real Madrid dengan segepok uang. Kekritisan versus godaan uang.

Fragmen menarik juga menerpa Lionel Messi. Kini ia banyak mendulang decak kagum publik, karena penampilannya banyak dibandingkan dengan Diego Maradona semasa muda.

Pemain berusia 21 tahun ini punya kemampuan mengontrol bola dan melepaskan diri dari kawalan pemain lawan untuk memotivasi sesama rekan tim guna meneror pertahanan seteru. Ini makin sempurna karena Messi punya kecepatan.

Lahir di Rosario, Santa Fe di Argentina pada 24 Juni 1987, Messi bergabung ke Barcelona sejak usia 13 tahun.

Dengan cepat, bintangnya bersinar sebagai pemain muda berbakat. Pelatih Fank Rijkaard memberi kesempatan memulai debutnya di tingkat senior saat menjalani laga persahabatan melawan Porto pada November 2003 pada usia 16 tahun.

Ia menjalani laga perdana bersama tim nasional Argentina pada pertandingan persahabatan melawan Hungaria pada Agustus 2005. Ini mengingatkan torehan sejarah ketika Maradona turun bertanding pada usia 16 tahun.

Messi membawa Argentina merebut medali emas dalam ajang Olimpiade tahun lalu. Ia telah mengoleksi sebanyak 11 gol di Liga Primera pada musim kompetisi ini. Di Liga Champions, ia mencetak lima gol.

Sebuah potret perjuangan dari Messi yang mengingatkan publik akan makna dari semangat tidak cepat berpuas diri, tetapi terus mencari dan mencari untuk menemukan sejatinya dari laga sepakbola.

Imajinasi serupa terpapar dalam diri Fernando Torres. Pemain Liverpool yang dijuluki El Nino ini hijrah dari Atletico Madrid ke Anfield pada 2007 dengan bayaran sekitar 20 juta poundsterling. Sebagai pencetak gol, publik menyebut penampilannya mirip Ian Rush dan Kenny Dalglish.

Pemain Spanyol ini punya mata elang dalam membidik mangsa. Utamanya, pemain belakang yang lengah, karena bayarannya kelewat mahal yakni gol. Hebatnya, ia membuktikan diri sebagai pemain yang mampu bertahan di tengah persaingan keras sepakbola Inggris.

Ia mampu melesakkan 24 gol ketika mengawali musim kompetisinya di Liga Primer bersama Liverpool. Prestasi ini menoreh catatan tersendiri di buku besar sejarah sepakbola Inggris sebagai striker dari luar Inggris yang tampil subur.

Hebatnya lagi, ia mencetak gol kemenangan bagi negaranya saat melawan Jerman di final Piala Eropa 2008.

Refleksi apa yang dapat dipungut publik dari perjuangan tiga besar dalam pemilihan Pemain Terbaik Dunia FIFA 2008 ini?

Dalam pemungutan suara, Cristiano Ronaldo (Portugal) mendulang 935 poin, Lionel Messi (Argentina) 678 poin, Fernando Torres (Spanyol) 203 poin.

Poin terpenting dan terutama yakni ketiganya mengeksplorasi imajinasi untuk terbebas dari segala kungkungan sistem. Boleh dibilang, ketiganya melahirkan imperatif sejarah: janganlah mengulangi "industrial genocide".

Maksudnya membebaskan diri dari pola berpikir totaliter, pola berpikir yang menghakimi seluruh jaman dengan memproklamirkan diri, sebagai kelompok atau individu yang paling benar. Padahal, dunia itu ib
Antara news.

Runtuhnya Klaim Neoliberal

Artikel opini yang ditulis Ismatillah Nu’ad berjudul ekonomi neoliberal (Republika, 18/05), sangat menarik dan menggugah, namun patut mendapatkan segudang catatan. Menurutnya, neolib secara sederhana memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi dari pemerintah.
Dalam tulisan tersebut, juga dipaparkan bagaimana neoliberalisme di Amerika Latin dalam perkembangan terakhir telah menjadi momok dan musuh bersama. Dengan mengambil contoh kasus fenomena kebangkitan neososialisme sebagai antitesa neoliberalisme di Amerika Latin, saudara Ismatillah sepertinya ingin mematahkan klaim neoliberal bahwa mengurangi radius aktivitas negara akan memperdalam demokrasi dan mengakibatkan peningkatan penghasilan secara tetap baik bagi kaum kaya maupun miskin.
Indonesia lebih lanjut, seharusnya bisa mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang dialami negara-negara seperti Venezuela, Brazilia dan Bolivia yang sudah mulai meninggalkan resep-resep ekonomi yang mengkampanyekan perlunya trio ekonomi; deregulasi-privatisasi-liberalisasi.

Embedded Liberalism
Perkembangan pesat Neoliberalisme dimulai sejak Margaret Thatcher menjadi perdana menteri Inggris tahun 1979 dan Ronald Reagen presiden AS pada tahun 1980. sejak saat itu dan terutama sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1990 neoliberalisme meluas ke seluruh dunia, disponsori AS sebagai super power militer, ekonomi dan politik. Neoliberalisme pada masa awal tersebut dapat dipahami dari pandangan David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism, dimana perbedaan neoliberalisme dengan “liberalisme lama” (embedded liberalisme) adalah bahwa dalam liberalisme lama peran pasar dan kegiatan usaha dilingkungi berbagai hambatan sosial politik seperti perencanaan negara dan badan usaha milik negara. Neoliberalisme berpendapat bahwa segala hambatan itu harus ditiadakan untuk memperoleh perkembangan ekonomi yang paling maksimal.
Hanya saja dalam era mutakhir, neoliberalisme selain telah menjadi istilah ekstrem, namun juga menjadi istilah yang sangat licin seiring berkembangnya teknologi informasi. Neoliberalisme pun pada akhirnya sampai pada bentuk reinkarnasi yang paling ekstrem, dimana neoliberalisme bisa dikatakan melampaui pandangan Daved Harvey tersebut. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem yang ciri utamanya berupa lahirnya hierarki prioritas; prioritas sektor financial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, bailout dan semacamnya (Herry Priyono, 2005).
Neoliberalisme versi mutakhir ini, cukup berperan dalam melambungkan perekonomian dunia yang terpusat pada segelintir orang. Sementara menyengsarakan jutaan penduduk dunia lainnya. Krisis kredit perumahan rendah (subprime mortage di AS) pada bulan july 2007 lalu, yang menyeret beberapa lembaga keuangan besar, seperti Citigroup dan Merrill Lynch (AS), UBS and Barclays (Eropa), serta Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius adalah titik terekstrem yang diakibatkan oleh neoliberalisme model baru ini.

Formula Strategi
Perjuangan melawan neoliberalisme khususnya di Amerika Latin yang dalam beberapa tahun terakhir memang cukup mengguncang dunia. Hal ini juga merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat sebagai simbol personifikasi neoliberalisme. Bagi kaum komunis ortodok maupun neoliberal, fenomena Amerika Latin memang telah membantah anggapan ketidak mungkinan adanya revolusi hanya 90 mil dari pantai Amerika Serikat.
Sebagaimana diketahui, sepanjang dekade 1990an, hampir semua Presiden Amerika Latin menerapkan haluan neoliberal, tapi hasilnya dalam front politik maupun ekonomi terbukti sangat mengecewakan. Stagnansi ekonomi, polarisasi sosial yang semakin dalam, dan kekuasaan eksekutif yang eksesif menimbulkan kebangkrutan neoliberal. Gerakan anti neoliberalpun pada akhirnya merebak dan menghasilkan kemenangan kaum anti neolib dalam pemilu presidensial. Hugo Chavez (venezuela) yang keras menentang neoliberal, Luiz Inacio Lula da Silva (Barazil), Lucio Gueterez (Ekuador) dan Nestor Kirchner (Argentina) adalah para pemimpin berhaluan neososialisme yang berhasil mematahkan klaim neoliberal.
Hanya saja, meskipun fenomena kebangkitan neososialisme Amerika Latin menemukan momentum kemenangan yang merata dihampir seluruh negara di Amerika latin, fenomenannya tentu saja tidak monolitik. Tapi sebaliknya cukup berbeda satu sama lain, khususnya dalam model strategi dan idiologi yang mendasarinya.
Steve Elner, seorang penulis kiri terkemuka mengajukan tiga profosal yang paling tidak telah digunakan kaum anti-neoliberal untuk mengembangkan strategi politiknya. Yaitu pertama, pendekatan Kiri-Tengah yang diajukan oleh politikus-akademisi Meksiko Jorge Castaneda, dimana kaum kiri meminang ”kaum tengah” agar menjauh dari kanan dengan berbasiskan program alternatif terhadap neoliberalisme; kedua, strategi yang diasosiasikan dengan teoritikus Marxis dari Chile Marta Hernecker, yang mana kaum kiri memprioritaskan anti neoliberal, namun menghindari tuntutan-tuntutan yang lebih kiri maupun aliansi dengan kaum kanan. Dan ketiga, strategi paling kiri yang digagas James Petras dimana tuntutan anti-neoliberal dikedepankan tapi tidak menutup kemungkinan perjuangan anti imperialisme atau anti-kapitalis.
Ketiga formula dan strategi inilah yang dikemudian hari digunakan sebagai titik acuan para pemimpin neososialis untuk menentang neoliberalisme. Ketiganya juga merupakan landasan perdebatan utama mengenai strategi dan tantangan yang dihadapi kaum kiri dalam memformulasikan tuntutan dan tawaran model baru dalam era globalisasi.
Melihat keragaman formula dan strategi kaum kiri dalam melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme di Amerika Latin, kitapun pada akhirnya dihadapkan dengan banyak pilihan model. Sehingga tidak mungkin hanya melihat satu model saja; seperti model Venezuela atau Brazil saja misalnya. Apalagi bila melihat, rapuhnya basis sosial gerakan perlawanan terhadap neoliberalisme di negara kita.
Klaim neoliberalisme There Is No Alternative (TINA) yang diperkenalkan oleh Margareth Tacher memang telah mulai terbantahkan, tapi pemujaan sporadis terhadap klaim anti neoliberal terutama dengan mrrujuk kepada pengalaman Amerika Latin juga tidak sepenuhnya absah dan belum tentu baik bagi masa depan bangsa ini, mengingat bahwa kebangkitan neososialisme Amerika Latin juga menyisakan atau bahkan melahirkan permasalahan baru.

Menyelami Lyric-Lyric Coldplay

Viva La Vida Or Death And All His Friends merupakan album ke empat dari Coldplay setelah terakhir merilis album X&Y pada tahun 2006 kemarin. Beberapa orang berspekulasi bahwa ini merupakan produk ego dari Chris Martin yang merupakan frontman Coldplay. Seperti banyak diketahui, Chris martin sangat peduli akan perdamaian dunia.
Album ini sendiri bisa merupakan experimental record yang juga political record dari Coldplay. Setengah lirik dari album ini bertemakan gambaran keadaan perang, keagamaan, bahkan kematian, seperti yang tersirat pada Lead Single dari Album ini “Violet Hill”. Dimana dalam single tersebut sangat kental dengan pesan politiknya
I don’t want to be a soldier/Who the captain of some sinking ship/Would stow, far below
Pesan yang sama juga mereka sampaikan pada single “Lovers in Japan/Reign of Love”
Soldiers you’ve got to soldier on/Sometimes even the right is wrong
Nuansa Politikal pun sangat ditonjolkan pada cover art album ini untuk menekan pesan perdamaian yang diusung oleh Coldplay.
Best Single dari album ini adalah “Lost?”. Dari sisi komposisi musik single ini hanya mengandalakan piano, namun dibalut oleh lirik yang luar biasa, sehingga single ini terdengar luar biasa. Ada sebuah pesan moral yang coba disampaikan oleh Coldplay pada single ini
You might be a big fish, In a little pond Doesn’t mean you’ve won, ‘Cause along may come, A bigger one And you’ll be lost
Kita bisa mendengarkan arransemen yang berbeda dari single “Lost?” pada single “Lost!”. Jika “Lost?” hanya mengandalkan Piano, namun Single “Lost!” menggunakan konsep Full Band. Seolah-olah, kita seperti mendengarkan sebuah single yang berbeda. Tidak ketinggalan single “Viva La Vida” yang penuh semangat kemenangan. Pada intronya saja sudah membuat kita seperti melihat pencerahan jiwa.
Walaupun album ini bertemakan politik, namun Coldplay berhasil membungkusnya dengan musikalitas dan lirik yang tidak muluk-muluk dan membosankan. Banyak pesan-pesan moral dalam lirik album ini yang menjadi inspirasi kita. It’s such a inspre and powerfull album. So, i wouldn’t mind to get lost with Coldplay this Time.
dikutip dari http://sky.web.id.

Coldplay - Viva La Vida Lyrics

I used to rule the world
Seas would rise when I gave the word
Now in the morning I sweep alone
Sweep the streets I used to own

I used to roll the dice
Feel the fear in my enemy’s eyes
Listen as the crowd would sing:
“Now the old king is dead! Long live the king!”

One minute I held the key
Next the walls were closed on me
And I discovered that my castles stand
Upon pillars of salt and pillars of sand

I hear Jerusalem bells a ringing
Roman Cavalry choirs are singing
Be my mirror my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can’t explain
Once you go there was never, never an honest word
That was when I ruled the world
(Ohhh)

It was the wicked and wild wind
Blew down the doors to let me in.
Shattered windows and the sound of drums
People couldn’t believe what I’d become

Revolutionaries wait
For my head on a silver plate
Just a puppet on a lonely string
Oh who would ever want to be king?

I hear Jerusalem bells a ringing
Roman Cavalry choirs are singing
Be my mirror my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can’t explain
I know Saint Peter will call my name
Never an honest word
But that was when I ruled the world
(Ohhhhh Ohhh Ohhh)

I hear Jerusalem bells a ringing
Roman Cavalry choirs are singing
Be my mirror my sword and shield
My missionaries in a foreign field
For some reason I can’t explain
I know Saint Peter will call my name
Never an honest word
But that was when I ruled the world
Oooooh Oooooh Oooooh

Rivalitas Budaya dalam Pilpres 2009

Catatan visual, Analisis media, monograf, pengakuan dan riset-riset lapangan serta pengamatan atas persiapan Pemilihan Presiden 2009 disinyalir menjadi mozaik yang sangat kaya mengenai tradisi elektoral dalam konteks demokratisasi di Indonesia.
Berbagai predikat menterengpun semakin disematkan ketika menandai dimulainya kampanye menuju partai knock-out Pilpres kali ini. Perang David versus Gholiat, perang seniman versus arsitek, ataupun perang kemegaahan versus kesederhanaan.
Muncul pula istilah rivalitas neolib versus kerakyatan, atau neolib versus kemandirian bangsa. Rivalitas politik yang akan memberikan sajian epitome demokrasi yang penuh dengan drama perseteruan inipun semakin berlanggam nada vulgar. Karena ternyata, perseteruan dan rivalitas tersebut sarat dengan muatan estetika.

Rivalitas Vulgar
Kenapa rivalitas ketiga capres-cawapres bersama skuadnya semakin memburu perseteruan yang berlanggam nada vulgar? Jawabannya, pertama, di alam modern ini ada satu hal yang tidak dapat dielakan, yaitu kemajuan teknologi informasi. Dimana autentisitas kesementaraan (dimensi waktu) dan mediasi telah disingkirkan dengan adanya rekonstruksi karya seni itu sendiri.
Penghancuran autentisitasnya telah membuat seni bersifat afirmatif atas realitas yang sedang berlangsung. Dipenuhi dengan berbagai unsur instant, yang terungkap dalam tayangan televisi. Kulminasinya, membuat keindahan diekspresikan secara sangat vulgar.
Kedua, karena rivalitas yang disajikan oleh ketiganya dalam perseteruan tersebut menjadi semakin misterius dan tak mudah difahami. Menyajikan fanorama kebudayaan terutama estetika yang berbeda, yang terkadang memunculkan sensasi emosional, juga terkadang menimbulkan decak kagum para penontonnya (Greg Soetomo, 2003).
Yang mampu kita pahami mungkinlah hanya sebatas, bahwa ketiga skuad tersebut bersandar kepada kebudayaan terutama estetika yang kontras sama sekali. Skuad incumbent dengan slogan “lanjutkan,” seolah ingin mengukuhkan estetika kaum kapitalis yang bersandar secara penuh kepada kebudayaan industrial, dimana estetika dibangun untuk melanggengkan kedigdayaannya.
Di seberang sana, skuad yang menempatkan dirinya sebagai pengkritik utama kebudayaan industrial, dengan slogan “pro-perubahan.” Seolah menggambarkan keinginannya untuk memunculkan kembali sense of the vital need for radical change. Dengan menukil ungkapan Herbert Marcuse tersebut, mereka berusaha menyentuh imajinasi terdalam palung kesadaran publik untuk meniscayakan perubahan yang cukup radikal.
Sementara kubu lain yang berusaha menempatkan dirinya di sebelah tengah, dengan slogan “Lebih cepat lebih baik.” Berusaha untuk menempati kekosongan dalam ruang autentisitas estetis. Dimana selain sebagai “fungsi”, karya seni juga diharapkan akan membawa kepada kesadaran yang alamiah, dengan segenap auranya.
Dalam budaya massa yang terlanjur polyglot seperti saat sekarang ini, Apresiasi autentik memang menjadi tidak mungkin, karena kesadaran yang baru lahir diarahkan pada objek karya seni yang telah dilucuti auranya. Sehingga keinginan untuk menggali autentisitas semacam itu akan menjadi strategi yang tentu saja cukup berisiko bagi siapapun.

Substratum Esensial
Pada akhirnya, kita memang semakin berada dalam persimpangan, tenggelam dalam perasaan termehek-mehek akan masa lampau, karena adanya perasaan yang hilang dalam imajinasi. Satu-satunya yang tersisa sekarang adalah politik dan kepentingan ekonomi.
Yang akan muncul kemudian hanya dua kemungkinan; pertama, situasi tersebut akan terus di-lanjutkan. Kedua, kebudayaan alternatif akan mengalirkan arus perubahan yang radikal dan akan menjadi Mesias sejati.
Atas dasar itulah mungkin, semua kubu boleh dikatakan akan mengambil jalan yang tidak beresiko. Dengan ikut serta memainkan seni peran dalam drama kebudayaan industrial, atau budaya massa.
Hal ini terungkap dari manuver Jusuf Kalla sebagai penganut autentisitas estetis yang seakan tak mau kehilangan kesempatan untuk mengambil peranan dalam drama pelarian Manohara, pembebasan Prita Mulyasari, dan isu pemakaian jilbab.
Demikian halnya saat film religi layar lebar “Ketika Cinta Bertasbih” diluncurkan, peran-peran itupun tidak begitu saja dilewatkan. Merujuk film serupa “Ayat-ayat Cinta” beberapa saat lalu, yang juga sangat menyita perhatian khalayak ramai, termasuk para elite negeri ini.
Sementara itu, kubu incumbent tampaknya terlalu terpukau dengan gaya artistik Cartesian yang terlampau mekanistis, dan lebih melihat ekonomi-politik sebagai substratum (basis) esensial untuk kemajuan sejarah. Sehingga peran-perannya yang diambil adalah dengan berkreasi secara mekanistik pula; BLT, gaji ke-13 dan seperangkat aturan birokrasi lainnya akan dijadikan sebagai senjata yang cukup ampuh.
Kubu pro-perubahan yang cukup tersihir oleh gaya realisnya Lukács, kemungkinan tidak akan memainkan seni peran yang terlalu radikal, mengingat resiko yang akan dihadapinya. Pilihan baginya hanya satu, ikut bermain dalam panggung kebudayaan industrial, namun tentu saja tetap bergaya realis untuk menumbuhkan kesadaran kaum proletar. Dengan harapan bahwa palung terdalam kesadaran publik akan mengafirmasi jalan revolusioner mereka.
Pada akhirnya, pihak yang akan digdaya dan mendapatkan standing applause terlama dalam panggung kebudayaan ini adalah pihak yang memang mampu berperan secara lebih ekspresif, penuh imajinasi dan tentu saja memberikan aura keindahan.
Karena bagaimanapun, para penonton panggung sandiwara kebudayaan di negeri ini memiliki harapan untuk kembali menyaksikan penampilan para seniman yang authentic dan mampu memberikan riak gelombang kejut keindahan hingga ke palung terdalam imajinasinya.
Layaknya Soekarno-Hatta, seorang penganut estetika autentik yang frekuensi estetisnya mampu menerobos perbatasan geografis negara dan budaya. Menembus relung hati dan imajinasi terdalam, melahirkan sanjungan (laudation) dan decak kagum yang luar biasa, bukan hanya dari publik domestik tapi juga dunia international.

Nasib Buruh di alam Neoliberal

”Vivero pericoloso.” mungkin adagium ini perlu kembali diteriakan dengan lantang kepada para kaum buruh di negeri ini. Supaya menimbulkan riak gelombak kejut kesadaran para buruh. Tidak bermaksud mengharap kaum buruh kembali turun ke jalan, tapi bagaimana kemudian kaum buruh melahirkan gerakan-gerakan yang menunjukan bahwa mereka bernafas dan menaruh perhatian yang serius terhadap persoalan nasional yang lebih luas.
Kenapa demikian? Karena, di alam neoliberal, figur buruh seakan menjadi prototife utama yang menentukan kemajuan ekonomi maupun politik. Lihatlah bagaimana wacana kehidupan kaum buruh; tenaga kerja, petani dan nelayan senantiasa menjadi isu utama dalam ajang pesta demokrasi dimanapun. Baik di Amerika sebagai negara demokrasi terbesar maupun di negara kita Indonesia yang kurang lebih juga sama.
Di negara maju yang tingkat populasi masyarakat urbannya begitu tinggi seperti Inggris dan Australia bahkan lebih dahsyat lagi, dimana buruh dapat memiliki cukup kekuatan untuk berkuasa hingga beberapa periode.
Meski demikian, setumpuk persoalan terkait hak-hak buruh memang tak pernah benar-benar dapat terselesaikan. Karena selama neoliberalisasi menjadi tumpuan utamanya, maka sekuat apapun gerakannya, buruh tidak pernah dapat memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaganya.
Di negara berkembang seperti Indonesia, Meksiko, Thailand dan Vietnam kaum buruh mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan di negara maju. Serangan yang dilancarkan kepada mereka begitu bertubi-tubi, sehingga lebih sering terombang-ambing dengan nasib dan kehidupan hari esok yang semakin tidak jelas. Sementara kaum neoliberal, semakin kokoh dalam mempertahankan ekonomi dan politik libidinal-nya.

Ekspansi Neoliberal
Dalam beberapa dekade terakhir, kaum buruh memang semakin tidak berdaya untuk menahan gempuran kaum neoliberal. Serikat-serikat pekerja yang didirikan untuk melindungi kepentingan mereka tercerai-berai, membuat identitas buruh pergi kelain arah menuju penyatuan ras, etnis dan gender.
David Harvey, dalam bukunya A Brief History of Neoliberalisme mengingatkan bahwa proses neoliberalisasi akan meniscayakan penghancuran lapisan-lapisan perlindungan yang dikembangkan kaum buruh. Dimana serangan ini berlangsung dalam dua arah.
Serangan pertama diarahkan kepada kekuatan-kekuatan serikat buruh, dengan menghambat perkembangannya atau membubarkannya meski secara paksa sekalipun. Fleksibilitas tenaga kerja diciptakan, tunjangan-tunjangan sosial dihilangkan, dan jaminan keberlangsungan pekerjaan dihapuskan. Para buruh terjebak dalam pasungan sistem tenaga kerja yang menawarkan kontrak-kontrak jangka pendek (outsourching).
Serangan kedua terhadap kekuatan kaum buruh, dan ini adalah yang paling dominan. Yaitu perubahan koordinat-koordinat spasial dan temporal dari pasar tenaga kerja. Begitu banyak taktik yang dijalankan dalam upaya serangan kedua ini, yang bertujuan untuk memenangkan persaingan dalam mendapatkan suplai pasar tenaga kerja termurah dan yang paling penting adalah patuh.
Liberalisasi keuangan yang telah ditopang dan dimuluskan jalannya oleh institusi-institusi keuangan global (IMF, World Bank, dan juga WTO) telah memungkinkan para pemilik modal dalam waktu yang singkat menguasai armada tenaga kerja di berbagai negara secara sekaligus. Pun demikian, juga memiliki kebebasan untuk memindahkannya dalam tempo sesingkat-singkatnya ke ruang spasial yang lain yang lebih menjanjikan.
Dalam situasi kiwari, serangan model ini mungkin dapat terlihat secara kasat mata dari gelembung ekonomi China yang telah membuat negara-negara yang sebelumnya menjadi tujuan investasi (Meksiko, Indonesia, Thailand dan Vietnam) harus gigit jari dan kehilangan ribuan, bahkan jutaan lapangan pekerjaan. Hal ini terjadi, karena China menerapakan upah yang sangat rendah bagi buruh dalam negerinya. Murahnya upah buruh disertai keterampilan teknologi yang memadai di China juga membuat pusat-pusat industri korporasi global terpaksa harus memindahkan laboratorium risetnya ke China; termasuk IBM, Microsof, Motorola, Siemens dan Intel (David Harvey, 2005).

Aliansi kaum buruh
Liberalisasi modal, pasar keuangan dan privatisasi BUMN merupakan hal yang problematik bagi banyak Negara berkembang terutama Indonesia. Hal ini terjadi karena— menurut Stiglizht—Indonesia merupakan Negara pemakai resep dan mitos favorit neoliberalisme sejak sebelum krisis bahkan hingga saat ini.
Di Indonesia, proses neoliberalisasi bahkan berlangsung dari segala arah, termasuk dalam bidang politik, sehingga jalan ceritanya menjadi jauh lebih problematis. Secara ekonomis, armada tenaga kerja Indonesia lebih sering berkorban, sementara secara politis mereka lebih sering menjadi komoditas pertaruhan kekuasaan para elite. Kulminasinya, garansi politik tak pernah nyata, kesejahteraanpun tiada.
Rendahnya tingkat pendidikan kaum buruh, disinyalir telah membuat kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya menjadi rendah pula. Dimana dari sekitar 37 juta armada tenaga kerja kita 56%-nya hanyalah lulusan SD. Sementara 19% SMP, 17% SMA, dan sisanya 8% adalah Perguruan Tinggi.
Rendahnya tingkat kesadaran armada tenaga kerja tersebut membuat, 107 federasi yang tercatat di Depnakertrans hanya diisi oleh 3 juta buruh saja. Sementara sisanya, atas nama kesejahteraan dan demokrasi lebih senang untuk bermurah hati dan sukarela menyumbangkan surplus keringatnya.
Fakta tak terbantahkan tersebut selayaknya memang dijadikan titik kesadaran, akan pentingnya melakukan revitalisasi institusi-institusi perlindungan kultural bagi kaum buruh. Sebagaimana yang pernah diteriakan Karl Polanyi dalam “The Great Transformation.”
Bagi Polanyi, membiarkan mekanisme pasar menjadi satu-satunya pengarah dari nasib kaum buruh dan lingkungannya, akan membawa kaum buruh pada kehancurannya saja. Memandang buruh dengan kacamata neoliberal dengan demikian hanyalah melahirkan buruh-buruh yang semakin tidak berdaya; mudah dieksploitasi, dipolitisasi, dipecat dan kemudian dibuang (disposable labour).
Sebaliknya, Polanyi menegaskan bahwa buruh seharusnya dipandang sebagai makhluk yang memiliki karakteristik, keterampilan, dan cita rasa tententu. Selain itu buruh juga merupakan makhluk hidup yang dianugerahi dengan impian-impian, hasrat-hasrat dan harapan-harapan yang sama dengan manusia lainnya.
Memang terlalu melelahkan kita mendengar kampanye penataan untuk kaidah-kaidah kesejahteraan buruh; berupa jaminan sosial, upah minimum, sistem kerja maupun kualitas armada tenaga kerja, sementara kenyataannya kehidupan sosial kita semakin terpuruk.
Telah terlalu sering pula para elite berdebat soal rambu-rambu hubungan industrial yang saling menguntungkan, tapi kenyataannya nasib buruh semakin terjebak dalam labirin tak berujung.
Sudah saatnya, kaum buruh menentukan nasibnya sendiri, dengan bersatu melakukan aksi-aksi kolektif untuk sama-sama mengatakan tidak pada neoliberalisme dalam bentuk apapun, dan bahwasanya Another world is possible.

Liberalisasi Pasar Keuangan Islam

Ratusan tahun silam, jauh sebelum Masehi, orang-orang dari India sudah datang ke desa kita, mengajarkan titah Sidarta Gautama, membeli rempah-rempah dan lain sebagainya. Bahkan Alexander Agung pernah menyatukan separuh dunia di dalam rengkuhannya. Jalur Sutra juga sudah menghubungkan orang-orang dari daratan Eropa dan Asia beberapa ratus tahun silam. Sekitar abad 14 atau 15, Haramain (Mekkah dan Medinah), telah menjadi lokus utama tempat para ulama dari seluruh dunia Muslim berinteraksi membangun jaringan “global”. Tapi semua itu dibangun dengan batasan ruang dan waktu yang teramat luas dan lama.
Bayangkan dunia saat ini, dengan jaringan komunikasi dan transportasi global semuanya bisa dipermudah dan dipercepat hanya dalam sepersekian jam, menit bahkan detik. The world is flat, demikian Thomas L. Friedman mengilustrasikan dunia yang semakin tanpa batasan (borderless) ruang dan waktu. Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima akselerasi perubahan dunia dengan mudah. Masih banyak yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan posmodernitas dan globalisasi telah mendehumanisasi kemanusian manusia. Membuat kehidupan menjadi penuh dengan main-main dan bersenda gurau (laiba wa lahwa).
Ernest Gelner, seorang intelektual yang sangat fasih berbicara tentang peradaban bahkan menyebut kedua istilah tersebut sebagai istilah mutakhir dari relativisme kuno. Sedang Akbar S. Ahmed intelektual muslim yang menulis buku fenomenal tentang Islam dan posmodernisme menyebut kedua istilah tersebut sebagai ancaman serius bagi dunia Islam, bahkan lebih berbahaya dari kekuatan militer sekalipun. Berbeda dengan apa yang ditawarkan Sayyed Hussein Nashr dalam menghadapi modernitas ataupun posmodernitas secara lebih realistis, baginya modernisme maupun posmodernisme merupakan realitas dan tidak mungkin kita bisa mengelak. Maka hadapi, hayati dengan kritis dan nikmati dengan batasan. Dan fides quern intellectum (rasionalitas keimanan) adalah jalan satu-satunya untuk menjawab realitas tersebut.
Hanya saja resep-resep tersebut belakangan juga dirasakan kurang cukup mampu memberikan tawaran pertahanan, karena ternyata arus deras globalisai dan efek posmodernitas telah masuk dalam tiap sisi kehidupan ummat Islam. Belakangan, Ernest Gelner dan Akbar S. Ahmed dinilai gagal dalam membaca dan menempatkan posmodernisme; apakah posmodernisme dianggap sebagai counter terhadap modernisme atau malah sebagai high modernisme. Sementara rasionalisasi keimanan yang ditawarkan Nashr atau yang kini dimamah biakan oleh Alm. Caknur dan kalangan liberal juga dianggap kurang realistis.
Virtualisasi ekonomi
Salah satu penyebab dari sekian banyak kegagalan yang dialami dunia muslim untuk mengantisipasi serbuan arus deras globalisasi adalah ketidak mampuan para kaum cendekia dan intelektual dalam memahami metamorfosa globalisasi yang tengah semakin menguasai kekuatan ekonomi dunia saat ini. Padahal sebagaimana dilansir Heri B. Proyono bahwa globalisasi telah membawa ekonomi global kepada kecenderungan virtualisasi ekonomi yang meniscayakan integrasi pasar financial internasional. Dalam fakta, visi integrasi pasar financial yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan menjadi homo oecenomicus telah semakin penuh dengan kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi integrasi pasar financial tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)?.
Pasar financial Islam adalah pasar yang tak terkecuali, penetrasi visi global yang telah mengarah kepada neoliberalisme yang embedded liberalism ke dalamnya telah semakin tak terelakan. Mimpi integrasi pasar financial Islam pun telah semakin merasuki para pelaku pasar ekonomi Islam dewasa ini.
Pasalnya, Islamic finance dilihat lebih sebagai peluang daripada ancaman yang serius. fenomena maraknya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya di dunia barat dan negara-negara non-muslim lebih dianggap sebagai kemunculan model kapitalisme—khas Islam—baru yang mungkin dapat berdampingan dengan bentuk bentuk kapitalisme yang selama ini di puja barat (Rodney Wilson,2007).
Pasar financial Islam dalam negri yang perkembangannya dianggap sebagai yang tercepat sepanjang masa pasca fatwa MUI ternyata juga tidak dapat mengelak dari penetrasi dan serangan virus virtualisasi ekonomi yang membuatnya semakin tidak realistis.
Visi neoliberal yang telah semakin menggerogoti benteng terakhir ketahanan bangsa ini sangat terlihat jelas dalam kebijakan Bank Indonesia melalui PBI Nomor 8/3/PBI/2006, yang telah meniscayakan free fight liberalism dalam pasar financial Islam Indonesia.
Persyaratan administratif, kelayakan, kesehatan, kehalalan yang sebelumnya menjadi hal mutlak dalam proses perluasan pasar financial Islam Indonesia kini menjadi semakin diperlonggar.
Bank-bank konvensional yang sebelumnya harus melewati minimal dua tahapan untuk membuka cabang syari’ahnya, kini cukup dengan satu tahapan saja. Asalkan punya unit syari’ah dia sudah bisa membuka cabang-cabang syari’ahnya dimana saja melalu office channeling. Tak perduli ia bank asing atau lokal.
Ekonomi riil
Awalnya, office chanelling merupakan kebijakan yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan perbankan syari’ah dalam negri. Tapi faktanya, Rasio Non performing financial (NPF) bank-bank syari’ah yang pada akhir 2006 sebesar 4,2 % meningkat menjadi 6,4% pada akhir 2007.
Meski secara formal peraturan office channeling tidak terlihat bertentangan secara syar’I, tapi secara substantif kebijakan yang telah mengalami revisi ini sangat berpotensi melahirkan free fight liberalisme yang meniscayakan persaingan tidak sehat dalam pasar financial Islam Indonesia ke depan.
Kulminasinya, yang mendapat keuntungan dari kebiijakan office channeling ini adalah bank-bank umum besar yang telah memiliki jaringan perbankan yang sangat luas. Padahal lebih dari 50 % saham bank-bank umum konvensional saat ini telah dikuasai asing.
Sementara itu lembaga-lembaga keuangan mikro yang benar-benar berjuang membangun sektor riil harus bernafas senen-kemis untuk mempertahankan diri dari serbuan bank-bank besar. Dan mereka sama sekali minim perlindungan dari pemegang kebijakan negri ini.
Sebelum resesi dan stagflasi melanda negri ini, sebelum ekonomi virtual menggelumbungkan pasar financial negri ini, sebelum neoliberalisme menyapu bersih sisa-sisa pertahanan negri ini, fondasi ekonomi Islam harus diperkuat. lembaga-lembaga keuangan mikro yang fokus terhadap sektor riil layaknya grameen bank harus direflikasi dan diberi jaminan.
Karena hanya dengan kekuatan seperti inilah kita akan mampu menahan libido dan hasrat manusia-manusia ekonomi (homo oeconomicus) untuk mengeruk semua energi potensial alam raya ini hanya untuk kepuasan dirinya, sementara yang lain menjerit dan menangis tanpa suara tangisan (voice of the voiceless).Wallahu a’lamu bishawab

Senin, 22 Juni 2009

Kosongnya Tenda Besar Politik Islam

Diskursus paling unik mengenai ummat Islam dalam hubungannya dengan masalah kehidupan politik dan sosial menurut para bijak bestari tidak terletak pada jumlahnya sebagai mayoritas, akan tetapi terletak pada kegagalan ilmuwan, politisi, penguasa, bahkan pemimpinnya sendiri untuk menempatkannya sebagai suatu realitas dan kekuatan sosial, politik dan budaya.
Dalam kerangka situasi kiwari, fenomena ini terlihat dari semakin menumpulnya ketajaman dan kepiawaian para praktisi politik dan ketatanegaraan yang mengklaim diri berada dalam tenda besar politik islam, untuk memberikan tawaran yang lebih realistis. Sementara romantika dan mimpi hadirnya kegemilangan masa lalu dalam realitas politik kekinian menyeruak kepermukaan, sebagai akibat dari kepasifan dan kefrustasian yang semakin mendera.
Nyatanya, desakan golput, boikot pemilu, fatwa haram golput serta usulan pewacanaan kembali poros tengah, atau malah penerapan syari’at islam masih saja menjadi isu utama yang saat ini diterikan para elite politik islam.
Hasil survei LSI pada Februari 2009 yang baru-baru ini dirilis menunjukan, bahwa jumlah pemilih partai islam hanya mencapai 24 persen suara, atau jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pemilih partai nasionalis yang mencapai 67 persen.

Irja’ politik
Tampaknya beberapa elite politik Islam masih terbuai dengan doktrin predestinarinisme (irja’) politik. Doktrin klasik yang muncul pada awal abad pertengahan, yang berusaha menanamkan kepatuhan dan kepasifan (quiteism). Quiteism tersebut dalam masyarakat Sunni menjadi sandaran untuk mengembangkan konsep masyarakat (ummat) dan pemimpin politik (imam). Basis fundamental tersebut kemudian ditanamkan secara teologis melalui hadist-hadist predestinarian, yang mendesakan tuntutan kesatuan ummat dibawah seorang pemimpin politik.
Secara lebih ekstrem, irja’ politik ini mencapai puncaknya dalam sebuah pernyataan idiologi politik yang memiliki prinsip sangat fundamental yang meminta umat masuk kedalam mayoritas dan percaya kepada pemimpin politiknya. Atau dalam sebuah tamsil digambarkan bahwa; Seandainya suatu ketika tidak ada mayoritas atau pemimpin politik tersebut, maka tinggalkanlah semua golongan itu (baca: golput) bahkan sekalipun kamu harus berpegang pada batang pohon sampai kematian menghampirimu.
Untuk melegitimasi kesatuan ummat dibawah kendali pemimpin politik itulah dihari kemudian kita kenal istilah ahl sunnah waljama’ah. Istilah sunnah dalam kalimat tersebut menurut Fazlur Rahman adalah untuk menggambarkan dirinya (mayoritas muslim).
Desakan wacana golput, haram golput, penerapan syari’at islam ataupun poros tengah jilid II merupakan imaji dan cita-cita besar yang mesti secara geneologis tidak secara pasti lahir dari doktrin klasik irja’ politik tersebut, namun paling tidak sejarah pernah mencatat bahwa imaji semacam itu pernah mencuat secara ekstrim, bukan untuk menyatukan ummat secara utuh, tapi untuk menggambarkan hasrat legitisme syi’ah dan universalisme khawarij, yang masing-masing merasa berhak menjadi pemimpin politik.
Irja’ politik dalam kondisi tertentu memang begitu efektif, seperti di Iran atau negara-negara Arab. Sedang irja’ politik ini tidak pernah menemukan karakteristiknya di Indonesia secara efektif. Ada seabreg alasan kenapa doktrin ini tidak berkembang secara luas dalam masyarakat Islam Indonesia, diantaranya:
Simaklah kategorisasi teoritis Clifford Geertz dengan mentrikhotomisasi ummat Islam; santri, priyayi dan abangan. Adanya trikhotomi tersebut tentu saja memberi gambaran, betapa sulitnya menyatukan cita-cita politik umat Islam.
Mayoritas ummat yang lebih banyak dihuni kaum abangan membuat kaum santri memilih untuk berpegang pada ranting yang dengan sangat mudah dapat membuat mereka terjatuh kedalam lubang hitam kesengsaraan. Sementara para elite yang bertengger diaras kekuasaan begitu enggan mengulurkan tangannya.
Atau coba renungkan temuan Oliver Roy yang menyebut kegagalan ummat Islam dalam kontestasi politik lebih disebabkan oleh perjuangan kalangan politik yang terlalu artifisial dan simbolik (The Failure of Political Islam, 1998).
Terlihat dari artefak sejarah perpolitikan Indonesia yang ditinggalkan, dimana perjuangan politik Islam tak kunjung keluar dari wacana Piagam Jakarta ataupun Perda-Perda Syari’at. Padahal ekspektasi masyarakat terhadap wacana tersebut tidak begitu besar, dibandingkan dengan ekspektasi terhadap wacana kesejahteraan ekonomi.
Dale F. Eickleman dan James Pisctasori secara lebih gamblang menggaris bawahi kegagalan para elite politik Islam sebagai akibat dari tidak adanya kesesuaian antara doktrin entah itu agama ataupun politik dengan aksi-aksi sosial dan politiknya. Sehingga tak heran bila wacana politik Islam di negeri ini hanyalah sebagai medan pertarungan dan pertaruhan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh kelompok agama, primordial dan kelompok pemodal.
Dan oleh karena itu janganlah lupa bahwa irja’ politik dalam tradisi sunni (mayoritas umat) Indonesia selain meniscayakan kepatuhan dan kepasifan (quiteism), tapi juga konformisme laissez faire, yang memberi ruang kebebasan kepada masyarakat untuk memilih dan melakukan apa yang mereka pilih.
Kepemimpinan politik dengan demikian menjadi sangat tergantung kepada legitimasi masyarakat secara rasional dan realistik baik melalui prinsip electoral college ataupun syura’. Sementara berbeda dengan tradisi yang ada dalam komunitas syi’ah yang meniscayakan legitimasi secara penuh meski tidak realistis dan rasional sekalipun.

Politik organik
Tak dapat dimungkiri bahwa ancaman terbesar umat saat ini adalah ancaman krisis sosial ekonomi. Namun seandainya para elite dan pemimpin politik tetap memelihara perilaku politik yang tidak realistis(merujuk konsepsi Habermas), maka ancaman krisispun niscaya juga akan melanda pada legitimasi kepemimpinan politik. Bila hal ini terjadi, maka yang ada hanyalah kefrustasian ummat.
Dalam titik puncaknya, meskipun reformasi terbukti telah cukup berhasil membuka keran kebebasan partai-partai politik berbasis Islam untuk berkontestasi dalam kepemimpinan bangsa, namun tetap saja mayoritas umat berada dalam kesengsaraan dan kefrustasian.
Karena keberhasilan perjuangan politik Islam meminjam ungkapan Muhammad Natsir bukan terletak pada kedudukan yang diraihnya, bukan pula terletak pada kemulusan melewati proses-proses demokrasi, tapi sejauhmana frekuensi pembelaan terhadap kaum mustadh’afin dilakukan.
Partai-partai Islam tak pelak dimasa yang akan datang, akan terus mengalami kegagalan bila hanya tampil dengan retorika dan jargon agama ansich, sementara miskin aksi sosial dan lebih rajin mengaborsi politik Islam menjadi sekedar alat kekuasaan.
Sebaliknya, semakin partai-partai Islam beserta pemimpin-pemimpin politiknya banyak menolong kesengsaraan umat (semakin organik), maka partai-partai Islam dan pemimpin-pemimpin politiknya akan semakin kuat legitimasinya.
Pada puncaknya, bila doktrin dan perjuangan partai-partai Islam semakin organik dan membebaskan maka hemat penulis, tanpa desakan golput, fatwa haram golput atau usulan poros tengah sekalipun, dengan sendirinya ummat akan bangkit-bersaksi, berlindung dibawah tenda besar politik islam.

Minggu, 21 Juni 2009

Aliansi Anti-Neoliberal dalam Pilpres 2009

Catatan visual, Analisis media, monograf, pengakuan dan riset-riset lapangan serta pengamatan atas Pemilihan Presiden 2009 akan menjadi mozaik yang sangat kaya mengenai tradisi elektoral dalam konteks demokratisasi di Indonesia.
Munculnya tiga pasangan kandidat yang memiliki haluan sangat berbeda terutama dalam isu sentral ekonomi, diprediksi akan menyajikan perang image yang sangat bertolak belakang (contrasting image). Seperti ditegaskan dalam prosesi deklarasi masing-masing Pasangan; JK-Wiranto yang lebih dulu mendeklarasikan dirinya menegaskan bahwa duetnya akan bekerja lebih cepat membangun kemandirian ekonomi bangsa. Capres Incumbent SBY, yang secara mengejutkan memilih Boediono sebagai cawapresnya, semakin menegaskan bahwa pasangannya akan terus melanjutkan arah kebijakannya selama ini (ekonomi pasar).
Sementara pasangan paling kontras yang menawarkan haluan ekonomi baru, yaitu Mega-Prabowo menegaskan, bahwa pasangannya akan berkomitmen secara penuh kepada Pancasila, kedaulatan ekonomi, berpihak pada wong cilik, petani, nelayan, guru, pedagang kecil, dan mereka yang sampai saat ini masih dalam keadaaan susah,

Gerakan Anti Neoliberal
Terlepas dari capres dan cawapres manakah dalam pemilu 2009 kali ini yang berhaluan; Neoliberal, Neososialis, atau gabungan dari keduanya, Kanan, tengah, kiri atau kiri-tengah. Diskursus gerakan anti neoliberal di negeri ini patut mendapatkan segudang catatan. Karena pertama, dan yang paling utama, sepanjang dekade 1990-an bahkan hingga era reformasi formula-formula neoliberal yang meski beberapa kali telah memporak-porandakan bangunan ekonomi pemerintahan, dikemudian hari tetap saja menjadi pilihan utama.
Dalam era mutakhir, neoliberalisme bahkan telah menjadi semakin ekstrem, namun juga menjadi istilah yang sangat licin. Misalnya; ekonomi pasar sering dianggap identik dengan neoliberalisme, atau privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal.. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal.
Titik ekstrem neoliberalisme yang lebih sering luput dari pengawasan dan kritik, karena lebih dianggap lahan yang memerlukan kreativitas adalah seperangkat aturan dan tata kelola yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem yang ciri utamanya berupa lahirnya hirarki prioritas; prioritas sektor financial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, bailout dan semacamnya (Herry Priyono, 2005).
Kedua, diskursus neoliberalisme, neososialisme, ekonomi kerakyatan atau apapun itu, lebih sering hanya menjadi jargon politik untuk melewati proses electoral semata. Dalam sejarah elektoral Indonesia terutama pasca runtuhnya new order, partai-partai politik yang bermunculan bak cendawan di musim penghujan bisa dikatakan doyan menjual jargon-jargon ekonomi kerakyatan yang dalam diskursus teori ekonomi tentu saja seharusnya bertolak belakang dengan neoliberalisme. Faktanya, setelah selesai melewati proses demokrasi, parpol-parpol pemenang selalu tidak mampu melawan desakan-desakan internasional. Contoh paling mutakhir tentu saja dapat kita saksikan dalam dinamika pemilu 2009 yang saat ini masih berjalan. Partai-partai politik yang jelas-jelas memiliki platform ekonomi yang bersebrangan dengan neoliberalisme tapi justru bergabung dengan aliansi ataupun koalisi kelompok yang dalam persepsi publik berhaluan neo liberal.
Ambiguitas tersebut memang tak hanya terjadi dalam proses demokratisasi di negeri ini, di Amerika Latin saja, dimana neoliberalisme telah menjadi momok dan musuh bersama (common enemy) perilaku tersebut tak luput dari pantauan publik. Salah satu pemimpin kunci gerakan chocaleros dan Deputi Parlemen Bolivia Evo Morales, malah mendukung presiden Carlos Mesa yang menerapkan kebijakan neoliberal guna memenuhi ambisi elektoralnya (menjadi presiden pada pemilu 2007).
Ketiga, diskursus anti neoliberalisme tidak memiliki basis gerakan sosial yang kuat layaknya di negara-negara Amerika Latin. Dalam beberapa dekade terakhir, serikat buruh, petani dan gerakan mahasiswa yang menjadi prototype dan personifikasi dari gerakan anti neoliberalisme memang semakin tidak berdaya.
Serikat-serikat pekerja yang didirikan untuk melindungi kepentingan mereka tercerai-berai, membuat identitas buruh pergi kelain arah menuju penyatuan ras, etnis dan gender. Para petani dibuat semakin tidak berdaya, digerus aturan tata kelola internasional melalui WTO. Sementara mahasiswa dan gerakan kaum muda lainnya juga semakin terjebak jurang pragmatisme.
Fokus gerakan kaum buruh, aliansi petani dan mahasiswa pun menjadi sangat terbatas pada isu-isu pekerjaan dan upah yang mendesak, biaya pendidikan dan harga komoditi pertanian, ketimbang tantangan politik yang lebih luas yang berdampak pada perjuangan nasional (semacam reformasi agraria).

Perubahan radikal
Melihat kenyataan tersebut, maka gerakan sosial-politik untuk apapun, atas nama anti neoliberal atau demi keadilan ekonomi, tampaknya akan menemui jalan terjal yang teramat sulit untuk dilewati. Mengingat bahwa, neoliberalisme telah menjelajah dan menghegemoni bangsa ini secara lebih dalam.
Permasalahannya kemudian tidak hanya sebatas problem pragmatis semata; anti asing atau tidak, pro-kerakyatan atau tidak dan pro-pasar atau tidak. Karena Neoliberalisme telah merasuk kedalam segala hal. Mulai dari pandangan kita terhadap dunia, alam, bahkan Tuhan sekalipun.
Kulminasinya, kerusakan alam, pemanasan global, revolusi seksualitas, termasuk tradisi berpolitik semakin menuju deret angka paling mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup umat manusia, makhluk hidup lain dan alam semesta.
Pada akhirnya, memang tidak ada upaya lain untuk mencegah proses neoliberalisasi yang melaju begitu ekstrem, selain dari perubahan yang radikal. Dan Pilpres 2009 merupakan salah satu momentum untuk memulai perubahan itu. Perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih adil dan manusiawi.