Selasa, 23 Juni 2009

Runtuhnya Klaim Neoliberal

Artikel opini yang ditulis Ismatillah Nu’ad berjudul ekonomi neoliberal (Republika, 18/05), sangat menarik dan menggugah, namun patut mendapatkan segudang catatan. Menurutnya, neolib secara sederhana memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi dari pemerintah.
Dalam tulisan tersebut, juga dipaparkan bagaimana neoliberalisme di Amerika Latin dalam perkembangan terakhir telah menjadi momok dan musuh bersama. Dengan mengambil contoh kasus fenomena kebangkitan neososialisme sebagai antitesa neoliberalisme di Amerika Latin, saudara Ismatillah sepertinya ingin mematahkan klaim neoliberal bahwa mengurangi radius aktivitas negara akan memperdalam demokrasi dan mengakibatkan peningkatan penghasilan secara tetap baik bagi kaum kaya maupun miskin.
Indonesia lebih lanjut, seharusnya bisa mengambil pelajaran dari kasus-kasus yang dialami negara-negara seperti Venezuela, Brazilia dan Bolivia yang sudah mulai meninggalkan resep-resep ekonomi yang mengkampanyekan perlunya trio ekonomi; deregulasi-privatisasi-liberalisasi.

Embedded Liberalism
Perkembangan pesat Neoliberalisme dimulai sejak Margaret Thatcher menjadi perdana menteri Inggris tahun 1979 dan Ronald Reagen presiden AS pada tahun 1980. sejak saat itu dan terutama sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1990 neoliberalisme meluas ke seluruh dunia, disponsori AS sebagai super power militer, ekonomi dan politik. Neoliberalisme pada masa awal tersebut dapat dipahami dari pandangan David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism, dimana perbedaan neoliberalisme dengan “liberalisme lama” (embedded liberalisme) adalah bahwa dalam liberalisme lama peran pasar dan kegiatan usaha dilingkungi berbagai hambatan sosial politik seperti perencanaan negara dan badan usaha milik negara. Neoliberalisme berpendapat bahwa segala hambatan itu harus ditiadakan untuk memperoleh perkembangan ekonomi yang paling maksimal.
Hanya saja dalam era mutakhir, neoliberalisme selain telah menjadi istilah ekstrem, namun juga menjadi istilah yang sangat licin seiring berkembangnya teknologi informasi. Neoliberalisme pun pada akhirnya sampai pada bentuk reinkarnasi yang paling ekstrem, dimana neoliberalisme bisa dikatakan melampaui pandangan Daved Harvey tersebut. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem yang ciri utamanya berupa lahirnya hierarki prioritas; prioritas sektor financial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi. Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, bailout dan semacamnya (Herry Priyono, 2005).
Neoliberalisme versi mutakhir ini, cukup berperan dalam melambungkan perekonomian dunia yang terpusat pada segelintir orang. Sementara menyengsarakan jutaan penduduk dunia lainnya. Krisis kredit perumahan rendah (subprime mortage di AS) pada bulan july 2007 lalu, yang menyeret beberapa lembaga keuangan besar, seperti Citigroup dan Merrill Lynch (AS), UBS and Barclays (Eropa), serta Mizuho (Jepang), mengalami kerugian serius adalah titik terekstrem yang diakibatkan oleh neoliberalisme model baru ini.

Formula Strategi
Perjuangan melawan neoliberalisme khususnya di Amerika Latin yang dalam beberapa tahun terakhir memang cukup mengguncang dunia. Hal ini juga merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat sebagai simbol personifikasi neoliberalisme. Bagi kaum komunis ortodok maupun neoliberal, fenomena Amerika Latin memang telah membantah anggapan ketidak mungkinan adanya revolusi hanya 90 mil dari pantai Amerika Serikat.
Sebagaimana diketahui, sepanjang dekade 1990an, hampir semua Presiden Amerika Latin menerapkan haluan neoliberal, tapi hasilnya dalam front politik maupun ekonomi terbukti sangat mengecewakan. Stagnansi ekonomi, polarisasi sosial yang semakin dalam, dan kekuasaan eksekutif yang eksesif menimbulkan kebangkrutan neoliberal. Gerakan anti neoliberalpun pada akhirnya merebak dan menghasilkan kemenangan kaum anti neolib dalam pemilu presidensial. Hugo Chavez (venezuela) yang keras menentang neoliberal, Luiz Inacio Lula da Silva (Barazil), Lucio Gueterez (Ekuador) dan Nestor Kirchner (Argentina) adalah para pemimpin berhaluan neososialisme yang berhasil mematahkan klaim neoliberal.
Hanya saja, meskipun fenomena kebangkitan neososialisme Amerika Latin menemukan momentum kemenangan yang merata dihampir seluruh negara di Amerika latin, fenomenannya tentu saja tidak monolitik. Tapi sebaliknya cukup berbeda satu sama lain, khususnya dalam model strategi dan idiologi yang mendasarinya.
Steve Elner, seorang penulis kiri terkemuka mengajukan tiga profosal yang paling tidak telah digunakan kaum anti-neoliberal untuk mengembangkan strategi politiknya. Yaitu pertama, pendekatan Kiri-Tengah yang diajukan oleh politikus-akademisi Meksiko Jorge Castaneda, dimana kaum kiri meminang ”kaum tengah” agar menjauh dari kanan dengan berbasiskan program alternatif terhadap neoliberalisme; kedua, strategi yang diasosiasikan dengan teoritikus Marxis dari Chile Marta Hernecker, yang mana kaum kiri memprioritaskan anti neoliberal, namun menghindari tuntutan-tuntutan yang lebih kiri maupun aliansi dengan kaum kanan. Dan ketiga, strategi paling kiri yang digagas James Petras dimana tuntutan anti-neoliberal dikedepankan tapi tidak menutup kemungkinan perjuangan anti imperialisme atau anti-kapitalis.
Ketiga formula dan strategi inilah yang dikemudian hari digunakan sebagai titik acuan para pemimpin neososialis untuk menentang neoliberalisme. Ketiganya juga merupakan landasan perdebatan utama mengenai strategi dan tantangan yang dihadapi kaum kiri dalam memformulasikan tuntutan dan tawaran model baru dalam era globalisasi.
Melihat keragaman formula dan strategi kaum kiri dalam melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme di Amerika Latin, kitapun pada akhirnya dihadapkan dengan banyak pilihan model. Sehingga tidak mungkin hanya melihat satu model saja; seperti model Venezuela atau Brazil saja misalnya. Apalagi bila melihat, rapuhnya basis sosial gerakan perlawanan terhadap neoliberalisme di negara kita.
Klaim neoliberalisme There Is No Alternative (TINA) yang diperkenalkan oleh Margareth Tacher memang telah mulai terbantahkan, tapi pemujaan sporadis terhadap klaim anti neoliberal terutama dengan mrrujuk kepada pengalaman Amerika Latin juga tidak sepenuhnya absah dan belum tentu baik bagi masa depan bangsa ini, mengingat bahwa kebangkitan neososialisme Amerika Latin juga menyisakan atau bahkan melahirkan permasalahan baru.

Tidak ada komentar: