Minggu, 21 Juni 2009

Aliansi Anti-Neoliberal dalam Pilpres 2009

Catatan visual, Analisis media, monograf, pengakuan dan riset-riset lapangan serta pengamatan atas Pemilihan Presiden 2009 akan menjadi mozaik yang sangat kaya mengenai tradisi elektoral dalam konteks demokratisasi di Indonesia.
Munculnya tiga pasangan kandidat yang memiliki haluan sangat berbeda terutama dalam isu sentral ekonomi, diprediksi akan menyajikan perang image yang sangat bertolak belakang (contrasting image). Seperti ditegaskan dalam prosesi deklarasi masing-masing Pasangan; JK-Wiranto yang lebih dulu mendeklarasikan dirinya menegaskan bahwa duetnya akan bekerja lebih cepat membangun kemandirian ekonomi bangsa. Capres Incumbent SBY, yang secara mengejutkan memilih Boediono sebagai cawapresnya, semakin menegaskan bahwa pasangannya akan terus melanjutkan arah kebijakannya selama ini (ekonomi pasar).
Sementara pasangan paling kontras yang menawarkan haluan ekonomi baru, yaitu Mega-Prabowo menegaskan, bahwa pasangannya akan berkomitmen secara penuh kepada Pancasila, kedaulatan ekonomi, berpihak pada wong cilik, petani, nelayan, guru, pedagang kecil, dan mereka yang sampai saat ini masih dalam keadaaan susah,

Gerakan Anti Neoliberal
Terlepas dari capres dan cawapres manakah dalam pemilu 2009 kali ini yang berhaluan; Neoliberal, Neososialis, atau gabungan dari keduanya, Kanan, tengah, kiri atau kiri-tengah. Diskursus gerakan anti neoliberal di negeri ini patut mendapatkan segudang catatan. Karena pertama, dan yang paling utama, sepanjang dekade 1990-an bahkan hingga era reformasi formula-formula neoliberal yang meski beberapa kali telah memporak-porandakan bangunan ekonomi pemerintahan, dikemudian hari tetap saja menjadi pilihan utama.
Dalam era mutakhir, neoliberalisme bahkan telah menjadi semakin ekstrem, namun juga menjadi istilah yang sangat licin. Misalnya; ekonomi pasar sering dianggap identik dengan neoliberalisme, atau privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal.. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal.
Titik ekstrem neoliberalisme yang lebih sering luput dari pengawasan dan kritik, karena lebih dianggap lahan yang memerlukan kreativitas adalah seperangkat aturan dan tata kelola yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem yang ciri utamanya berupa lahirnya hirarki prioritas; prioritas sektor financial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, bailout dan semacamnya (Herry Priyono, 2005).
Kedua, diskursus neoliberalisme, neososialisme, ekonomi kerakyatan atau apapun itu, lebih sering hanya menjadi jargon politik untuk melewati proses electoral semata. Dalam sejarah elektoral Indonesia terutama pasca runtuhnya new order, partai-partai politik yang bermunculan bak cendawan di musim penghujan bisa dikatakan doyan menjual jargon-jargon ekonomi kerakyatan yang dalam diskursus teori ekonomi tentu saja seharusnya bertolak belakang dengan neoliberalisme. Faktanya, setelah selesai melewati proses demokrasi, parpol-parpol pemenang selalu tidak mampu melawan desakan-desakan internasional. Contoh paling mutakhir tentu saja dapat kita saksikan dalam dinamika pemilu 2009 yang saat ini masih berjalan. Partai-partai politik yang jelas-jelas memiliki platform ekonomi yang bersebrangan dengan neoliberalisme tapi justru bergabung dengan aliansi ataupun koalisi kelompok yang dalam persepsi publik berhaluan neo liberal.
Ambiguitas tersebut memang tak hanya terjadi dalam proses demokratisasi di negeri ini, di Amerika Latin saja, dimana neoliberalisme telah menjadi momok dan musuh bersama (common enemy) perilaku tersebut tak luput dari pantauan publik. Salah satu pemimpin kunci gerakan chocaleros dan Deputi Parlemen Bolivia Evo Morales, malah mendukung presiden Carlos Mesa yang menerapkan kebijakan neoliberal guna memenuhi ambisi elektoralnya (menjadi presiden pada pemilu 2007).
Ketiga, diskursus anti neoliberalisme tidak memiliki basis gerakan sosial yang kuat layaknya di negara-negara Amerika Latin. Dalam beberapa dekade terakhir, serikat buruh, petani dan gerakan mahasiswa yang menjadi prototype dan personifikasi dari gerakan anti neoliberalisme memang semakin tidak berdaya.
Serikat-serikat pekerja yang didirikan untuk melindungi kepentingan mereka tercerai-berai, membuat identitas buruh pergi kelain arah menuju penyatuan ras, etnis dan gender. Para petani dibuat semakin tidak berdaya, digerus aturan tata kelola internasional melalui WTO. Sementara mahasiswa dan gerakan kaum muda lainnya juga semakin terjebak jurang pragmatisme.
Fokus gerakan kaum buruh, aliansi petani dan mahasiswa pun menjadi sangat terbatas pada isu-isu pekerjaan dan upah yang mendesak, biaya pendidikan dan harga komoditi pertanian, ketimbang tantangan politik yang lebih luas yang berdampak pada perjuangan nasional (semacam reformasi agraria).

Perubahan radikal
Melihat kenyataan tersebut, maka gerakan sosial-politik untuk apapun, atas nama anti neoliberal atau demi keadilan ekonomi, tampaknya akan menemui jalan terjal yang teramat sulit untuk dilewati. Mengingat bahwa, neoliberalisme telah menjelajah dan menghegemoni bangsa ini secara lebih dalam.
Permasalahannya kemudian tidak hanya sebatas problem pragmatis semata; anti asing atau tidak, pro-kerakyatan atau tidak dan pro-pasar atau tidak. Karena Neoliberalisme telah merasuk kedalam segala hal. Mulai dari pandangan kita terhadap dunia, alam, bahkan Tuhan sekalipun.
Kulminasinya, kerusakan alam, pemanasan global, revolusi seksualitas, termasuk tradisi berpolitik semakin menuju deret angka paling mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup umat manusia, makhluk hidup lain dan alam semesta.
Pada akhirnya, memang tidak ada upaya lain untuk mencegah proses neoliberalisasi yang melaju begitu ekstrem, selain dari perubahan yang radikal. Dan Pilpres 2009 merupakan salah satu momentum untuk memulai perubahan itu. Perubahan untuk menuju kehidupan yang lebih adil dan manusiawi.

Tidak ada komentar: