Selasa, 23 Juni 2009

Rivalitas Budaya dalam Pilpres 2009

Catatan visual, Analisis media, monograf, pengakuan dan riset-riset lapangan serta pengamatan atas persiapan Pemilihan Presiden 2009 disinyalir menjadi mozaik yang sangat kaya mengenai tradisi elektoral dalam konteks demokratisasi di Indonesia.
Berbagai predikat menterengpun semakin disematkan ketika menandai dimulainya kampanye menuju partai knock-out Pilpres kali ini. Perang David versus Gholiat, perang seniman versus arsitek, ataupun perang kemegaahan versus kesederhanaan.
Muncul pula istilah rivalitas neolib versus kerakyatan, atau neolib versus kemandirian bangsa. Rivalitas politik yang akan memberikan sajian epitome demokrasi yang penuh dengan drama perseteruan inipun semakin berlanggam nada vulgar. Karena ternyata, perseteruan dan rivalitas tersebut sarat dengan muatan estetika.

Rivalitas Vulgar
Kenapa rivalitas ketiga capres-cawapres bersama skuadnya semakin memburu perseteruan yang berlanggam nada vulgar? Jawabannya, pertama, di alam modern ini ada satu hal yang tidak dapat dielakan, yaitu kemajuan teknologi informasi. Dimana autentisitas kesementaraan (dimensi waktu) dan mediasi telah disingkirkan dengan adanya rekonstruksi karya seni itu sendiri.
Penghancuran autentisitasnya telah membuat seni bersifat afirmatif atas realitas yang sedang berlangsung. Dipenuhi dengan berbagai unsur instant, yang terungkap dalam tayangan televisi. Kulminasinya, membuat keindahan diekspresikan secara sangat vulgar.
Kedua, karena rivalitas yang disajikan oleh ketiganya dalam perseteruan tersebut menjadi semakin misterius dan tak mudah difahami. Menyajikan fanorama kebudayaan terutama estetika yang berbeda, yang terkadang memunculkan sensasi emosional, juga terkadang menimbulkan decak kagum para penontonnya (Greg Soetomo, 2003).
Yang mampu kita pahami mungkinlah hanya sebatas, bahwa ketiga skuad tersebut bersandar kepada kebudayaan terutama estetika yang kontras sama sekali. Skuad incumbent dengan slogan “lanjutkan,” seolah ingin mengukuhkan estetika kaum kapitalis yang bersandar secara penuh kepada kebudayaan industrial, dimana estetika dibangun untuk melanggengkan kedigdayaannya.
Di seberang sana, skuad yang menempatkan dirinya sebagai pengkritik utama kebudayaan industrial, dengan slogan “pro-perubahan.” Seolah menggambarkan keinginannya untuk memunculkan kembali sense of the vital need for radical change. Dengan menukil ungkapan Herbert Marcuse tersebut, mereka berusaha menyentuh imajinasi terdalam palung kesadaran publik untuk meniscayakan perubahan yang cukup radikal.
Sementara kubu lain yang berusaha menempatkan dirinya di sebelah tengah, dengan slogan “Lebih cepat lebih baik.” Berusaha untuk menempati kekosongan dalam ruang autentisitas estetis. Dimana selain sebagai “fungsi”, karya seni juga diharapkan akan membawa kepada kesadaran yang alamiah, dengan segenap auranya.
Dalam budaya massa yang terlanjur polyglot seperti saat sekarang ini, Apresiasi autentik memang menjadi tidak mungkin, karena kesadaran yang baru lahir diarahkan pada objek karya seni yang telah dilucuti auranya. Sehingga keinginan untuk menggali autentisitas semacam itu akan menjadi strategi yang tentu saja cukup berisiko bagi siapapun.

Substratum Esensial
Pada akhirnya, kita memang semakin berada dalam persimpangan, tenggelam dalam perasaan termehek-mehek akan masa lampau, karena adanya perasaan yang hilang dalam imajinasi. Satu-satunya yang tersisa sekarang adalah politik dan kepentingan ekonomi.
Yang akan muncul kemudian hanya dua kemungkinan; pertama, situasi tersebut akan terus di-lanjutkan. Kedua, kebudayaan alternatif akan mengalirkan arus perubahan yang radikal dan akan menjadi Mesias sejati.
Atas dasar itulah mungkin, semua kubu boleh dikatakan akan mengambil jalan yang tidak beresiko. Dengan ikut serta memainkan seni peran dalam drama kebudayaan industrial, atau budaya massa.
Hal ini terungkap dari manuver Jusuf Kalla sebagai penganut autentisitas estetis yang seakan tak mau kehilangan kesempatan untuk mengambil peranan dalam drama pelarian Manohara, pembebasan Prita Mulyasari, dan isu pemakaian jilbab.
Demikian halnya saat film religi layar lebar “Ketika Cinta Bertasbih” diluncurkan, peran-peran itupun tidak begitu saja dilewatkan. Merujuk film serupa “Ayat-ayat Cinta” beberapa saat lalu, yang juga sangat menyita perhatian khalayak ramai, termasuk para elite negeri ini.
Sementara itu, kubu incumbent tampaknya terlalu terpukau dengan gaya artistik Cartesian yang terlampau mekanistis, dan lebih melihat ekonomi-politik sebagai substratum (basis) esensial untuk kemajuan sejarah. Sehingga peran-perannya yang diambil adalah dengan berkreasi secara mekanistik pula; BLT, gaji ke-13 dan seperangkat aturan birokrasi lainnya akan dijadikan sebagai senjata yang cukup ampuh.
Kubu pro-perubahan yang cukup tersihir oleh gaya realisnya Lukács, kemungkinan tidak akan memainkan seni peran yang terlalu radikal, mengingat resiko yang akan dihadapinya. Pilihan baginya hanya satu, ikut bermain dalam panggung kebudayaan industrial, namun tentu saja tetap bergaya realis untuk menumbuhkan kesadaran kaum proletar. Dengan harapan bahwa palung terdalam kesadaran publik akan mengafirmasi jalan revolusioner mereka.
Pada akhirnya, pihak yang akan digdaya dan mendapatkan standing applause terlama dalam panggung kebudayaan ini adalah pihak yang memang mampu berperan secara lebih ekspresif, penuh imajinasi dan tentu saja memberikan aura keindahan.
Karena bagaimanapun, para penonton panggung sandiwara kebudayaan di negeri ini memiliki harapan untuk kembali menyaksikan penampilan para seniman yang authentic dan mampu memberikan riak gelombang kejut keindahan hingga ke palung terdalam imajinasinya.
Layaknya Soekarno-Hatta, seorang penganut estetika autentik yang frekuensi estetisnya mampu menerobos perbatasan geografis negara dan budaya. Menembus relung hati dan imajinasi terdalam, melahirkan sanjungan (laudation) dan decak kagum yang luar biasa, bukan hanya dari publik domestik tapi juga dunia international.

Tidak ada komentar: