Minggu, 17 Agustus 2008

Foto Bugil dan Sindrom Seksualitas Plastis; Fenomena Seksualitas Dalam Masyarakat Modern


Tidak ada yang menyangka, kalau dibalik wajah inocent Ryan yang akhir-akhir ini selalu muncul di layar televisi ternyata tersimpan hasrat-keji yang membuat lebih dari sepuluh nyawa melayang. Hingga saat ini, pembunuhan berantai yang disebut-sebut sebagai pembunuhan tersadis dalam satu dekade terakhir ini belum dapat disimpulkan disebabkan oleh motif hasrat seksualitas, ekonomi atau kesenangan (money and pleasure).
Derasnya arus modernisasi memang terkadang membuat kita larut dalam ingar bingar dan mimpi kemajuan masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Menghadirkan harapan baru dan sejenak menghapus noda “ketertinggalan zaman”. Hanya saja hal tersebut terkadang membutakan mata, mengadopsi apapun dari hasil modernisasi tanpa sebuah kritisisme.
Saking rumitnya dunia baru ini, Fazlur Rahman sampai menjulukinya sebagai jenus faced (wajah ganda). Karena selain membawa keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, juga dengan akibat yang berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-nilai. Keluarga sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling mengkhawatirkan di era ini. Terutama soal seksualitas, reproduksi dan perkawinan.

Revolusi Seksualitas
Meskipun dekade ini hampir bisa dipastikan bukan yang terkotor dalam kehidupan relasi sosial, tapi dapat dipastikan bahwa saat ini merupakan masa yang paling terobsesi oleh revolusi seksual yang memaksa laki-laki ataupun perempuan menegosiasikan kembali keintiman yang mereka inginkan.
Bila diera pra-modern relasi seksual hampir tidak dapat keluar dari relasi heteroseksual, perkawinan dan reproduksi, maka kecenderungan diera modern adalah keinginan dari sebagian orang untuk memutuskan hubungan yang niscaya antara seksualitas, reproduksi dan perkawinan atau apa yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai ”seksualitas plastis.”
Seksualitas Plastis merupakan efek terburuk dalam transformasi keintiman (transformation of intimacy), dimana seksualitas semakin menjadi bagian yang terpisah dari reproduksi. Seiring kemajuan teknologi, saat ini konsepsi itu dapat diproduksi, bukan hanya sekedar kemaluan buatan, tetapi juga seksualitas pada akhirnya benar-benar sudah dapat mengurus kebutuhannya sendiri.
Celakanya, kembali meminjam konsepsinya Giddens, Seksualitas Plastis bukan hanya telah mengubah semua konsepsi masyarakat modern tentang seksualitas, namun juga telah menjadi ciri kepribadian, lebih lanjut menjadi identitas diri yang intrinsik.

Kegagalan Demokrasi
Pembunuhan berantai yang diperkirakan bermotifkan kepuasan seksualitas dan ekonomi yang dilakukan oleh Ryan, mungkin adalah yang terburuk sepanjang sejarah revolusi seksual dalam kehidupan sosial kita. Kasus tersadis ini bukan hanya sekedar membuktikan akan efek terburuk dari transformasi keintiman, tapi juga merupakan bentuk kegagalan demokrasi untuk menghadirkan sikap toleransi kosmopolitan dalam menghadapi fundamentalisme, baik agama maupun pasar (neoliberalisme).
Karena alih-alih laju transformasi keintiman yang selama ini terjadi melahirkan emansipasi dalam ruang publik, nyatanya malah dieksploitasi menjadi trend yang paling menjanjikan dalam industri dan gaya hidup. Trend ini terlihat nyata dalam tayangan televisi yang menghadirkan ikon-ikon artis berlaga kemayu seperti Ryan.
Sementara itu fundamentalisme agama juga tidak mampu menyediakan ruang dialog untuk melewati tahapan ini. Doktrin agama yang kita kenal tentang perilalu menyimpang ini lebih sering dikaitkan secara historis dengan sejarah kaumnya nabi Luth (kaum sodom), dibandingkan alasan lain yang lebih rasional, yang memberikan solusi lain yang lebih mungkin diterima masayarakat modern. Pada akhirnya, kehidupan sosial kita tidak mampu dijinakan, dan malah lepas kendali (run a way).
Fundamentalisme pasar dan agama tampak berkelindan dalam menyikapi fenomena seksualitas plastis, sehingga menimbulkan dilema dan anomali dalam masyarakat yang telah terkena sindrom seksualitas plastis. Melaju tak terkendali akibat industri pasar, sementara rem norma, agama dan hukum tampak belum selesai berkesimpulan.
Dalam masyarakat demokratis yang gagal mengatasi totalitarianisme pasar dan agama; seksualitas, mode, musik dan budaya populer lainnya secara cepat berubah menjadi alat untuk mengamini dan mempertahankan rezim kapitalisme. Sehingga seksualitas plastis dapat dengan mudah tumbuh subur, meski efek terburuknya semakin nyata seperti dalam kasus Ryan dan beberapa kasus pembunuhan baru-baru ini.
Sementara itu efek lain dari seksualitas plastis yang terkait dengan semakin jauhnya relasi keintiman dengan reproduksi, perkawinan dan kenikmatan seksual juga semakin mendapatkan ruang dan waktu terbaiknya. Hal ini bisa terlihat jelas dari produksi alat kontrasepsi, tayangan erotis, kasus perceraian sejumlah artis, dan yang paling mengerikan tentu saja pergaulan bebas dikalangan abg yang semakin marak.
Tak ada cara lain, untuk menghilangkan sindrom seksualitas plastis yang telah berpengaruh sangat luas hingga menjadi perilaku korupsi yang marak dinegri ini selain dari berharap kepada demokrasi. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh para psikolog Jungian, yang membaca kesalahan besar Michael Fouchalt dan Freud ketika menyimpulkan psikopatologi masyarakat modern. Yaitu tidak adanya diskusi lebih lanjut tentang cinta dan romantisme atau apa yang kita kenal dengan Harmony (keseimbangan) dalam masyarakat demokratis. Dibandingkan dengan hasrat seksualitas (passion Amour), Cinta dan romantisme disebut-sebut akan mampu mengatasi penyakit kejiwaan apapun yang menimbulkan kerusakan dalam masyarakat modern, semoga......
Dimuat di Koran jakarta (9 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: