Kamis, 28 Februari 2008

Religiusitas Kosmik; Membangkitkan kesadaran Ekologis

BEBERAPA tahun yang lalu tepatnya setelah SBY-Kalla terpilih dalam pemilihan umum yang paling demokratis sepanjang sejarah, banyak orang berdecak kagum dan mulai tumbuh mimpi dan harapan baru tentang masa depan. Namun tak lama setelah itu, tiba-tiba muncul berbagai macam bencana dan malapetaka yang melanda. Mulai dari banjir bandang, badai la nina, tanah longsor, gunung meletus hingga yang terdahsyat tsunami yang merenggut ribuan nyawa manusia.
Sontak, orangpun balik berpikir dan malah langsung memvonis; bahwa bangsa ini dipimpin oleh sebuah rezim yang penuh dengan aura kesialan. Berbagai mithos dan ramalan mistikpun ditujukan untuk menggambarkan masa depan kepemimpinan tersebut. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki wewenang ilmiah untuk menjatuhkan vonis tersebut.
Hingga akhirnya kini muncul beberapa alasan ilmiah untuk menjelaskan dinamika yang mendasari problem-problem utama zaman kita. Salah satunya adalah laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang mengungkapkan bukti paling ilmiah soal pemanasan dan perubahan iklim global sebagai akibat dari meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Selain dari ulah tangan dan hasrat manusia yang tidak pernah puas secara lebih luas, semua itu merupakan residu peradaban yang tidak mampu direduksi oleh sistem yang kita kenal dengan industrialisasi dan modernisme.
Dan kini, telah sampailah kita pada sebuah puncak peradaban yang paling dramatis dan penuh resiko, saat-saat yang membawa kita pada kekacauan (chaos) dan kebuasan (wildness) peradaban umat manusia pada satu sisi.
Sisi lain merupakan sebuah titik balik yang telah melahirkan apa yang kita kenal dewasa ini sebagai kesadaran ekologis. Kesadaran yang menekankan arti penting sebuah keharmonisan kehidupan umat manusia dan alam semesta (tata kosmos).
Kesadaran Ekologis
Kesadaran ekologis tentang keharmonisan kehidupan mikro dan makrokosmis paling tidak telah memunculkan berbagai macam upaya untuk menanggulangi berbagai macam fenomena dan problem yang lahir sebagai akibat dari tidak adanya keharmonisan bukan saja anatara ummat manusia dengan bumi yang dipijaknya tapi juga termasuk visi ekologis ke tingkat planet beserta galaksinya.
Tahun 1970-an para peneliti Stamdford Research Institute memperkirakan bahwa empat hingga lima juta manusia di Amerika telah melakukan pengurangan penghasilan dan meninggalkan konsumerisme demi sebuah prinsip kesederhanaan hidup. Dan sejak saat itu muncul gerakan-gerakan lain dalam bidang kesehatan, manajemen perusahan, industri dan teknologi telah mulai menerapkan nasihat entropy kesederhanaan hidup.
Termasuk yang baru-baru ini diselenggarakan; Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua Bali, merupakan upaya untuk melahirkan kesepakatan global untuk menggerakan nasihat entropy kesederhanaan hidup tersebut.
Hanya saja berbagai upaya tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama tenyata tidak mampu mengalahkan meminjam istilah Carl Gustav Junghasrat dan libido ummat manusia yang semakin hari semakin membuas.
Bagi Jung yang lebih berpikir sistemikberbeda dengan freud yang mekanik Libido merupakan energi psikis umum yang dilihatnya sebagai manifestasi dari dinamika kehidupan dasar.
Artinya bahwa minimnya kesadaran ekologis ummat manusia yang berakibat pada apa yang lebih ramai dan dimamah biak dalam publik intelektual global sebagai ketidakseimbangan ekologis, perubahan iklim ataupun pemanasan global global warming, memiliki faktor determinan lain yang tidak hanya sekedar membutuhkan kesepakatan-kesepakan kerangka kerja mekanis dan politis (environmentalisme dangkal) an sich. Alih-alih upaya tersebut malah menghasilkan kesepakatan berupa efisiensi manajemen lingkungan dan memperdagangkan cost eksternalitas yang hanya ditujukan demi kepentingan manusia. Lebih dari itu, semua permasalahan justru ada dalam alam bawah sadar manusia sebagaimana diungkapkan Jung.
Fritjof Capra lebik lebih konkret soal faktor fundamental kesadaran ekologis, baginya keseimbangan ekologis pada dasarnya memerlukan perubahan-perubahan besar dalam persepsi kita tentang peran manusia di dalam ekosistem planet. Singkatnya, kesadaran ekologis memerlukan suatu kerangka dasar filosofis dan religius yang baru.
Rasionalitas Kosmik
Kesadaran ekologis dengan demikian memerlukan sokongan ilmu yang lebih modern, terutama pendekatan sistem yang baru, tetapi berakar pada persepsi realitas yang melampaui kerangka ilmiah hingga mencapai suatu kesadaran intuitif tentang kesatuan semua kehidupan (jiwa kosmis).
Dan kesadaran intuitif tentang kesatuan semua aspek kehidupan hanya mungkin ditemukan dalam sebuah modus kesadaran di mana individu merasa terkait dengan kosmos secara keseluruhan. Maka jelaslah bahwa kesadaran ekologis itu merupakan kesadaran yang bersifat spiritual.
Bukti dari keterkaitan kesadaran itu ternyata ada pada bentuk akar kata dari agama dalam bahasa latin \'religare\' yang bermakna mengikat kuat, atau agama dalam bahasa sansakerta Yoga yang berarti penyatuan.
Bahkan bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, kerangka filosofis dan spiritual ekologi sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, tetapi telah terumuskan secara berulang-ulang sepanjang sejarah perjalanan hidup umat manusia.
Tradisi klasik Islam misalnya, menawarkan ungkapan-ungkapan yang bermakna karifan ekologis yang begitu indah. Salah satunya dalam matsnawi-nya Jalaluddin ar-Rumi Dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, namun pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting itu justru tumbuh demi buah.
Taoisme pun demikian, menawarkan ungkapan kearifan ekologis yang cukup menawan yang menekankan kesatuan fundamental maupun hakikat fenomena alam dan sosial secara dinamis. Barangsiapa mengikuti tatanan alam mengalir di dalam arus Tao. Saint Francis, seorang mistikus kristen bahkan sempat menyatakan pandangan dan etika yang benar-benar ekologis dan menyajikan tantangan yang revolusioner terhadap pandangan yahudi-kristen tentang manusia dan alam.
Begitu juga seterusnya, berbagai karya filsafat Spinoza, Heideger, Ikhwanal-Shafa Ibnu Sina, penyair Walth Whitman hingga Dante yang menulis Divene Comedy telah menghasilkan karya-karya yang tersusun menurut prinsip-prinsip ekologis. Bahkan masyarakat primitif seperti Dayak di pedalaman kalimantan ataupun Badui di pedalaman Banten sana saja memiliki religiusitas kosmik tersebut. Kesadaran psikis yang bila dipegang secara holistik akan meniscayakan peralihan dari konsumsi materi ke kesederhanaan secara sukarela, dari pertumbuhan ekonomi dan teknologi ke pertumbuhan dan perkembangan bathini.
Demikianlah sebetulnya kerangka filosofis dan spiritual ekologi tersusun secara berulang-ulang. Namun akhirnya semua memang berada di tangan setiap individu manusia untuk menghidupkan kembali kesadaran spiritul ekologi dalam heritage budaya masing-masing atau justru membiarkan libido dan hasrat manusia memangsa habis sumber daya planet ini. (Dimuat Di Koran Pelita, 04/01/2008)

Tidak ada komentar: