Kamis, 19 Maret 2009

Egoisme Pasar Bebas


Sejak awal dekade 90-an hingga saat ini, Amerika memacak dirinya sendiri sebagai suri tauladan dalam berbagai hal termasuk soal kemajuan ekonomi. Maka tak heran bila setiap analisa soal permasalahan ekonomi global harus dimulai dengan membahas perekonomian Amerika.
”Read My Lips!”, demikian mantera yang dipakai Bush Junior untuk mulai menghipnotis negara-negara lain agar mereka merujuk Amerika mengenai keseimbangan antara pasar dan pemerintah, serta berbagai lembaga keuangan dan korporasi agar sebuah perekonomian pasar berjalan dengan baik.
Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika pasar Asia dan Amerika Latin terperosok kedalam jurang krisis ekonomi akhir dekade 90-an. Amerika lewat IMF dan bank dunia dengan pongahnya menyerukan; liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Dalam beberapa saat, perekonomian memang sempat terkoreksi tapi krisis itu ternyata meluruh untuk kemudian kembali melonjak. Karena resep yang diberikan tersebut teryata hanyalah sekedar penghilang rasa sakit, sedangkan asal muasalnya tetap ada dan kembali tumbuh.
Kini penyakit itu kembali meradang, tidak hanya membuat sakit kepala sebelah tapi sudah bisa dirasakan oleh seluruh bagian anggota tubuh yang selama ini turut membangun sendi-sendi perekonomian.
Amerika dan sejumlah negara Eropa yang mengekor kepadanya saat ini bahkan harus menelan ludahnya sendiri, karena harus mengambil resep yang sebelumnya telah mereka anggap sebagai resep najis dari rezim intervensi pasar.
Pasca ditandatanganinya Emergency Economic Stabilization Act di As, demikian juga dengan Troubled Asset Recovery Program (TARP) sebuah badan ekonomi perbankan yang mirip BPPN, hampir semua analis ekonomi meneriakan upaya penyelamatan oleh pemerintahan baik intervensi maupun subsidi. Tentu saja sebuah kebijakan yang tidak diharapkan siapapun bukan?

Komunitas Bisnis
Disinilah masalah terbesar dari bail out atau insentif apapun untuk menyelamatkan Komunitas Bisnis. Ketika ekonomi mengalami lonjakan yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perekonomian, yang merasakan keuntungannya adalah para pelaku bisnis keuangan. Lalu disaat ekonomi mengalami peluruhan akibat kerakusan dan kesalahan perhitungan para investor, semua orang harus ikut menanggungnya.
Bayangkan saja, 600 triliun rupiah digelontorkan pemerintah untuk mem-bail out sejumlah bank dalam krisis Indonesia ’98. Sedang untuk krisis yang menimpa As, diperkirakan sampai pada kisaran satu triliun dollar As; 700 milyar dollar untuk bail out dan sisanya untuk mengatasi krisis subprime mortage. Bandingkan dengan dana yang menetes dari gelembung ekonomi tersebut untuk orang miskin.
Di negara lain yang mengekor kepada As bahkan lebih mencengangkan lagi, dimana kepatuhan kepada sektor finansial dan kekuatan bisnis korporasi lebih besar ketimbang di As sendiri, pandangan komunitas bisnis korporasi bahkan bisa mendikte beberapa kebijakan, regulasi dan bahkan hasil pemilu sekalipun. Sebuah fenomena yang juga bisa disaksikan di Indonesia bukan?
Jadi tidak usah heran bila pertarungan dalam pilkada, dan pemilu yang telah dan segera akan kita jalani di Indonesia ternyata sudah bukan lagi pertarungan antara ide dan gagasan, tapi merupakan pertarungan kepentingan beberapa korporasi untuk menguasai pasar. Meskipun dibalut dengan drama pertentangan antara yang setuju dengan pasar bebas seperti rezim pemerintahan sekarang (sebut saja Bukaka dan Bakrie Brother’s), dengan beberapa pihak yang menyatakan sebagai oposisi yang lebih menekankan keadilan sosial, sebut saja PDIP, PKB, PKS dan PAN. Padahal, kekuatan yang ada dibaliknya tentu saja adalah kekuatan komunitas bisnis korporasi juga, sebut saja diantara yang menonjol adalah Tauifik Kemas, Arifin Panigoro dan Sutrisno Bahir (Fadjroel Rahman, 2007).

Mantera Korporasi
American Dream ala cerita Horatio Alger ’dari gembel menjadi kaya’ atau kisah perjuangan mengejar kebahagian (The Persuit Happines) ala Will Smith dengan menjadi pialang saham yang terinspirasi dari semangat Thomas Jefferson ternyata hanyalah tinggal mithos.
Karena alih-alih menumbuhkan semangat kebebasan untuk berjuang dalam membangun ekonomi (Development as Freedom) sebagaimana kata Milton Friedmen, keduanya malah dijadikan legitimasi untuk membenarkan pencapaian kekayaan meski dengan akal-akalan akuntansi dan skandal korporasi sekalipun.
Skandal Enron, Wordcom, Adhelphia atau Hedging Indosat sekalipun hanyalah kasus-kasus yang paling mencolok dan banyak diberitakan media. Perusahaan-perusahan tersebut sama sekali tidak memiliki energi dan kreativitas yang memadai untuk menciptakan produk dan layanan-layanan baru. Yang ada hanyalah inovasi dan cara-cara baru untuk meningkatkan pendapatan para CEO perusahaan dengan memanfaatkan kelengahan para investor(Stiglitz, 2003).
Stock Options, atau hak opsi saham adalah salah satu praktik korporasi yang selama ini telah menjadi mantera paling mujarab untuk menggelembungkan pendapatan perusahaan. Dengan praktek transaksi derivatif ini, laba perusahan korporasi bisa bertambah atau malah berkurang sepertiga, bahkan setengahnya.
Bila Microsof pada tahun 2001 membakukan laba perusahaan sebesar AS$ 7,3 Miliar, dan nilai opsi sahamnya dihitung maka sepertiga labanya bisa berkurang. Laba Intel bisa dipotong sampai seperlima bila nilai hak opsinya dihitung, dari AS$ 1,3 Miliar menjadi AS$ 254 juta. Dan kerugian Yahoo akan meningkat sepuluh kali lipat dari AS$93 juta menjadi AS$ 983 juta. Lalu, berapa kira-kira laba yang dibakukan Group Bakrie, Adaro, Ciputra maupun Indosat bila nilai opsinya dihitung?. Entahlah yang jelas, nilai kapitalisasi Grup Bakrie saja menurut perdagangan saham pada 6 Oktober 2008 tinggal 71 Triliun, menyusut sekitar 200 triliun.
Pasar bebas, yang telah melahirkan mithos berupa mantera-mantera korporasi memang menjadi sangat egois ketika dikendalikan sejumlah komunitas bisnis dinegara-negara maju terutama di negri Paman Sam sana. Bila prinsip pasar bebas tetap kita pegang, alasan apapun sebetulnya tidak bisa diterima ketika tangan-tangan yang tidak terlihat sebelumnya justru secara tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk memberikan sejumlah insentif.
Tapi pada akhirnya siapapun pasti setuju dengan Albert Hirschman bahwa kita sedang berada dalam episode lain dari apa yang disebut dengan Shifthing Involvements. Bahwa setiap bagian yang menekankan arti penting keadilan publik akan disusul oleh keserakahan individu, lalu kemudian kembali pada arasnya semula...semoga.

Tidak ada komentar: