Senin, 04 Agustus 2008

Virtualisasi Ekonomi Islam

Ratusan tahun silam, jauh sebelum Masehi, orang-orang dari India sudah datang ke desa kita, mengajarkan titah Sidarta Gautama, membeli rempah-rempah dan lain sebagainya. Bahkan Alexander Agung pernah menyatukan separuh dunia di dalam rengkuhannya. Jalur Sutra juga sudah menghubungkan orang-orang dari daratan Eropa dan Asia beberapa ratus tahun silam. Sekitar abad 14 atau 15, Haramain (Mekkah dan Medinah), telah menjadi lokus utama tempat para ulama dari seluruh dunia Muslim berinteraksi membangun jaringan “global”. Tapi semua itu dibangun dengan batasan ruang dan waktu yang teramat luas dan lama.
Bayangkan dunia saat ini, dengan jaringan komunikasi dan transportasi global semuanya bisa dipermudah dan dipercepat hanya dalam sepersekian jam, menit bahkan detik. The world is flat, demikian Thomas L. Friedman mengilustrasikan dunia yang semakin tanpa batasan (borderless) ruang dan waktu. Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima akselerasi perubahan dunia dengan mudah. Masih banyak yang menganggap bahwa apa yang disebut dengan posmodernitas dan globalisasi telah mendehumanisasi kemanusian manusia. Membuat kehidupan menjadi penuh dengan main-main dan bersenda gurau (laiba wa lahwa).
Ernest Gelner, seorang intelektual yang sangat fasih berbicara tentang peradaban bahkan menyebut kedua istilah tersebut sebagai istilah mutakhir dari relativisme kuno. Sedang Akbar S. Ahmed intelektual muslim yang menulis buku fenomenal tentang Islam dan posmodernisme menyebut kedua istilah tersebut sebagai ancaman serius bagi dunia Islam, bahkan lebih berbahaya dari kekuatan militer sekalipun. Berbeda dengan apa yang ditawarkan Sayyed Hussein Nashr dalam menghadapi modernitas ataupun posmodernitas secara lebih realistis, baginya modernisme maupun posmodernisme merupakan realitas dan tidak mungkin kita bisa mengelak. Maka hadapi, hayati dengan kritis dan nikmati dengan batasan. Dan fides quern intellectum (rasionalitas keimanan) adalah jalan satu-satunya untuk menjawab realitas tersebut.
Hanya saja resep-resep tersebut belakangan juga dirasakan kurang cukup mampu memberikan tawaran pertahanan, karena ternyata arus deras globalisai dan efek posmodernitas telah masuk dalam tiap sisi kehidupan ummat Islam. Belakangan, Ernest Gelner dan Akbar S. Ahmed dinilai gagal dalam membaca dan menempatkan posmodernisme; apakah posmodernisme dianggap sebagai counter terhadap modernisme atau malah sebagai high modernisme. Sementara rasionalisasi keimanan yang ditawarkan Nashr atau yang kini dimamah biakan oleh Caknur dan kalangan liberal juga dianggap kurang realistis.
Virtualisasi ekonomi
Salah satu penyebab dari sekian banyak kegagalan yang dialami dunia muslim untuk mengantisipasi serbuan arus deras globalisasi adalah ketidak mampuan para kaum cendekia dan intelektual dalam memahami metamorfosa globalisasi yang tengah semakin menguasai kekuatan ekonomi dunia saat ini. Padahal sebagaimana dilansir Heri B. Proyono bahwa globalisasi telah membawa ekonomi global kepada kecenderungan virtualisasi ekonomi yang meniscayakan integrasi pasar financial internasional. Dalam fakta, visi integrasi pasar financial yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah amat diciutkan menjadi homo oecenomicus telah semakin penuh dengan kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi integrasi pasar financial tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri, bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)?.
Pasar financial Islam adalah pasar yang tak terkecuali, penetrasi visi global yang telah mengarah kepada neoliberalisme yang embedded liberalism ke dalamnya telah semakin tak terelakan. Mimpi integrasi pasar financial Islam pun telah semakin merasuki para pelaku pasar ekonomi Islam dewasa ini.
Pasalnya, Islamic finance dilihat lebih sebagai peluang daripada ancaman yang serius. fenomena maraknya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya di dunia barat dan negara-negara non-muslim lebih dianggap sebagai kemunculan model kapitalisme—khas Islam—baru yang mungkin dapat berdampingan dengan bentuk bentuk kapitalisme yang selama ini di puja barat (Rodney Wilson,2007).
Pasar financial Islam dalam negri yang perkembangannya dianggap sebagai yang tercepat sepanjang masa pasca fatwa MUI ternyata juga tidak dapat mengelak dari penetrasi dan serangan virus virtualisasi ekononomi yang membuatnya semakin tidak realistis.
Visi neoliberal yang telah semakin menggerogoti benteng terakhir ketahanan bangsa ini sangat terlihat jelas dalam kebijakan Bank Indonesia melalui PBI Nomor 8/3/PBI/2006, yang telah meniscayakan free fight liberalism dalam pasar financial Islam Indonesia.
Persyaratan administratif, kelayakan, kesehatan, kehalalan yang sebelumnya menjadi hal mutlak dalam proses perluasan pasar financial Islam Indonesia kini menjadi semakin diperlonggar.
Bank-bank konvensional yang sebelumnya harus melewati minimal dua tahapan untuk membuka cabang syari’ahnya, kini cukup dengan satu tahapan saja. Asalkan punya unit syari’ah dia sudah bisa membuka cabang-cabang syari’ahnya dimana saja melalu office channeling. Tak perduli ia bank asing atau lokal.
Ekonomi riil
Awalnya, office chanelling merupakan kebijakan yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan perbankan syari’ah dalam negri. Tapi faktanya, Rasio Non performing financial (NPF) bank-bank syari’ah yang pada akhir 2006 sebesar 4,2 % meningkat menjadi 6,4%.
Meski secara formal peraturan office channeling tidak terlihat bertentangan secara syar’I, tapi secara substantif kebijakan yang telah mengalami revisi ini sangat berpotensi melahirkan free fight liberalisme yang meniscayakan persaingan tidak sehat dalam pasar financial Islam Indonesia ke depan.
Kulminasinya, yang mendapat keuntungan dari kebiijakan office channeling ini adalah bank-bank umum besar yang telah memmiliki jaringan perbankan yang sangat luas. Padahal lebih dari 65 % saham bank-bank umum konvensional saat ini telah dikuasai asing.
Sementara itu lembaga-lembaga keuangan mikro yang benar-benar berjuang membangun sektor riil harus bernafas senen-kemis untuk mempertahankan diri dari serbuan bank-bank besar. Dan mereka sama sekali minim perlindungan dari pemegang kebijakan negri ini.
Sebelum resesi dan stagflasi melanda negri ini, sebelum ekonomi virtual menggelumbungkan pasar financial negri ini, sebelum neoliberalisme menyapu bersih sisa-sisa pertahanan negri ini, fondasi ekonomi Islam harus diperkuat. lembaga-lembaga keuangan mikro yang fokus terhadap sektor riil layaknya grameen bank harus direflikasi.
Karena hanya dengan kekuatan seperti inilah kita akan mampu menahan libido dan hasrat manusia-manusia ekonomi (homo oeconomicus) untuk mengeruk semua energi potensial alam raya ini hanya untuk kepuasan dirinya, sementara yang lain menjerit dan menangis tanpa suara tangisan (voice of the voiceless).Wallahu a’lamu bishawab

Tidak ada komentar: