
Judul Buku : Bangsa Gagal; Mencari Identitas Kebangsaan
Penulis : HM. Nasruddin Anshory, Ch
Penerbit : LKIS Yogyakarta
Terbit : Mei 2008
Tebal : 196 halaman
Harga : Rp.34.500
Studi sejarah merupakan penawar terbaik untuk penyakit-penyakit pikiran. Karena dalam sejarah akan didapatkan beragam catatan tak terhingga mengenai pengalaman manusia yang diperkenalkan secara sederhana untuk dilihat, dalam catatan itu akan terlihat siapa kita dan negri kita. Baik sebagai tamsil maupun peringatan, mencari sesuatu yang baik dan mencampakan semua yang buruk.
Jas merah tegas bung Karno; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas dan kenangan indah, tapi juga menyuguhkan kearifan dan kebenaran yang bisa dijadikan ibrah bagi keberlangsuangan selanjutnya.
Dengan menghargai sejarah, sebuah bangsa bisa menjadi besar, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bangsa yang tidak pernah menoleh ke belakang adalah bangsa yang tidak akan pernah mencapai tujuannya.
Ini berarti pula bahwa, keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuan sangat tergantung pada sikap dan pandangannya terhadap perjalanan sejarah. Lihatlah bangsa Amerika yang digambarkan Ronald Reagen sebagai super hero seperti ”Rambo” yang memiliki semangat the pursuit of happines, atau lihat juga bagaimana China, Jepang, India dan bahkan Iran mampu sedikit semi sedikit menjadi bangsa yang besar.
Bangsa yang gagal
Sejarah mencatat, kemajuan yang dicapai oleh negara-negara non-barat itu berakar pada empat landasan atau sumber. Pertama, adalah kebudayan-kebudayaan induk (mother culture) yang unggul, misalnya Hindu-Budha di India dan Konfusianisme, Taoisme di China dan Sinthoisme di Jepang serta Islam-Syi’ah di Iran.
Kedua, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kebudayaan—meminjam istilah Habermas—tekno-ekonomi yang mula-mula dirintis oleh barat. Ketiga, adalah majunya system dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Keempat yang tidak kalah penting, telah berkembangnya system politik dan kenegaraan.
Berdasar atas keempat landasan tersebut, maka alasan pencapaian kebesaran sebuah bangsa paling tidak karena mereka mampu menjaga, menghargai dan memaknai sejarah panjang bangsanya sendiri. Baik secara arkeologis, sosiolgis maupun antropologis.
Lalu bagaimana dengan bangsa kita? HM. Nasruddin Anshory Ch dalam bukunya yang merupakan seri satu abad kebangkitan nasional terbitan LKIS Yogyakarta ini, menyebut bangsa ini sebagai “bangsa yang gagal” dalam mencari identitas kebangsaanya. Pasalnya, sejak satu abad yang lalu, sejak kita mengumandangkan kebangkitan bangsa hingga sekarang, bangsa ini tak kunjung menjadi bangsa yang benar-benar dicita-citakan.
Lebih lanjut penulis buku ini mengaku telah mampu medeteksi adanya penyakit psychopatologi yang disebabkan oleh adanya sindrom ‘nasionalisme petasan.’ Dalam hal ini Nasruddin berada pada gugus yang sama dengan Amin Rais yang menyebut bangsa ini tengah terkena sindrom ‘nasionalisme dangkal,’ yang lebih mengutamakan window show; yang terbuai dengan isu-isu pinggiran yang bersifat emosional dan reaktif ansich. Bentuk nasionalisme simbolik yang lebih senang merawat dan mempercantik halaman rumahnya, sementara ia tidak peduli dan sadar kalau isi rumahnya telah mulai pudar dan kropos.
Selengkapnya, bangsa kita bisa dikatakan telah mengalami apa yang disebut dalam buku ini sebagai bangsa yang gagal dalam menentukan skema baru identitas kebangsaannya, terutama setelah sepuluh tahun lebih orde reformasi berjalan. Alih-alih menemukan skema identitas baru, bangsa ini malah terpencar dan identitas diri tak terselesaikan, kulminasinya mengarah pada semacam fragmentasi yang sangat berbeda, menggerogoti dan menyebabkan identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan berupa spirit primordialisme, parokial, xenocentrisme atau bahkan etnocentrisme. Tak ada satupun alasan untuk dapat menyatukan identitas kebangsaan tersebut selain apa yang diawal tadi disebut sebagai nasionalisme petasan ataupun nasionalisme dangkal.
Melepas Amnesia
Oleh karena itu, buku ini semakin menemukan signifikansinya, terutama mengingat pentingnya memobilisasi masa silam Indonesia untuk meluruskan upaya doktriner apa pun yang akan ditempuh untuk meletakan identitas kebangsaan pada pijakan fondasional yang aman. Entah religius, sekuler, atau tidak kedua-duanya, atau pancasila yang sering kita amini bersama sebagai identitas yang paling aman.
Dalam kehidupan berbangsa dimanapun, tidak ada satupun yang tidak pernah melewati kekerasan rasionalitas-dialektis, dan bahwa sebuah komunitas akan dapat dipersatukan dengan identitas yang paling kuat dan efektif oleh apa yang sama-sama mereka yakini (common ideas), dan sebaliknya oleh apa yang sama-sama mereka benci dan musuhi (common enemy). Dengan begitulah kecintaan (nasionalisme baru) akan terwujud dengan sendirinya.
Meminjam tesis Sigmund Freud bahwa, setiap bagian yang kembali dari alam lupa (yang dikekang) mendesakan diri dengan kekuatan yang sangat istimewa. Memberikan pengaruh yang nyata kuatnya pada diri orang dalam suatu massa dan menjunjung tinggi klaim tak tertahankan. Dimana keberatan-keberatan logis tinggal tak berdaya.
Berbeda dari buku-buku sejarah yang biasa ada di rak-rak buku anda, yang penyajiannya cenderung linier, kaku dan sangat tergantung pada model klasik periodesasi penulisan sejarah. Buku ini hadir dengan logika penulisnya sendiri, dengan maksud keluar dari tradisi penulisan sejarah yang terbukti malah membuat beberapa generasi penerus bangsa ini terjebak dalam alienasi sejarah yang cukup lama.
Buku ini juga mampu memerinci karakteristik masing-masing periode dalam proses perjalanan bangsa ini. Karakteristik yang semestinya mampu memberikan inspirasi patriotisme, anti-kolonialisme, semangat juang dan tentu saja nasionalisme sepenuhnya.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar