Selasa, 23 Juni 2009

Nasib Buruh di alam Neoliberal

”Vivero pericoloso.” mungkin adagium ini perlu kembali diteriakan dengan lantang kepada para kaum buruh di negeri ini. Supaya menimbulkan riak gelombak kejut kesadaran para buruh. Tidak bermaksud mengharap kaum buruh kembali turun ke jalan, tapi bagaimana kemudian kaum buruh melahirkan gerakan-gerakan yang menunjukan bahwa mereka bernafas dan menaruh perhatian yang serius terhadap persoalan nasional yang lebih luas.
Kenapa demikian? Karena, di alam neoliberal, figur buruh seakan menjadi prototife utama yang menentukan kemajuan ekonomi maupun politik. Lihatlah bagaimana wacana kehidupan kaum buruh; tenaga kerja, petani dan nelayan senantiasa menjadi isu utama dalam ajang pesta demokrasi dimanapun. Baik di Amerika sebagai negara demokrasi terbesar maupun di negara kita Indonesia yang kurang lebih juga sama.
Di negara maju yang tingkat populasi masyarakat urbannya begitu tinggi seperti Inggris dan Australia bahkan lebih dahsyat lagi, dimana buruh dapat memiliki cukup kekuatan untuk berkuasa hingga beberapa periode.
Meski demikian, setumpuk persoalan terkait hak-hak buruh memang tak pernah benar-benar dapat terselesaikan. Karena selama neoliberalisasi menjadi tumpuan utamanya, maka sekuat apapun gerakannya, buruh tidak pernah dapat memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaganya.
Di negara berkembang seperti Indonesia, Meksiko, Thailand dan Vietnam kaum buruh mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan di negara maju. Serangan yang dilancarkan kepada mereka begitu bertubi-tubi, sehingga lebih sering terombang-ambing dengan nasib dan kehidupan hari esok yang semakin tidak jelas. Sementara kaum neoliberal, semakin kokoh dalam mempertahankan ekonomi dan politik libidinal-nya.

Ekspansi Neoliberal
Dalam beberapa dekade terakhir, kaum buruh memang semakin tidak berdaya untuk menahan gempuran kaum neoliberal. Serikat-serikat pekerja yang didirikan untuk melindungi kepentingan mereka tercerai-berai, membuat identitas buruh pergi kelain arah menuju penyatuan ras, etnis dan gender.
David Harvey, dalam bukunya A Brief History of Neoliberalisme mengingatkan bahwa proses neoliberalisasi akan meniscayakan penghancuran lapisan-lapisan perlindungan yang dikembangkan kaum buruh. Dimana serangan ini berlangsung dalam dua arah.
Serangan pertama diarahkan kepada kekuatan-kekuatan serikat buruh, dengan menghambat perkembangannya atau membubarkannya meski secara paksa sekalipun. Fleksibilitas tenaga kerja diciptakan, tunjangan-tunjangan sosial dihilangkan, dan jaminan keberlangsungan pekerjaan dihapuskan. Para buruh terjebak dalam pasungan sistem tenaga kerja yang menawarkan kontrak-kontrak jangka pendek (outsourching).
Serangan kedua terhadap kekuatan kaum buruh, dan ini adalah yang paling dominan. Yaitu perubahan koordinat-koordinat spasial dan temporal dari pasar tenaga kerja. Begitu banyak taktik yang dijalankan dalam upaya serangan kedua ini, yang bertujuan untuk memenangkan persaingan dalam mendapatkan suplai pasar tenaga kerja termurah dan yang paling penting adalah patuh.
Liberalisasi keuangan yang telah ditopang dan dimuluskan jalannya oleh institusi-institusi keuangan global (IMF, World Bank, dan juga WTO) telah memungkinkan para pemilik modal dalam waktu yang singkat menguasai armada tenaga kerja di berbagai negara secara sekaligus. Pun demikian, juga memiliki kebebasan untuk memindahkannya dalam tempo sesingkat-singkatnya ke ruang spasial yang lain yang lebih menjanjikan.
Dalam situasi kiwari, serangan model ini mungkin dapat terlihat secara kasat mata dari gelembung ekonomi China yang telah membuat negara-negara yang sebelumnya menjadi tujuan investasi (Meksiko, Indonesia, Thailand dan Vietnam) harus gigit jari dan kehilangan ribuan, bahkan jutaan lapangan pekerjaan. Hal ini terjadi, karena China menerapakan upah yang sangat rendah bagi buruh dalam negerinya. Murahnya upah buruh disertai keterampilan teknologi yang memadai di China juga membuat pusat-pusat industri korporasi global terpaksa harus memindahkan laboratorium risetnya ke China; termasuk IBM, Microsof, Motorola, Siemens dan Intel (David Harvey, 2005).

Aliansi kaum buruh
Liberalisasi modal, pasar keuangan dan privatisasi BUMN merupakan hal yang problematik bagi banyak Negara berkembang terutama Indonesia. Hal ini terjadi karena— menurut Stiglizht—Indonesia merupakan Negara pemakai resep dan mitos favorit neoliberalisme sejak sebelum krisis bahkan hingga saat ini.
Di Indonesia, proses neoliberalisasi bahkan berlangsung dari segala arah, termasuk dalam bidang politik, sehingga jalan ceritanya menjadi jauh lebih problematis. Secara ekonomis, armada tenaga kerja Indonesia lebih sering berkorban, sementara secara politis mereka lebih sering menjadi komoditas pertaruhan kekuasaan para elite. Kulminasinya, garansi politik tak pernah nyata, kesejahteraanpun tiada.
Rendahnya tingkat pendidikan kaum buruh, disinyalir telah membuat kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya menjadi rendah pula. Dimana dari sekitar 37 juta armada tenaga kerja kita 56%-nya hanyalah lulusan SD. Sementara 19% SMP, 17% SMA, dan sisanya 8% adalah Perguruan Tinggi.
Rendahnya tingkat kesadaran armada tenaga kerja tersebut membuat, 107 federasi yang tercatat di Depnakertrans hanya diisi oleh 3 juta buruh saja. Sementara sisanya, atas nama kesejahteraan dan demokrasi lebih senang untuk bermurah hati dan sukarela menyumbangkan surplus keringatnya.
Fakta tak terbantahkan tersebut selayaknya memang dijadikan titik kesadaran, akan pentingnya melakukan revitalisasi institusi-institusi perlindungan kultural bagi kaum buruh. Sebagaimana yang pernah diteriakan Karl Polanyi dalam “The Great Transformation.”
Bagi Polanyi, membiarkan mekanisme pasar menjadi satu-satunya pengarah dari nasib kaum buruh dan lingkungannya, akan membawa kaum buruh pada kehancurannya saja. Memandang buruh dengan kacamata neoliberal dengan demikian hanyalah melahirkan buruh-buruh yang semakin tidak berdaya; mudah dieksploitasi, dipolitisasi, dipecat dan kemudian dibuang (disposable labour).
Sebaliknya, Polanyi menegaskan bahwa buruh seharusnya dipandang sebagai makhluk yang memiliki karakteristik, keterampilan, dan cita rasa tententu. Selain itu buruh juga merupakan makhluk hidup yang dianugerahi dengan impian-impian, hasrat-hasrat dan harapan-harapan yang sama dengan manusia lainnya.
Memang terlalu melelahkan kita mendengar kampanye penataan untuk kaidah-kaidah kesejahteraan buruh; berupa jaminan sosial, upah minimum, sistem kerja maupun kualitas armada tenaga kerja, sementara kenyataannya kehidupan sosial kita semakin terpuruk.
Telah terlalu sering pula para elite berdebat soal rambu-rambu hubungan industrial yang saling menguntungkan, tapi kenyataannya nasib buruh semakin terjebak dalam labirin tak berujung.
Sudah saatnya, kaum buruh menentukan nasibnya sendiri, dengan bersatu melakukan aksi-aksi kolektif untuk sama-sama mengatakan tidak pada neoliberalisme dalam bentuk apapun, dan bahwasanya Another world is possible.

Tidak ada komentar: