Selasa, 16 Desember 2008

Rethinking Bank Syari'ah

Penulis : Ma'ruf Muttaqien

KotaSantri.com : Secara historis, perkembangan lembaga keuangan syari'ah sebetulnya telah dimulai sejak sebelum tahun 1992-an, hal ini terutama disebabkan banyaknya tuntutan terhadap totalitas penegakan tata nilai Islam dari para kaum neo-revivalis yang menuntut pemurnian ajaran-ajaran Islam dari berbagai takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC) yang berkembang hampir dalam seluruh aspek kehidupan ummat Islam sebagai akibat dari westernisme dan globalisasi yang tidak dapat dibendung.

Namun secara legalitas, pendirian dan perkembangan perbankan Syari'ah baru dimulai sejak tahun 1992 dengan ditetapkannya UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Syari'ah. Dimulai dari adanya lokakarya yang diadakan oleh MUI, lalu kemudian muncul kesepakatan untuk menuangkannya secara legal dalam sebuah undang-undang.

Sejak penetapan undang-undang ini, perkembangan bank syari'ah berjalan secara perlahan yang kemudian mampu berlari secepat kilat setelah bank syari'ah mampu memperlihatkan ketahanannya tehadap krisis moneter tahun '98, sejak saat itu bank syari'ah bak seorang primadona perekonomian yang banyak digandeng dan dilamar oleh para pengusaha dan investor baik domestik maupun internasional. Selintas, kemajuan yang dialami bank syari'ah saat ini sangat menggembirakan, namun bila kita mau lebih mencermatinya lagi, kemajuan ini bukannya tanpa celah.

Ironis memang di Negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, namun kemajuan bank syari'ahnya hanya mampu mencapai pada dua digit saja. Bayangkan saja dari total aset yang dimiliki perbankan syari'ah saat ini, hanya sekitar 0,8% dari seluruh total asset Perbankan Nasional, dari kenyataan ini berarti masih banyak sekali lahan yang belum tergarap oleh bank syari'ah.

Abdullah Saed dalam bukunya "Menyoal Bank Syari'ah" (Paramadina, 2004) melansir, paling tidak ada tiga persoalan yang sering ditemui menyangkut inkonsistensi bank syari'ah dalam pengoperasiannya di negara-negara muslim. Pertama, Adanya kegagalan implementasi profit and loss sharing (PLS) dari sekian banyak instrumen bank syari'ah yang ada di Indonesia, implementasi PLS oleh bank-bank syari'ah di Indonesia masih jauh panggang dari api, baik secara konseptual, struktural, maupun operasionalnya.

Secara konseptual, praktek profit and loss sharing merupakan produk yang beresiko tinggi, hal ini membuat bank belum mampu menerapkannya, akibatnya nasabah lebih suka melakukan transaksi non-PLS seperti murabahah (debt financing). Secara stuktural, bank Syari'ah pada umumnya bukanlah bank investasi, tapi merupakan bank dagang, karena sumber pembiayaannya berasal dari dana jangka pendek, dan secara operasional, sering terjadinya inefisiensi praktek PLS, moral bangsa yang bobrok, dan budaya konsumerisme yang merebak menghilangkan kemauan untuk berinvestasi, selain itu sulitnya mencari pengusaha yang bersedia untuk melakukan transaksi secara PLS.

Maraknya dominasi pembiayaan debt financing dibandingkan PLS, telah membuat adanya pemfiksian hukum (Hiyal) tentang prinsip-prinsip syari'ah yang diterapkan dalam bank syari'ah. Islam menghalalkan jual beli, namun apakah Islam menghalalkan praktek murabahah dalam bank syari'ah yang lebih membuka ruang transaksi riba ini? Dengan nada apologetik, pihak yang mendukung praktek ini menyatakan, "Islam memberikan ruang yang luas bagi praktek muamalah (Al-Aslu fi Al-Muammalat Al-Ibahah) yang berarti murabahah adalah sesuatu yang legal secara normative." Bila secara normatif Murabahah dilegalkan, lalu apa bedanya dengan transaksi ribawi?

Sikap-sikap seperti inilah yang membuat munculnya distorsi kepercayaan masyarakat terhadap bank syari'ah, MUI wa bil khusushan DSN terlalu bersikap formalistik dan menganggap persoalan bank syari'ah adalah menyangkut halal dan haram, boleh atau tidak boleh.

Kasus Fatwa haram MUI beberapa saat yang lalu hendaknya menjadi autokritik bagi MUI (DSN) ataupun pihak bank syari'ah sendiri yang sampai saat ini masih melihat pada penekanan prinsip-prinsip syari'ah dari perspektif makro, tanpa melihatnya dari perspektif mikro. Artinya, prinsip-prinsip syari'ah yang tercermin dalam bank syari'ah tidak sebatas pada nilai-nilai pelarangan riba ataupun distribusi saja, tapi juga penekanan pada aspek profesionalisme, sikap amanah, serta bagaimana kemudian bank syari'ah melihat permasalahan ummat yang semakin pelik dan mencekik.

Oleh karena itu, bank syari'ah ke depannya harus lebih menyiapkan diri agar lebih matang bila terjadi pengalihan dana pihak ketiga yang relatif besar. Selain melakukan efisiensi internal, pengembangan sistem perbankan syari'ah dapat pula menerapkan strategi ekspansi 'economies of scale' dan atau 'economies of scope'. Penerapan strategi economies of scale dilakukan secara horisontal dengan meningkatkan cakupan pasar melalui aliansi strategis dengan mitra usaha domestik maupun internasional. Penerapan strategi of scope dapat dilakukan dengan menambah kelengkapan instrumen transaksi syari'ah (termasuk dengan memanfaatkan kemajuan dalam bidang teknologi informasi) sehingga lebih dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan jasa keuangan syari'ah bagi masyarakat.

***

Pemberdayaan Ekonomi Kecil

Dilematis memang, bila dunia perbankan syari'ah kita masih terjebak kepada syari'at oriented. Di satu sisi, dunia perbankan dituntut untuk mampu memberikan peranannya dalam usaha mensejahterakan rakyat, namun di sisi lain ia terbatas oleh penegakan prinsip-prinsip syari'at Islam. Namun, itu sebetulnya dapat dihindari bila saja pihak bank syari'ah mau bersikap lebih progressif dan transformatif dalam membaca realitas.
Data statistik menko menyebutkan bahwa 42 unit usaha di Indonesia, 99,9 persennya adalah UMKM. Lalu, 99,2 persen kesempatan kerja, 57 persen kebutuhan barang, dan 19 persen ekspor nasional disediakan UMKM. UMKM juga memberikan kontribusi 2-4 persen terhadap pertumbuhan nasional dan 56 persen pada PDB (Koran ini edisi Rabu, 23 Februari 2005).

Bila saja setiap unit usaha kecil tersebut mampu difasilitasi dan diberdayakan, secara otomatis pula 42 juta lapangan kerja baru akan lahir, dan ini berarti jumlah masyarakat miskin akan berkurang. Tapi yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah mampukah bank syari'ah memberi fasilitas dan memberdayakan saudara lamanya yang pada saat krisis '98 mampu bertahan pula bila seandainya pihak bank syari'ah masih menggunakan pola fikir tradisional dan scriptural?

Di sinilah kemudian signifikasi dari keharusan akan perubahan terhadap pola pikir, paradigma pihak yang memiliki otoritas dalam penafsiran prinsip-prinsip syari'ah dari pola formalistik menuju pola yang lebih transpormatif dan humanis. Yang akhirnya pembacaan kembali terhadap kitab-kitab klasik akan menjadi sebuah keharusan.

Bila paradigma pihak-pihak yang terkait dengan bank syari'ah telah sesuai dengan yang disampaikan tadi, barulah ke depan bank syari'ah dengan optimisme mampu berevolusi dari sebelumnya operasional bank syariah yang ditekankan kepada prinsip share holder value, dengan memaksimumkan keuntungan sepihak menjadi bank syari'ah yang diharapkan mampu memiliki prinsip stake holder value, dimana manfaat yang didapat tidak lagi difokuskan hanya pada pemegang saham ansich, namun semua pihak yang terkait mampu merasakannya.

Akhirul kalam, penulis melihat apabila apa yang disampaikan di awal tadi telah terejawantahkan dalam operasional bank syari'ah ditambah lagi dengan dukungan dari berbagai pihak, niscaya perbankan syari'ah ke depan akan semakin berkembang dan masyarakat lambat laun akan merasa memiliki terhadap bank syari'ah. Wallahu a'lamu bishawab
http://www.kotasantri.com/bilik.php?aksi=Detail&sid=576

Tidak ada komentar: