Kamis, 19 Maret 2009

Tangan “Tuhan” di Balik WTO; Swasembada Tanpa WTO


Lee Kyung Hae, memiliki cara yang dramatis untuk menyuarakan penolakannya terhadap apa yang Ia nilai sebagai pembawa bencana; pasar bebas. mantan Ketua Federasi Petani Korea Selatan ini menusukan tubuhnya pada barikade baja di tengah aksi unjuk rasa petani dari berbagai negara pada pembukaan Konferensi Tingkat Mentri (KTM) V WTO di Cancun, Meksiko, 10 September 2003. Kenapa begitu, karena bagi Lee pembicaraan mengenai liberalisasi perdagangan dalam produk pertanian merupakan awal dari sebuah malapetaka yang bakal dialami para petani terutama di negara-negara berkembang (F. Juliyantono, 2007).
Bila kita runut sekilas proses awal malapetaka itu, barulah terasa bagaimana satu persatu ketahanan pangan negara-negara berkembang semakin berada pada titik nadir, pertanian rakyat seperti produk pangan mengalami levelling off dan akhirnya dilucuti satu persatu. Sekali lagi dilucuti, karena prosesnya mirip dengan pemiskinan sistematis dan bukan semata karena market failure yang selama ini didengungkan para pemuja pasar bebas.
Karena market failure pada dasarnya hanyalah istilah teknis yang menggambarkan ketidakmampuan pasar dalam menciptakan efisiensi secara maksimum. Sementara apa yang tadi kita sebut sebagai biang malapetaka, merupakan pengertian yang tidak hanya menyangkut permasalahan teknis tapi juga moral-struktural.
Maka atas dasar inefisiensi dan market failure yang terjadi dalam sistem pasar, dibentuklah beberapa lembaga multilateral seperti World Bank, IMF dan tentu saja WTO sebagai pelaksana teknis kampanye liberalisasi pasar.
Sekilas, tidak ada yang ganjil dengan kampanye lembaga-lembaga multilateral tersebut, bahkan resep-resepnya semakin favorit dikalangan negara-negara berkembang, karena diyakini sebagai obat mujarab untuk mengatasi ketertinggalan dan meningkatkan kesejateraan rakyatnya.
Tapi lihatlah secara lebih seksama, bagaimana sedikit-demi sedikit (slowdown) perekonomian negara-negara berkembang tersebut mulai rapuh dan jatuh tak berdaya. Sampai akhirnya malapetaka itupun datang, menggerogoti, melucuti dan menghancurkan ketahanan pangan domestik. Jalan cerita yang kira-kira sama dengan yang dialami Indonesia, negara Agraris yang telah mulai menjadi bangsa pengemis.
Tepatnya, malapetaka tersebut dimulai sejak Indonesia meratifikasi dan mempertegas komitmen liberalisasi perdagangan komoditi pertanian sesuai dengan Agreement of Agriculture (AoA) yang tertuang dalam UU No 7 tahun 1994. AoA adalah salah satu pakta Internasional World Trade Organization yang dihasilkan melalui serangkaian perundingan dalam putaran Uruguay dari General Agrement on Tariffs and Trade (GATT). Mulai saat itulah, Indonesia berlangganan resep kepada rezim WTO.
Sejak saat itu pula, satu persatu ketahanan pangan kita mulai terkoyak-koyak. Diawali dengan krisis pupuk dan beras tahun 1998 yang menjadikan Indonesia untuk pertama kalinya menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Diikuti juga dengan hancurnya produksi susu domestik pada tahun 2006.
Gula dan kapas nasibnya tidak jauh berbeda, dan yang baru-baru ini turut memporak porandakan ketahanan pangan kita, krisis kedelai dan daging sapi yang tidak hanya melahirkan sentimen pasar yang negatif tapi juga semakin menyengsarakan masyarakat.
Kembali, pemerintah tampak tak berdaya, dan lagi-lagi jalan impor-pun ditempuh guna menjaga ketersedian pangan domestik. Kebijakan tersebut tentu saja mengherankan; kenapa krisis dan kelangkaan pangan di pasar domestik selalu diatasi dengan impor yang jelas-jelas semakin menghancurkan para petani kita?. Sementara itu, meskipun sejumlah kalangan menuntut segera ditetapkannya subsidi dalam produksi pertanian, pemerintah tetap tak bergeming dan memilih tetap diam dalam ketidakberdayaannya.
Realitas ketahanan pangan yang telah mulai porak-poranda, benar-benar telah semakin menguatkan keyakinan; betapa rumitnya mengatasi persoalan yang menimpa pertanian kita di negri ini. Permasalahannya ada hampir disemua lini, dari hulu hingga hilir, lokal dan bahkan terkait secara global.
Betapapun para analis ekonomi dan NGO melantunkan kidung subsidi ke seantero negri dengan suara lantang. Meskipun lyrik dan teriakan anti posmodernisasi dan globalisasi ”Sytem of Down” band asal Armenia membahana hingga ke negri ini. Walaupun para petani berteriak dan menangis hingga suara mereka lenyap (voice of the voiceless) ditelan hiruk-pikuk materialisme. Niscaya lyrik-lyrik yang ditoreh sang Presiden SBY akan tetap miskin kosa kata Subsidi.
Kenapa, karena kidung subsidi terlalu sakral untuk dilantunkan, apalagi untuk disalurkan. Bagaimana tidak, subsidi atau apa yang oleh para pemuja liberalisasi pasar disebut dengan istilah domestic support merupakan pilar dan senjata utama WTO untuk melancarkan agenda perdagangan bebas negara-negara maju, sementara menghancurkan perdagangan produk pangan negara miskin dan berkembang.
Dalam AoA struktur dukungan domestik dibagi menjadi tiga kategori yang disebut dengan”kotak-kotak” (Boxes). Kotak-kotak tersebut adalah Kotak Hijau (Green Box), Kotak Kuning (Amber Box) dan Kotak Biru (Blue Box).
Bentuk dukungan domestik yang termasuk dalam Green Box dan dikecualikan untuk dikurangi adalah diantaranya pelayanan umum, stok penyangga pangan dan bantuan darurat. Yang termasuk dalam Amber Box adalah semua dukungan yang digolongkan bisa mendistorsi perdagangan hingga harus dikurangi sesuai komitmen, inilah yang menyengsarakan kita. Sementara yang termasuk Blue Box adalah apa yang sering kita terima sebagai Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang tidak dilarang dan dikurangi, karena tidak menambah produksi, artinya tidak banyak berpengaruh bagi petani.
Apa yang terjadi pada produksi beras, susu, pupuk, gula, kapas, kedelai dan daging sapi yang kian hari kian langka dan mahal adalah sejumlah ekses yang timbul karena sejumlah komitnen yang ada dalam draft AoA, yang mengharuskan dikuranginya sejumlah subsidi proses produksi, ekspor dan impornya. Termasuk perubahan status Bulog yang tidak lagi memiliki hak atas tata niaga dan monopoli pasar.
Dampak terburuk dari sejumlah komitmen tersebut adalah inefisiensi dan market failure, saat itulah negara-negara maju terutama AS melalui WTO mulai memainkan perannya sebagai tabib pembawa resep mujarab, berbondong-bondong masuk dan menggerogoti pasar domestik. Akhirnya, pintu import-pun terbuka lebar dan dengan syarat administratif yang minimalis. Menguntungkan para korporasi pertanian besar, sementara menghancurkan para petani kecil kita.
Entah, atas dasar apa resep-resep tersebut begitu disukai para pengidap penyakit yang terdiagnosa inefisiensi dan market failure. Mungkinkah—seperti dugaan Ibu Siti Fadilah Supari—karena adanya ”Tangan Tuhan” di balik WTO .

Tidak ada komentar: