Selasa, 16 Desember 2008

Menggagas Dzikir Iqtishadi

Ditulis oleh Ma'ruf Muttaqin
Apa yang dapat dirasakan ketika panen padi pada musim tanam rendeng kali ini mengalami kegagalan?, Begitupula dengan peningkatan NPL bank syari’ah, atupun penyuapan dalam kasus BLBI?. Apakah kita biarkan kesedihan menyelimuti para petani dan praktisi perbankan, lalu biarkan pula mereka bersikap “Nrimo ing pandum”. Kenapa semua itu bisa terjadi?. Apakah karena kesalahan praktek kultur teknis dan penggunaan pupuk? atau justru karena apa yang biasa kita sebut dengan bencana alam dan moral hazard. Lalu apa yang bisa dilakukan ketika realitas sosial dan keadaan alam tidak bisa dikuasai, padahal petani atau para analis telah cukup yakin sebelumnya.

Dalam mainstream ekonomi, apapun yang masuk kategori uncertainty seperti diatas, merupakan sesuatu yang tidak dapat dikalkulasikan secara ekonomi (non-use value). Makanya, para pemuja ekonomi pasar tersebut menyebutnya sebagai eksternalitas. Sebagai upaya untuk meminimalisasi biaya (cost) dan tanggung jawab (obligation). Hanya saja, agar terkesan kepeduliannya tetap ada, maka diadakanlah yang namanya Cost Social Resfonsibility (CSR) dari para korporat, atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari para pemegang kebijakan. Anehnya, apa yang disebut sebagai domestic support atau subsidi tetap saja seret.
Selain dari pandangan para environmentalis dangkal yang menganjurkan resep-resep entrophy kesederhanaan hidup, yang berakibat pada pengurangan subsidi; Listrik, BBM, dan pupuk, tampaknya belum ada tawaran lain untuk mengatasi residu peradaban modern tersebut?
Kalaupun ada, maka itupun belum dapat keluar dari tawaran the third way-nya Anthony Giddens yang bersandar pada keyakinan beyond right and left. Yang mencoba memperhadapkan new social democracy dengan neoliberalisme. Sementara itu, pandangan tentang pentingnya prohibition of riba dalam mainstream ekonomi syari’ah masih menjadi resep yang laris manis bagi para praktisi ekonomi Islam.
Klaim bahwa ekonomi Islam merupakan alternative untuk melawan neoliberalisme untuk sementara dapat dibenarkan, hanya saja dalam kenyataannya, ekonomi Islampun belum bisa keluar dari paradigma behind right and left (Dawam Rahardjo, 2007).
Beberapa penelitian ilmiah yang berkesimpulan tentang persepsi masyarakat tentang bank syari’ah, bahwa masyarakat cenderung menggunakan alasan rasionallitas dibandingkan dengan alasan idiologis dalam memilih bank syari’ah, merupakan contoh konkrit dari ketidakmampuannya untuk keluar dari wacana positive economic.
Kesimpulan tersebut telah mereduksi peranan institusi keuangan Islam dalam pembangunan community intelegent. Padahal, bagi Ibnu Khaldun, ilmuwan Islam yang diklaim sebagai bapak ekonomi Islam, community intelligent merupakan prasyarat utama dalam membangun kekuatan ekonomi, selain khilafah.
Community intelligent menurut Kaplan dan Norton (2004) harus mencakup; modal sumber daya manusia (human capital), modal organisasi (organization capital) dan modal informasi (information capital). Sedang Herry B. Priyono menambahkan; modal intelektual (Intelektual capital), modal ekologi (echological capital) dan modal sipiritual (spiritual capital).
Community intelligent, atau yang diawal tadi disebut sebagai eksternalitas, dalam ekonomi konvensional didefinisikan sebagai “An externality is difined as the case where an action of one economic agent affects the utility or production possibilities of another in a way is not reflected in the marketplace”(Just et.al.1992). Kata kunci dari definisi tersebut adalah is not reflected in the marketplace (sesuatu yang tidak dapat direfleksikan di pasar).
Oleh karena itu sejatinya, lembaga keuangan Islam memiliki ruang aktivitas dan tindakan yang lebih luas dari sekedar sebagai lembaga komersial yang berusaha menumpuk asset dari masyarakat, sementara miskin berbuat untuk kemajuan ummat.
Intsitusi apapun, tidak hanya sebatas lembaga keuangan, seharusnya memiliki tanggung jawab berdakwah. karena hal terpenting dalam proses dakwah adalah li takwienul ummat atau membangun ummat, dalam artian ikut bertanggung jawab membangun community intelligent.
Sayang, dalam realitasnya, tugas tersebut menjadi hak preogratif para Ulama dan Kyai. Sedang Cendekiaawan dan para Civitas Perguruan Tinggi termasuk para Saintis diberi tugas menyiapkan bantuan teori dan teknis, berupa pengetahuan dan teknologi. Dari kenyataan tersebut, kita patut mempertanyakan, kenapa tugas-tugas tersebut terlaksana secara sektoral dan tak pernah terintegrasi?
Dari itulah, upaya internalisasi dan integrasi seluruh sektor tersebut harus menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Proses penyamaan visi dan paradigma yang memandang aktivitas hidup sebagai sebuah kesatuan kosmik (kesadaran kosmik). Dan karena kesadaran kosmik hanya dapat ditemukan dalam istilah religion (religare), maka membangun community intelligent harus dimulai dari peningkatan kualitas nalar agama. Artinya, pembangunan yang merupakan bukti nyata dari proses nalar manusia (akal) tidak bisa terlepas dari ukuran wahyu (agama).
Upaya ini secara lebih analitik disajikan oleh Dr. Murasa Sarkaniputra sebagai Revelation Based Measurment (perpaduan mantik rasa dan mantik akal). Ibnu Arabi menyebutnya sebagai metode kasf (penyingkapan), sedangkan Mulla Sadra lebih senang untuk menyebutnya sebagai Hikmah Muta’aliyah (kearifan puncak), yaitu perpaduan dari filsafat Paripatetiknya Ibnu Sina, Illuminasinya Suhrawardi, Gnosisnya Imam Ghazali dan Revelationnya Ibnu Ararbi.
Dalam konteks perkembangan ekonomi Islam atau pun ekonomi Indonesia secara keseluruhan, revelation based measurment merupakan paradigma alternatif yang bisa memberikan resep mujarab dalam kondisi ekonomi dimana petani, peternak, ataupun praktisi lembaga keuangan tidak mampu menghadapi ketidakpastian (uncertainty), disebabkan oleh eksternalitas yang tidak dapat dikuasai (banjir, kekeringan, badai el nina ataupun penyakit sosial).
Begitupun dalam praktek mudharabah, apa yang disebut sebagai resiko yang terlampau tinggi (moral hazard) yang disebabkan oleh adanya asimetric information, kurangnya pengetahuan teknis, rendahnya kualitas, bahkan hingga rendahnya trust (kepercayaan) niscaya akan dapat diatasi (lihat Q.S. al-A’raf (7):96).
Dengan memadukan fuzzy logic dengan mantik rasa atau nalar irfani, maka dalam hasil akhir dari aqad mudharabah antara shohibul mal, mudarib dan intermediary (bank) akan mendapatkan nilai harapan akhir yang maksimal. Hasil ini didapat dari pengukuran nilai total ekonomi dari sebuah sumber daya secara holistik, dengan berusaha mengubah asset yang tadinya tidak dapat dinilai (intangible asset) menjadi sebuah ijtihad yang bisa dinilai (tangible assets).
Dalam kaitan ini, membangun community intelligent; yang bisa menilai sebuah sumber daya sebagai barokah, hidayat dan nikmat dari Allah, hanya bisa dilakukan bilamana para Kyai, Ulama, Ustadz, Cendekiawan, Saintis, maupun praktisi bahu-membahu, secara bersama-sama melakukan Dzikir Iqtishadi. Yaitu program permohonan sekiranya Allah Swt. Menganugerahkan kepada kita melalui naluri, panca indera, akal, dan agama sehamparan hidayat, barokah dan nikmat. Amien!
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=57&catid=2:islam-kontemporer&id=1217:menggagas-dzikir-iqtishadi&option=com_content&view=article

1 komentar:

Ruang Hikmah mengatakan...

faisol mengatakan...

terima kasih sharing info/ilmunya...
saya membuat tulisan tentang "Berdzikir Membuat Hati Tetram, Benarkah?"
silakan berkunjung ke:

http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/berdzikir-membuat-hati-tentram-benarkah.html

salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/
2008 Agustus 29 00:31