Senin, 22 Juni 2009

Kosongnya Tenda Besar Politik Islam

Diskursus paling unik mengenai ummat Islam dalam hubungannya dengan masalah kehidupan politik dan sosial menurut para bijak bestari tidak terletak pada jumlahnya sebagai mayoritas, akan tetapi terletak pada kegagalan ilmuwan, politisi, penguasa, bahkan pemimpinnya sendiri untuk menempatkannya sebagai suatu realitas dan kekuatan sosial, politik dan budaya.
Dalam kerangka situasi kiwari, fenomena ini terlihat dari semakin menumpulnya ketajaman dan kepiawaian para praktisi politik dan ketatanegaraan yang mengklaim diri berada dalam tenda besar politik islam, untuk memberikan tawaran yang lebih realistis. Sementara romantika dan mimpi hadirnya kegemilangan masa lalu dalam realitas politik kekinian menyeruak kepermukaan, sebagai akibat dari kepasifan dan kefrustasian yang semakin mendera.
Nyatanya, desakan golput, boikot pemilu, fatwa haram golput serta usulan pewacanaan kembali poros tengah, atau malah penerapan syari’at islam masih saja menjadi isu utama yang saat ini diterikan para elite politik islam.
Hasil survei LSI pada Februari 2009 yang baru-baru ini dirilis menunjukan, bahwa jumlah pemilih partai islam hanya mencapai 24 persen suara, atau jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pemilih partai nasionalis yang mencapai 67 persen.

Irja’ politik
Tampaknya beberapa elite politik Islam masih terbuai dengan doktrin predestinarinisme (irja’) politik. Doktrin klasik yang muncul pada awal abad pertengahan, yang berusaha menanamkan kepatuhan dan kepasifan (quiteism). Quiteism tersebut dalam masyarakat Sunni menjadi sandaran untuk mengembangkan konsep masyarakat (ummat) dan pemimpin politik (imam). Basis fundamental tersebut kemudian ditanamkan secara teologis melalui hadist-hadist predestinarian, yang mendesakan tuntutan kesatuan ummat dibawah seorang pemimpin politik.
Secara lebih ekstrem, irja’ politik ini mencapai puncaknya dalam sebuah pernyataan idiologi politik yang memiliki prinsip sangat fundamental yang meminta umat masuk kedalam mayoritas dan percaya kepada pemimpin politiknya. Atau dalam sebuah tamsil digambarkan bahwa; Seandainya suatu ketika tidak ada mayoritas atau pemimpin politik tersebut, maka tinggalkanlah semua golongan itu (baca: golput) bahkan sekalipun kamu harus berpegang pada batang pohon sampai kematian menghampirimu.
Untuk melegitimasi kesatuan ummat dibawah kendali pemimpin politik itulah dihari kemudian kita kenal istilah ahl sunnah waljama’ah. Istilah sunnah dalam kalimat tersebut menurut Fazlur Rahman adalah untuk menggambarkan dirinya (mayoritas muslim).
Desakan wacana golput, haram golput, penerapan syari’at islam ataupun poros tengah jilid II merupakan imaji dan cita-cita besar yang mesti secara geneologis tidak secara pasti lahir dari doktrin klasik irja’ politik tersebut, namun paling tidak sejarah pernah mencatat bahwa imaji semacam itu pernah mencuat secara ekstrim, bukan untuk menyatukan ummat secara utuh, tapi untuk menggambarkan hasrat legitisme syi’ah dan universalisme khawarij, yang masing-masing merasa berhak menjadi pemimpin politik.
Irja’ politik dalam kondisi tertentu memang begitu efektif, seperti di Iran atau negara-negara Arab. Sedang irja’ politik ini tidak pernah menemukan karakteristiknya di Indonesia secara efektif. Ada seabreg alasan kenapa doktrin ini tidak berkembang secara luas dalam masyarakat Islam Indonesia, diantaranya:
Simaklah kategorisasi teoritis Clifford Geertz dengan mentrikhotomisasi ummat Islam; santri, priyayi dan abangan. Adanya trikhotomi tersebut tentu saja memberi gambaran, betapa sulitnya menyatukan cita-cita politik umat Islam.
Mayoritas ummat yang lebih banyak dihuni kaum abangan membuat kaum santri memilih untuk berpegang pada ranting yang dengan sangat mudah dapat membuat mereka terjatuh kedalam lubang hitam kesengsaraan. Sementara para elite yang bertengger diaras kekuasaan begitu enggan mengulurkan tangannya.
Atau coba renungkan temuan Oliver Roy yang menyebut kegagalan ummat Islam dalam kontestasi politik lebih disebabkan oleh perjuangan kalangan politik yang terlalu artifisial dan simbolik (The Failure of Political Islam, 1998).
Terlihat dari artefak sejarah perpolitikan Indonesia yang ditinggalkan, dimana perjuangan politik Islam tak kunjung keluar dari wacana Piagam Jakarta ataupun Perda-Perda Syari’at. Padahal ekspektasi masyarakat terhadap wacana tersebut tidak begitu besar, dibandingkan dengan ekspektasi terhadap wacana kesejahteraan ekonomi.
Dale F. Eickleman dan James Pisctasori secara lebih gamblang menggaris bawahi kegagalan para elite politik Islam sebagai akibat dari tidak adanya kesesuaian antara doktrin entah itu agama ataupun politik dengan aksi-aksi sosial dan politiknya. Sehingga tak heran bila wacana politik Islam di negeri ini hanyalah sebagai medan pertarungan dan pertaruhan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh kelompok agama, primordial dan kelompok pemodal.
Dan oleh karena itu janganlah lupa bahwa irja’ politik dalam tradisi sunni (mayoritas umat) Indonesia selain meniscayakan kepatuhan dan kepasifan (quiteism), tapi juga konformisme laissez faire, yang memberi ruang kebebasan kepada masyarakat untuk memilih dan melakukan apa yang mereka pilih.
Kepemimpinan politik dengan demikian menjadi sangat tergantung kepada legitimasi masyarakat secara rasional dan realistik baik melalui prinsip electoral college ataupun syura’. Sementara berbeda dengan tradisi yang ada dalam komunitas syi’ah yang meniscayakan legitimasi secara penuh meski tidak realistis dan rasional sekalipun.

Politik organik
Tak dapat dimungkiri bahwa ancaman terbesar umat saat ini adalah ancaman krisis sosial ekonomi. Namun seandainya para elite dan pemimpin politik tetap memelihara perilaku politik yang tidak realistis(merujuk konsepsi Habermas), maka ancaman krisispun niscaya juga akan melanda pada legitimasi kepemimpinan politik. Bila hal ini terjadi, maka yang ada hanyalah kefrustasian ummat.
Dalam titik puncaknya, meskipun reformasi terbukti telah cukup berhasil membuka keran kebebasan partai-partai politik berbasis Islam untuk berkontestasi dalam kepemimpinan bangsa, namun tetap saja mayoritas umat berada dalam kesengsaraan dan kefrustasian.
Karena keberhasilan perjuangan politik Islam meminjam ungkapan Muhammad Natsir bukan terletak pada kedudukan yang diraihnya, bukan pula terletak pada kemulusan melewati proses-proses demokrasi, tapi sejauhmana frekuensi pembelaan terhadap kaum mustadh’afin dilakukan.
Partai-partai Islam tak pelak dimasa yang akan datang, akan terus mengalami kegagalan bila hanya tampil dengan retorika dan jargon agama ansich, sementara miskin aksi sosial dan lebih rajin mengaborsi politik Islam menjadi sekedar alat kekuasaan.
Sebaliknya, semakin partai-partai Islam beserta pemimpin-pemimpin politiknya banyak menolong kesengsaraan umat (semakin organik), maka partai-partai Islam dan pemimpin-pemimpin politiknya akan semakin kuat legitimasinya.
Pada puncaknya, bila doktrin dan perjuangan partai-partai Islam semakin organik dan membebaskan maka hemat penulis, tanpa desakan golput, fatwa haram golput atau usulan poros tengah sekalipun, dengan sendirinya ummat akan bangkit-bersaksi, berlindung dibawah tenda besar politik islam.

Tidak ada komentar: