Senin, 24 November 2008

Soeharto Pahlawan bagi PKS versi Anis Matta?

SUMBER : DETIK.COM

Jakarta - Iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menempatkan mantan penguasa orde baru Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa mendapat reaksi dari sejumlah kalangan. Partai berbasis agama ini kemudian dituding sudah menjadi antek Soeharto. Akibatnya isu perpecahan pun melanda partai tersebut.

Asumsi ini berlandaskan perbedaan pendapat antara Presiden PKS Tifatul Sembiring dengan Sekjen PKS Anis Matta terkait iklan tersebut.

Tifatul merasa ada yang salah dalam iklan tersebut. Sebab sepengetahuannya, materi iklan yang dipresentasikan Anis Matta di hadapan dirinya, Selasa 4 November 2008, berbeda dengan iklan yang muncul di sejumlah televisi. Lagi pula, Tifatul kurang setuju dengan penempatan Soeharto sebagai pahlawan maupun guru bangsa.


Bagaimana dengan Sekjen PKS Anis Matta? Berikut petikan wawancara detikcom dengan Anis Matta melalui telepon:

Iklan PKS yang menyatakan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa banyak dikecam. Apa anda pendapat soal ini?
Saya kira wajar kalau ada yang mengkritisi iklan tersebut. Alasannya macam-macam. Tapi PKS tidak punya tendensi apa-apa selain ajakan untuk rekonsiliasi.

Tapi Presiden PKS Tifatul Sembiring mengaku ada yang salah dalam iklan tersebut. Mengapa demikian?

Itu masalah teknis saja. Sebab waktu materi iklan ditampilkan pada 4 November, di hadapan Presiden PKS serta dewan syura, suaranya belum ada. Karena memang baru berupa dummy.

Soal isu perpecahan di PKS bagaimana?Itu tidak benar. Karena hanya masalah teknis saja. Bukan gagasannya yang berbeda. Saya juga sudah bicarakan itu dengan Tifatul.

Tapi soal Soeharto yang dikatakan dalam iklan sebagai guru bangsa dan pahlawan apakah sudah disepakati di internal partai?

Tentu saja sudah. Sebelum keputusan menayangkan Soeharto sebagai bapak bangsa kami sudah melakukan survei tentang harapan masyarakat Februari 2008. Setelah dilakukan survei munculan nama Soeharto yang diusulkan sejumlah kader-kader di daerah.

Bagaimana dengan tudingan kalau Bang Anis sebagai antek Soeharto karena iklan tersebut?

Sekali lagi yang menempatkan Soeharto sebagai guru bangsa itu adalah hasil survei di daerah-daerah. Dan dari beberapa survei sebelumnya yang pernah dirilis sebuah lembaga, Soeharto menempati urutan pertama sebagai mantan presiden yang masih dicintai rakyat. Jadi kami menganggap penayangan Soeharto sangat tidak berlebihan.

Dan dari survei yang kami lakukan, sebagaian besar masyarakat menganggap reformasi tidak memberikan apa-apa kepada rakyat. Reformasi diartikan antitesa terhadap Orde Baru.

Jadi reformasi tersebut mirip-mirip orde lama. Misalnya dari banyak partai tapi gagal dalam pembangunan ekonomi. Sedangkan orde baru ekonominya stabil tapi demokrasinya yang gagal.

Dari situlah PKS ingin mengubah pandangan tersebut. Kami ingin mengajak semua komponen bangsa untuk melihat ke depan. Jangan lagi terjebak antara orde lama maupun orde baru. Untuk itu kita akan melakukan upaya rekonsiliasi demi kesejahteraan masyarakat.

Tapi apakah rekonsiliasi tersebut sebagai sebuah solusi untuk kesejahteraan rakyat?Dengan adanya rekonsiliasi kita bisa bahu-membahu membangun bangsa. Tidak lagi melihat dari orde mana atau partai mana. Yang penting masyarakat bisa disejahterakan.

Tapi gagasan rekonsiliasi itu kurang mendapat respon. Bagaimana?

Sejauh ini beberapa anak atau cucu dari tokoh-tokoh bangsa, sudah kami datangi. Mereka umumnya menyambut gagasan kami. Mudah-mudahan pertemuan antara keluarga tokoh bangsa ini bisa terlaksana.

Apa sebetulnya yang ada di benak Anis Matta?

Minggu, 23 November 2008

Realisme Politik PKS;


Tayangan Iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menampilkan sejumlah tokoh Bangsa, mulai dari KH. Ahmad Dahlan, Sudirman, Soekarno, hinggga Soeharto yang dianggap kontroversial mulai menarik perhatian masyarakat dan pengamat politik.
Bukan cuma karena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhak atau tidak untuk menampilkan beberapa tokoh tersebut, tapi juga karena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sadar betul akan nasihat politik yang berbunyi; ”Bila ingin besar, maka partai-partai Islam harus mulai memasuki wilayah tengah percaturan politik Indonesia, menjadi lebih terbuka. Dan sedikit mulai mengikis kesan lama sebagai partai islam yang ekslusif.”
Kenapa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berani mengambil langkah tersebut, padahal kita sama-sama tahu bahwa, meski dengan identitas lama pun sebetulnya PKS masih bisa sefenomenal pada pemilu 2004, dengan lonjakan jumlah suara hingga lima kali lipat, atau malah bisa lebih.
Tampaknya, PKS tidak hanya ingin dikenal sebagai partai yang fenomenal dan nyentrik karena simbol-simbol idiologis. Tapi PKS ingin lebih dikenal sebagai partai islam yang juga tidak dapat diragukan komitmen demokrasi dan kebangsaannya.

Standard Ganda
Seperti kita ketahui dalam sejarah politik islam kontemporer, telah cukup banyak partai-partai islam seperti PKS yang harus berusaha digagalkan kemenangannya secara tidak demokratis, atau malah berakhir dengan tragis. Sebut saja partai FIS di Aljazair, Hammas di Palestina, dan rezim Taliban di Afganistan.
Partai-partai tersebut dianggap; pertama, melahirkan totalitarianisme yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip HAM dan demokrasi ketika suatu saat mereka berhasil merebut kekuasaan. Kedua, keikutsertaan partai-partai islam dalam proses demokrasi dianggap memiliki tujuan ganda. Yang selain untuk merebut kekuasaan, juga untuk memaksakan nilai-nilai kepada warga negara.
Dan ketiga, partai-partai islam dianggap menyimpan bahaya radikalisme dan terorisme. Kekerasan yang terjadi dalam negara-negara islam dianggap sebagai akibat dari adanya pemaksaan nilai-nilai terhadap warga negaranya. Bila semakin banyak negara dikuasai partai-partai islam maka, bahaya terorisme akan semakin mengancam tidak saja hanya dalam negaranya, tapi bagi dunia.
Ketiga faktor tersebutlah yang juga dianggap menjadi penyebab partai-partai islam sulit untuk berkembang, selain juga memang karena ketidakmampuan partai-partai Islam dalam menerjemahkan tradisi politik klasik Islam dalam idiom-idiom politik modern.
Alih-alih menerjemahkan tradisi politik islam kedalam idiom modern yang demokratis, partai politik dan dunia islam malah membangun relasi yang tidak harmonis dengan demokrasi dan tatanan global. Terutama dengan munculnya kekrasan dan terorisme yang meresahkan.

Islam Moderat

Disinilah signifikansi dibalik tayangan iklan yang kontroversial tersebut, Partai keadilan Sejahtera (PKS) lewat tayangan tersebut sebetulnya sedang berusaha menata latar, teknik, enggel dan peranti drama politik yang mengusung tema bergenre islam moderat. Yang diawal tulisan ini disebut sebagai wilayah tengah. Sebuah aliran politik modern yang mencoba keluar dari paradigma ”behind right and left.”
Dalam khazanah pemikiran politik islam, genre ini sebetulnya tidak terlalu asing. Bahkan telah menjadi tema utama, dan rasanya akan sangat sulit menemukan ulama, fuqaha maupun filosof islam yang tidak pernah menyebut idiom-idiom moderatisme ini.
Imam Ghazali yang dikenal sebagai pengecam rasionalisme, dalam nasihah al-mulknya secara lebih gamblang meramu konsep mizan (yang secara harfiah berarti neraca) atau keseimbangan (I’tidal).
Dalam realitas mutakhir, konsep-konsep tersebut kemudian kita kenal dengan tradisi politik yang menekankan etika dan kebijaksanaan plus perhitungan rasional dalam urusan-urusan politik (realisme politik).
Konsep I’tidal meyakini bahwa kebenaran harus diinterpretasikan dan diberlakukan melalui akal. Sedang konsep mizan yang merujuk pada neraca pedagang; adalah metode untuk menghitung neraca keadilan.
Konsep mizan dan I’tidal sangat berhubungan dengan jalan tengah diantara dua kutub, yang dianggap sebagai ciri kebijaksanaan dalam islam. dengan demikian kedua konsep ini merupakan lawan dari liberalisme maupun fundamentalisme.
Moderatisme, demikian kira-kira kita sematkan kepada konsep-konsep tersebut. Genre politik yang mulai dijajaki oleh Partai keadilan sejahtera (PKS) bukan saja sejak ditayangkannya iklan kontroversial tersebut, tapi sudah sejak Mukernas Bali bulan Januari 2008 lalu.
Moderatisme, demikian juga kiranya yang dijadikan landasan ketua Masjlis Syuro PKS ketika berkomentar tentang eksekusi Amrozi. Menurutnya; ”radikalisme bukanlah jalan islam.”
Akhirnya kita hanya bisa berharap, agar lompatan quantum ini tidak hanya dilakukan oleh PKS. Tapi juga dilakukan oleh partai-partai islam, ormas, dan kelompok lainnya. Sehingga kedepan kita dapat melihat sebuah tatatan masyarakat yang tertata secara lebih baik, bangsa yang lebih bermartabat dan pergumulan global yang lebih manusiawi.