Jumat, 27 Maret 2009

Tragedi Situ Gintung


jum'at pagi dinihari, sekitar jam dua pagi tanggul situ gintung jebol dan meluluhlantahkan sekitar 300-an perumahan warga. sampai berita ini ditulis, korban yang meninggal sudah mencapai 65 orang. 35 orang diantaranya merupakan mahasiswa Universitas Muhammdiyah Jakarta(UMJ) yang kebetulan kos di sekitar cekungan tepat dibawah tanggul situ intung tersebut.
Situ Gintung, sebuah kawasan wisata air yang tenang, nyaman tersebut seperti menyimpan kemarahan yang amat dahsyat. seperti diketahui, Situ gintung yang saat ini telah menjadi wilayah Tangerang Selatan tersebut, merupakan waduk penampungan air satu-satunya yang ada disekitar cirendeu. Pembangunan yang sporadis dan carut-marut disekitar ciputat telah membuat situ gintung harus menampung semua air yang sebelumnya tidak mampu diresap dikawasan ciputat. kenapa demikian; karena daerah resapan air disekitar ciputat dan cirendeu tersebut telah disulap menjadi kawasan perumahan, pertokoan, gedung pemerintahan dan juga kontrakan-kontrakan yang menampung mahasiswa UIN, UMJ, STIBA, IIQ dan kampus-kampus lainnya. Tragedi Situ gintung, dengan demikian seharusnya mengingatkan kita, khususnya wara ciputat dan cirendeu, betapa kita sanat tidak peduli dengan keadaan lingkungan.

Kamis, 19 Maret 2009

Keindahan Fantasi Cinta



(Al Muktashim)


Riuh... ramai... gaduh... dan penuh kegembiraan
Taman hati berwarna warni
Panggung rumah paru-paru berdiri kokoh
Kolam cinta mengalir indah keawan kasih

Badan terasa sejuk...
Segar tak terkirakan
Rumput selaput nadi bergoyang lembut
Di tiup angin cinta sejati

Burung camar jantung menukik pelan
Hinggap di pohon tulang iga putih
Matanya melihat kearah taman hati
Pandangannya terpesona oleh pemandangan cantik

Bidadari cinta dan pangeran kasih sayang
Bersenda gurau diangan yang tinggi
Hati pun gembira...
Jiwa pun lega...

Ya Allah...
Abadikan keadaan ini
Agar menjadi pedoman
Bagi hati yang saling menyatu

Mentari sanubari tersenyum riang
Alam jiwa bergembira ria
Serentak...
Jiwa0jiwa riang berdansa di sekitar taman hati
Oooh...
Indahnya fantasi cinta

Too Big to Fail


Siapa yang rela bila uang pajak digunakan untuk membantu perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Siapa pula yang suka dengan pemerintah yang terlalu ikut campur dalam perekonomian yang sedang dilanda krisis. Satu sisi campur tangan tersebut dianggap sebagai bantuan bagi para investor kaya yang melakukan kesalahan perhitungan. Sisi lain dalam kaca mata ekonomi pasar, campur tangan pemerintah merupakan sebuah kekeliruan.
Namun situasinya tentu menjadi berbeda, kegagalan pasar ternyata tidak hanya dialami oleh pemerintahan yang terlalu berkuasa dari rezim intervensi pasar. Tapi kegagalan akhirnya juga dialami oleh pemerintahan yang terlalu mengandalkan pasar (rezim pasar bebas).
Dalam situasi yang semakin dramatis tersebut, muncul fakta-fakta dengan visi yang sarat kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi pasar bebas tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana talangan (bail out) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), atau Emergency Economic Stabilization Act di AS baru-baru ini.
Demikian pula perlakuan pemerintah terhadap komunitas usaha kecil dan menengah, dalam kondisi normal ranah ini seakan diabaikan, tapi coba lihat tatkala perekonomian skala besar ambruk, ranah ekonomi kecil dan menengah ini diagung-agungkan sebagai penyelamat keterpurukan.
Kondisinya menjadi semakin dramatis karena dari beberapa potensi kebangkrutan tersebut, terkuak skandal perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa. Tentu masih segar dalam ingatan bila runtuhnya rezim soeharto setelah hampir 32 tahun berkuasa, disebut-sebut karena ketidak mampuannya untuk menyelamatkan assset-asset komunitas bisnis yang mendukung kekuasaannya.
Begitu pula dengan kekalahan partai pendukung George W. Bush dalam pemilu As, ditengarai sebagai kegagalannya dalam menjamin kepentingan para konglomerat yang berada dibelakangnya.

Tangan “Tuhan” di Balik WTO; Swasembada Tanpa WTO


Lee Kyung Hae, memiliki cara yang dramatis untuk menyuarakan penolakannya terhadap apa yang Ia nilai sebagai pembawa bencana; pasar bebas. mantan Ketua Federasi Petani Korea Selatan ini menusukan tubuhnya pada barikade baja di tengah aksi unjuk rasa petani dari berbagai negara pada pembukaan Konferensi Tingkat Mentri (KTM) V WTO di Cancun, Meksiko, 10 September 2003. Kenapa begitu, karena bagi Lee pembicaraan mengenai liberalisasi perdagangan dalam produk pertanian merupakan awal dari sebuah malapetaka yang bakal dialami para petani terutama di negara-negara berkembang (F. Juliyantono, 2007).
Bila kita runut sekilas proses awal malapetaka itu, barulah terasa bagaimana satu persatu ketahanan pangan negara-negara berkembang semakin berada pada titik nadir, pertanian rakyat seperti produk pangan mengalami levelling off dan akhirnya dilucuti satu persatu. Sekali lagi dilucuti, karena prosesnya mirip dengan pemiskinan sistematis dan bukan semata karena market failure yang selama ini didengungkan para pemuja pasar bebas.
Karena market failure pada dasarnya hanyalah istilah teknis yang menggambarkan ketidakmampuan pasar dalam menciptakan efisiensi secara maksimum. Sementara apa yang tadi kita sebut sebagai biang malapetaka, merupakan pengertian yang tidak hanya menyangkut permasalahan teknis tapi juga moral-struktural.
Maka atas dasar inefisiensi dan market failure yang terjadi dalam sistem pasar, dibentuklah beberapa lembaga multilateral seperti World Bank, IMF dan tentu saja WTO sebagai pelaksana teknis kampanye liberalisasi pasar.
Sekilas, tidak ada yang ganjil dengan kampanye lembaga-lembaga multilateral tersebut, bahkan resep-resepnya semakin favorit dikalangan negara-negara berkembang, karena diyakini sebagai obat mujarab untuk mengatasi ketertinggalan dan meningkatkan kesejateraan rakyatnya.
Tapi lihatlah secara lebih seksama, bagaimana sedikit-demi sedikit (slowdown) perekonomian negara-negara berkembang tersebut mulai rapuh dan jatuh tak berdaya. Sampai akhirnya malapetaka itupun datang, menggerogoti, melucuti dan menghancurkan ketahanan pangan domestik. Jalan cerita yang kira-kira sama dengan yang dialami Indonesia, negara Agraris yang telah mulai menjadi bangsa pengemis.
Tepatnya, malapetaka tersebut dimulai sejak Indonesia meratifikasi dan mempertegas komitmen liberalisasi perdagangan komoditi pertanian sesuai dengan Agreement of Agriculture (AoA) yang tertuang dalam UU No 7 tahun 1994. AoA adalah salah satu pakta Internasional World Trade Organization yang dihasilkan melalui serangkaian perundingan dalam putaran Uruguay dari General Agrement on Tariffs and Trade (GATT). Mulai saat itulah, Indonesia berlangganan resep kepada rezim WTO.
Sejak saat itu pula, satu persatu ketahanan pangan kita mulai terkoyak-koyak. Diawali dengan krisis pupuk dan beras tahun 1998 yang menjadikan Indonesia untuk pertama kalinya menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Diikuti juga dengan hancurnya produksi susu domestik pada tahun 2006.
Gula dan kapas nasibnya tidak jauh berbeda, dan yang baru-baru ini turut memporak porandakan ketahanan pangan kita, krisis kedelai dan daging sapi yang tidak hanya melahirkan sentimen pasar yang negatif tapi juga semakin menyengsarakan masyarakat.
Kembali, pemerintah tampak tak berdaya, dan lagi-lagi jalan impor-pun ditempuh guna menjaga ketersedian pangan domestik. Kebijakan tersebut tentu saja mengherankan; kenapa krisis dan kelangkaan pangan di pasar domestik selalu diatasi dengan impor yang jelas-jelas semakin menghancurkan para petani kita?. Sementara itu, meskipun sejumlah kalangan menuntut segera ditetapkannya subsidi dalam produksi pertanian, pemerintah tetap tak bergeming dan memilih tetap diam dalam ketidakberdayaannya.
Realitas ketahanan pangan yang telah mulai porak-poranda, benar-benar telah semakin menguatkan keyakinan; betapa rumitnya mengatasi persoalan yang menimpa pertanian kita di negri ini. Permasalahannya ada hampir disemua lini, dari hulu hingga hilir, lokal dan bahkan terkait secara global.
Betapapun para analis ekonomi dan NGO melantunkan kidung subsidi ke seantero negri dengan suara lantang. Meskipun lyrik dan teriakan anti posmodernisasi dan globalisasi ”Sytem of Down” band asal Armenia membahana hingga ke negri ini. Walaupun para petani berteriak dan menangis hingga suara mereka lenyap (voice of the voiceless) ditelan hiruk-pikuk materialisme. Niscaya lyrik-lyrik yang ditoreh sang Presiden SBY akan tetap miskin kosa kata Subsidi.
Kenapa, karena kidung subsidi terlalu sakral untuk dilantunkan, apalagi untuk disalurkan. Bagaimana tidak, subsidi atau apa yang oleh para pemuja liberalisasi pasar disebut dengan istilah domestic support merupakan pilar dan senjata utama WTO untuk melancarkan agenda perdagangan bebas negara-negara maju, sementara menghancurkan perdagangan produk pangan negara miskin dan berkembang.
Dalam AoA struktur dukungan domestik dibagi menjadi tiga kategori yang disebut dengan”kotak-kotak” (Boxes). Kotak-kotak tersebut adalah Kotak Hijau (Green Box), Kotak Kuning (Amber Box) dan Kotak Biru (Blue Box).
Bentuk dukungan domestik yang termasuk dalam Green Box dan dikecualikan untuk dikurangi adalah diantaranya pelayanan umum, stok penyangga pangan dan bantuan darurat. Yang termasuk dalam Amber Box adalah semua dukungan yang digolongkan bisa mendistorsi perdagangan hingga harus dikurangi sesuai komitmen, inilah yang menyengsarakan kita. Sementara yang termasuk Blue Box adalah apa yang sering kita terima sebagai Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang tidak dilarang dan dikurangi, karena tidak menambah produksi, artinya tidak banyak berpengaruh bagi petani.
Apa yang terjadi pada produksi beras, susu, pupuk, gula, kapas, kedelai dan daging sapi yang kian hari kian langka dan mahal adalah sejumlah ekses yang timbul karena sejumlah komitnen yang ada dalam draft AoA, yang mengharuskan dikuranginya sejumlah subsidi proses produksi, ekspor dan impornya. Termasuk perubahan status Bulog yang tidak lagi memiliki hak atas tata niaga dan monopoli pasar.
Dampak terburuk dari sejumlah komitmen tersebut adalah inefisiensi dan market failure, saat itulah negara-negara maju terutama AS melalui WTO mulai memainkan perannya sebagai tabib pembawa resep mujarab, berbondong-bondong masuk dan menggerogoti pasar domestik. Akhirnya, pintu import-pun terbuka lebar dan dengan syarat administratif yang minimalis. Menguntungkan para korporasi pertanian besar, sementara menghancurkan para petani kecil kita.
Entah, atas dasar apa resep-resep tersebut begitu disukai para pengidap penyakit yang terdiagnosa inefisiensi dan market failure. Mungkinkah—seperti dugaan Ibu Siti Fadilah Supari—karena adanya ”Tangan Tuhan” di balik WTO .

HAL-HAL YANG DIHINDARI DALAM EKONOMI ISLAM



o Gharar (ketidakpastian)
o Maisir (judi/untung-untungan)
o Riba (bunga)

Investasi haram pada sistem dan prosedur
o Pencurian
o Mempermainkan harga
o Penipuan
o Perjudian
o Menimbun barang

Investasi haram pada produk dan jasa
o Perzinaan dan prostisusi
o Pornografi dan seni keindahan tubuh
o Riba
o Khamar (minuman keras, narkotika, dan zat adiktif lainnya)
o Makanan haram
o Industri senjata

Egoisme Pasar Bebas


Sejak awal dekade 90-an hingga saat ini, Amerika memacak dirinya sendiri sebagai suri tauladan dalam berbagai hal termasuk soal kemajuan ekonomi. Maka tak heran bila setiap analisa soal permasalahan ekonomi global harus dimulai dengan membahas perekonomian Amerika.
”Read My Lips!”, demikian mantera yang dipakai Bush Junior untuk mulai menghipnotis negara-negara lain agar mereka merujuk Amerika mengenai keseimbangan antara pasar dan pemerintah, serta berbagai lembaga keuangan dan korporasi agar sebuah perekonomian pasar berjalan dengan baik.
Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika pasar Asia dan Amerika Latin terperosok kedalam jurang krisis ekonomi akhir dekade 90-an. Amerika lewat IMF dan bank dunia dengan pongahnya menyerukan; liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Dalam beberapa saat, perekonomian memang sempat terkoreksi tapi krisis itu ternyata meluruh untuk kemudian kembali melonjak. Karena resep yang diberikan tersebut teryata hanyalah sekedar penghilang rasa sakit, sedangkan asal muasalnya tetap ada dan kembali tumbuh.
Kini penyakit itu kembali meradang, tidak hanya membuat sakit kepala sebelah tapi sudah bisa dirasakan oleh seluruh bagian anggota tubuh yang selama ini turut membangun sendi-sendi perekonomian.
Amerika dan sejumlah negara Eropa yang mengekor kepadanya saat ini bahkan harus menelan ludahnya sendiri, karena harus mengambil resep yang sebelumnya telah mereka anggap sebagai resep najis dari rezim intervensi pasar.
Pasca ditandatanganinya Emergency Economic Stabilization Act di As, demikian juga dengan Troubled Asset Recovery Program (TARP) sebuah badan ekonomi perbankan yang mirip BPPN, hampir semua analis ekonomi meneriakan upaya penyelamatan oleh pemerintahan baik intervensi maupun subsidi. Tentu saja sebuah kebijakan yang tidak diharapkan siapapun bukan?

Komunitas Bisnis
Disinilah masalah terbesar dari bail out atau insentif apapun untuk menyelamatkan Komunitas Bisnis. Ketika ekonomi mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perekonomian, yang merasakan keuntungannya adalah para pelaku bisnis keuangan. Lalu disaat ekonomi mengalami peluruhan akibat kerakusan dan kesalahan perhitungan para investor, semua orang harus ikut menanggungnya.
Bayangkan saja, 600 triliun rupiah digelontorkan pemerintah untuk mem-bail out sejumlah bank dalam krisis Indonesia ’98. Sedang untuk krisis yang menimpa As, diperkirakan sampai pada kisaran satu triliun dollar As; 700 milyar dollar untuk bail out dan sisanya untuk mengatasi krisis subprime mortage. Bandingkan dengan dana yang menetes dari gelembung ekonomi tersebut untuk orang miskin.
Di negara lain yang mengekor kepada As bahkan lebih mencengangkan lagi, dimana kepatuhan kepada sektor finansial dan kekuatan bisnis korporasi lebih besar ketimbang di As sendiri, pandangan komunitas bisnis korporasi bahkan bisa mendikte beberapa kebijakan, regulasi dan bahkan hasil pemilu sekalipun. Sebuah fenomena yang juga bisa disaksikan di Indonesia bukan?
Jadi tidak usah heran bila pertarungan dalam pilkada, dan pemilu yang telah dan segera akan kita jalani di Indonesia ternyata sudah bukan lagi pertarungan antara ide dan gagasan, tapi merupakan pertarungan kepentingan beberapa korporasi untuk menguasai pasar. Meskipun dibalut dengan drama pertentangan antara yang setuju dengan pasar bebas seperti rezim pemerintahan sekarang (sebut saja Bukaka dan Bakrie Brother’s), dengan beberapa pihak yang menyatakan sebagai oposisi yang lebih menekankan keadilan sosial, sebut saja PDIP, PKB, PKS dan PAN. Padahal, kekuatan yang ada dibaliknya tentu saja adalah kekuatan komunitas bisnis korporasi juga, sebut saja diantara yang menonjol adalah Tauifik Kemas, Arifin Panigoro dan Sutrisno Bahir (Fadjroel Rahman, 2007).

Mantera Korporasi
American Dream ala cerita Horatio Alger ’dari gembel menjadi kaya’ atau kisah perjuangan mengejar kebahagian (The Persuit Happines) ala Will Smith dengan menjadi pialang saham yang terinspirasi dari semangat Thomas Jefferson ternyata hanyalah tinggal mithos.
Karena alih-alih menumbuhkan semangat kebebasan untuk berjuang dalam membangun ekonomi (Development as Freedom) sebagaimana kata Milton Friedmen, keduanya malah dijadikan legitimasi untuk membenarkan pencapaian kekayaan meski dengan akal-akalan akuntansi dan skandal korporasi sekalipun.
Skandal Enron, Wordcom, Adhelphia atau Hedging Indosat sekalipun hanyalah kasus-kasus yang paling mencolok dan banyak diberitakan media. Perusahaan-perusahan tersebut sama sekali tidak memiliki energi dan kreativitas yang memadai untuk menciptakan produk dan layanan-layanan baru. Yang ada hanyalah inovasi dan cara-cara baru untuk meningkatkan pendapatan para CEO perusahaan dengan memanfaatkan kelengahan para investor(Stiglitz, 2003).
Stock Options, atau hak opsi saham adalah salah satu praktik korporasi yang selama ini telah menjadi mantera paling mujarab untuk menggelembungkan pendapatan perusahaan. Dengan praktek transaksi derivatif ini, laba perusahan korporasi bisa bertambah atau malah berkurang sepertiga, bahkan setengahnya.
Bila Microsof pada tahun 2001 membakukan laba perusahaan sebesar AS$ 7,3 Miliar, dan nilai opsi sahamnya dihitung maka sepertiga labanya bisa berkurang. Laba Intel bisa dipotong sampai seperlima bila nilai hak opsinya dihitung, dari AS$ 1,3 Miliar menjadi AS$ 254 juta. Dan kerugian Yahoo akan meningkat sepuluh kali lipat dari AS$93 juta menjadi AS$ 983 juta. Lalu, berapa kira-kira laba yang dibakukan Group Bakrie, Adaro, Ciputra maupun Indosat bila nilai opsinya dihitung?. Entahlah yang jelas, nilai kapitalisasi Grup Bakrie saja menurut perdagangan saham pada 6 Oktober 2008 tinggal 71 Triliun, menyusut sekitar 200 triliun.
Pasar bebas, yang telah melahirkan mithos berupa mantera-mantera korporasi memang menjadi sangat egois ketika dikendalikan sejumlah komunitas bisnis dinegara-negara maju terutama di negri Paman Sam sana. Bila prinsip pasar bebas tetap kita pegang, alasan apapun sebetulnya tidak bisa diterima ketika tangan-tangan yang tidak terlihat sebelumnya justru secara tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk memberikan sejumlah insentif.
Tapi pada akhirnya siapapun pasti setuju dengan Albert Hirschman bahwa kita sedang berada dalam episode lain dari apa yang disebut dengan Shifthing Involvements. Bahwa setiap bagian yang menekankan arti penting keadilan publik akan disusul oleh keserakahan individu, lalu kemudian kembali pada arasnya semula...semoga.

10 NEGARA MAYORITAS MUSLIM DENGAN NILAI INDEKS KELAPARAN TERTINGGI

1. Eritrea
2. Niger
3. Sierra Leone
4. Chad
5. Yaman
6. Komoro
7. Guinea-Bissau
8. Mali
9. Tajikistan
10. Bangladesh

Sumber: adaptasi dari Global Hunger Index, International Food Policy Research Institute, 2008

Kiat Menulis di titik Nol


Syarat utamanya adalah kita harus rajin membaca,
Bisa dari Buku ; Jurnal ; Majalah ; Artikel ; Koran, Website dan lainnya, tujuannya adalah agar kita bisa memiliki banyak ide. Bahan lainnya mungkin sebagian besar berasal dari apa yang sudah ada dan melekat didalam benak kita, tapi mungkin saja masih banyak yang masih kurang tentunya. Bisa dari pengalaman, atau pembacaan terhadap fakta-fakta sosial, atau bahkan malah dari hasil penelitian.

Memilih judul
Judul yang menarik bisa menjadi sebuah pancingan, agar redaktur tergerak untuk melihat tulisan kita, dan orang lain menjadi tertarik untuk membaca. Judul sebuah artikel sebaiknya dibuat pendek, satu sampai empat hurup. Bila terlalu panjang malah membuat pembaca atau malah redaktur malas untuk meneruskan bacaannya. Selain membuat orang menjadi semakin penasaran, judul yang pendek dan menarik juga menunjukan kepiawaian sei penulis dalam bersilat kata.

Memilih tema atau topik ?
Secara umum memilih tema atau topik, bisa kita ambil berdasarkan sesuatu hal yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan dan jadi pembahasan di masyarakat. Bisa juga dari Headline Media atau tajuk media, atau sering-seringlah mampir disitus media asing seperti New York Time, Washington Post atau malah Pesantren Virtual, Al-jazera dll. Sehingga artikel yang kita buat jadi lebih mendapat perhatian dari redaktur maupun pembaca. Ambillah tema atau topik yang paling kita kuasai, supaya isi pembahasannya menjadi lebih baik.

"Referensi"
referensi itu bisa kita ambil dari Buku ; Jurnal ; Majalah ; Artikel ; Koran dan lain sebagainya yang tentunya berhubungan erat dengan judul tulisan atau topik yang akan kita bahas. Tapi, kita juga tidak boleh serta merta mengcopy paste dari apa yang tertera di buku atau di artikel orang lain dengan begitu saja. Baca terlebih dahulu secara keseluruhan, kemudian kita pahami lagi. Walaupun sebenarnya di dalam pikiran kita juga sudah dapat menjelaskannya dengan gamblang, karena sebenarnya kita sudah memahaminya

Perlu memahami lebih banyak kosa kata atau perbendaharaan kata, agar tulisan kita jadi enak dibacanya dan tidak menjemukan pembacanya. Penguraian atau penjabarannya dalam bentuk kata-kata serta susunan kalimatnya. Bacalah buku-buku sastra, novel, cerpen yang renyah dan penuh kata-kata, satu lagi tentunya kamus bahasa Indonesia.

Gunakanlah gaya bahasa kita sendiri dan tuliskan juga pendapat pribadi yang mungkin berbeda dengan apa yang sudah pernah orang lain tulis (new idea). Maka hasil penguraian atau penjabaran kita itu tadi, bukan lagi disebut jiplakan atau copy paste, tapi sudah merupakan pemahaman secara tertulis dari hasil pemikiran diri kita sendiri, walaupun urutan penguraiannya (teori penyusunannya. Tapi hati-hati jugalah kalau menulis tentang sesuatu yang sudah ditulis orang, bisa-bisa seperti kasusu Coldplay dan Joe Satriani yang sampai ke pengadilan, gara-gara lyrik yang ditulis Coldplay dianggap menjiplak.

Pada alinea terakhir, jangan lupa buatlah suatu kesimpulan sendiri dari tulisan tersebut.


Basis dan Topik Tulisan
Seperti yang sudah disinggung di pada tip sebelumnya, tulisan opini adalah berupa tanggapan dari fenemona yang lagi tren saat ini. Dalam konteks tulisan opini di koran, maka tulisan yang perlu kita tanggapi adalah sebagai berikut:
1. Isi Editorial/Tajuk sebuah media.
2. Headline/Berita utama sebuah media.
3. Tulisan opini.
4. Hari besar Nasional dan Internasional

Siapapun yang ingin jadi penulis/pengamat hendaknya tidak pernah melewatkan tiga poin pertama di atas setiap kali membaca sebuah koran. Dan selalu mengingat poin ke empat.(1) Tanggapan Editorial/Tajuk sebuah media adalah suara atau sikap resmi dari media yang bersangkutan tentang sebuah kasus/kejadian tertentu; sesuai dengan misi media tsb. Menanggapi editorial/tajuk di harian Kompas tentu saja berbeda dengan cara kita menanggapi editorial di harian Republika, misalnya. Umumnya menanggapi tulisan editorial/tajuk harus cepat. Idealnya, tanggapan untuk tajuk/editorial hari ini dapat dikirim hari ini juga sehingga dapat dimuat esok harinya di media terkait. Namun, kalau tanggapan kita baru selesai dalam dua hari, teruskan dikirim ke media terkait, karena peluang untuk dimuat masih tinggi terutama untuk media yang tak sebesar Kompas.(2) Tanggapan Headline Media/Berita Utama juga bisa dijadikan pijakan untuk menulis. Jangan lupa untuk mencatat nama media/tanggal/bulan headlines yang kita kutip.
(3) Tanggapan Artikel Opini. Artikel opini dikenal juga dengan istilah artikel OP-ED (singkatan dari opini-editorial). Umumnya artikel OP-ED yang menanggapi artikel OP-ED lain berisi tambahan yang lebih lengkap dari yang dibahas sebelumnya atau menentang artikel yang ditanggapi.
(4) Hari besar nasional/internasional adalah tulisan yang isinya berkaitan dengan hari besar pada saat itu. Contoh, pada sekitar 21 Januari mendatang adalah Hari Raya Idul Adha. Siapkan sejak sekarang tulisan yang berkaitan dengan hari idul adha. Dan kirimkan segera ke media sebelum hari H.
Catatan: Umumnya kita mengirim tulisan yang berdasarkan tanggapan atas Editorial atau Headlines pada media yang kita tanggapi. Contoh, tanggapan Editorial/Headlines di Kompas hendaknya dikirim ke Kompas, tidak ke media lain. Namun kalau tidak dimuat di media terkait, tak ada salahnya dikirim ke media lain. Sedangkan untuk artikel OP-ED yang berkaitan dengan hari besar nasional/internasional dapat dikirim ke media mana saja.






1. Panjang tulisan antara 700 sampai 1000 kata *. cara melihat jumlah kata: MS WORD –> tools–> wordcount —> words
2. Kirim ke media via email dalam bentuk MS WORDS via attachment.
Alamat Media Nasional:
1. Republika:
Redaksi : redaksi@republika.co.id
Sekretariat Redaksi : sekretariat@republika.co.id

2. Kompas:
(1) opini@kompas.com
(2) opini@kompas.co.id

3. Media Indonesia
redaksi@mediaindonesia.co.id
4. Suara Pembaruan
koransp@suarapembaruan.com
opinisp@suarapembaruan.com
5. Sinar Harapan
(1)redaksi@sinarharapan.co.id
(2)info@sinarharapan.co.id 6. Harian Pelita
hupelita@indo.net.id.
6). Jawa Pos
(1) editor@jawapos.com
(2) editor@jawapos.co.id
8. Suara Karya
redaksi@suarakarya-online.com
9. Koran Tempo
ndewanto@mail.tempo.co.id
10. Majalah Tempo
hidayat@mail.tempo.co.id




Media Daerah Sumatera
1. Waspada (Medan)
(1) redaksi@waspada.co.id
(2) waspada@waspada.co.id
2. SIB - Suara Indonesia Baru (Medan)
redaksi@hariansib.com
3. Batam Pos
redaksi@harianbatampos.com
4. Serambi Indonesia (Aceh)
(1) redaksi@serambinews.com
(2) serambi_indonesia@yahoo.com
5. Sriwijaya Post (Palembang)
(1) sripo@persda.co.id
(2) sripo@mdp.net.id
Media Daerah Jawa
1. Pikiran Rakyat (Jawa Barat)
beritapr@yahoo.com
berita@pikiran-rakyat.com
redaksi@pikiran-rakyat.com
info@pikiran-rakyat.com
2. Suara Merdeka (Jawa Tengah)
redaksi@suaramer.famili.com
3. Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta)
redaksi@kr.co.id
4. Koran Bernas (Yogyakarta)
koranbernas@yahoo.com
5. Harian Surya (Jawa Timur)
surya1@padinet.com
6. Harian Duta Masyarakat (Jawa Timur)
dumas@sby.centrin.net.id
7. Surabaya Post (Jawa Timur)
redaksi@surabayapost.info
admin@surabayapost.info

BANK-BANK SYARIAH YANG PERTAMA DIDIRIKAN

MESIR
Mith Ghamr (1963-1967) (tanpa embel-embel Islam)
Nasser Social Bank (1971) (tanpa embel-embel Islam)
Faisal Islamic Bank of Egypt (1977)

FILIPINA
Philippine Amanah Bank (1973)

ARAB SAUDI
Islamic Development Bank (1974) (didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam)
Al-Baraka Investment and Development Company (1982)
Al Rajhi Banking and Investment Corporation (1988)

UNI EMIRAT ARAB
Dubai Islamic Bank (1975)

KUWAIT
Kuwait Finance House (1977)

SUDAN
Faisal Islamic Bank of Sudan (1977)

YORDANIA
Jordan Islamic Bank for Finance and Investment (1978)

BAHRAIN
Bahrain Islamic Bank (1979)

LUXEMBURG
Islamic Finance House Universal Holding SA (1979)

SIPRUS
Faisal Islamic Bank of Kibris (1982)

BANGLADESH
Islamic Bank Bangladesh (1983)

DENMARK
Islamic Bank International of Denmark (1983)

GUINEA
Banque Islamique de Guinee (1983)

IRAN
Semua bank di Iran diharuskan mengikuti prinsip Islam sejak 1983.

MALAYSIA
Bank Islam Malaysia Berhad (1983)

NIGER
Banque Islamique du Niger (1983)

QATAR
Qatar Islamic Bank (1983)

SENEGAL
Banque Islamique du Senegal (1983)

TUNISIA
Bank al-Tamwil al-Saudi al-Tunisi (1983)

MAURITANIA
Al-Baraka Islamic Bank (1985)

TURKI
Al-Baraka Turkish Finance House (1985)

AMERIKA SERIKAT
Lariba American Finance House (1987)

AFRIKA SELATAN
Albaraka Bank (1989)

DJIBOUTI
Banque Albaraka Djibouti (1989)

INDIA
Albaraka Finance House (1989)

ALJAZAIR
Banque Al Baraka D’Algerie (1991)

BRUNEI
Perbadanan Tabung Amanah Islam (1991)

INDONESIA
Bank Muamalat Indonesia (1991)

ALBANIA
Arab Albanian Bank (1992)

LIBANON
Al Baraka Bank Lebanon (1992)

IRAK
Iraqi Islamic Bank for Investment and Development (1993)

GAMBIA
Arab Gambian Islamic Bank (1994)

KAZAKHSTAN
Lariba Bank (1995)

YAMAN
Tadhamon Islamic Bank (1996)
Yemen Islamic Bank for Finance and Investment (1996)

PAKISTAN
Meezan Bank (1997) (namun sejak 1985, semua bank Pakistan sudah tidak memakai sistem bunga)

RUSIA
Badr Bank (1998)

INGGRIS
Islamic Bank of Britain (2004)

SWISS
Faisal Private Bank (2006)